Nadio diam sejenak hanya embusan napasnya yang terdengar masih memburu. Semua dalam ruangan tersebut terdiam. Masing-masing tak ingin bersuara. Karmila menggenggam erat jari jemari tangan suaminya dan dirinya pun merasakan kekesalan yang sama. Dia sadar tak boleh larut dalam emosi tak terkendali. Hal tersebut bisa membuat daya tahan tubuh menurun dan berakibat fatal untuk kesehatannya."Paklek dan Buklek, kami memang mencari penjaga rumah tapi gak sembarangan. Dan sekarang bukan waktu yang tepat mencari orang baru. Sekarang udah ada tambahan penjaga rumah dari kantor dan itu untuk tiga bulan ke depan, diperpanjang jika diperlukan." Setelah berucap, Nadio ambil napas sejenak, ada rasa sesak dalam dada, " aku ingin ketenangan, tak ada masalah lagi. Tolong bantu aku!" Wajahnya mendongak lalu menatap Pak Handoko dan Bu Handoko satu persatu.Bu Handoko akhirnya membuka suara, "Maaf sebelumnya. Bulek dan Paklekmu sudah lancang, tanpa izin masukin orang baru. Tapi ini bukan orang baru, ini s
Seminggu kemudianSetelah ada kesepakatan bersama, akhirnya keluarga Karmila termasuk Bu Handoko, berangkat ke rumah sakit untuk menjalani tes DNA. Pak Rahmat tetap berkeyakinan bahwa dia bukan bapak kandung pemuda tersebut. Sang istri pun berpendapat seperti itu juga. Hanya Bu Handoko yang bersemangat mengatakan bahwa pemuda tersebut sangat mirip dengan Pak Rahmat. Perkataannya sangat melukai hati Karmila. Oleh karena saking kesalnya wanita berambut ikal ini tak mau berkomentar apa-apa lagi. Nadio memegang erat jemari istrinya untuk memberi ketenangan. Pria berwajah oriental ini begitu khawatir psikis Karmila terganggu lagi. Karmila menunduk dan di sepanjang jalan dalam hati selalu berdoa agar semua kerumitan ini segera berakhir. "Honey, kenapa Bulek kayak gitu, ya?" bisik Karmila di telinga suaminya. Nadio yang mendengarnya seketika tersenyum lalu mengusap lembut kepala istrinya."Positif thinking aja, biar kita dapat pahala," jawab Nadio tak kalah lirih takut kedengaran yang di
Penjagaan mulai normal kembali, para wartawan berangsur-angsur mulai berkurang menyatroni rumah besar. Karmila agak lega, paling tidak pagi hari saat menjelang matahari terbit, dia bisa berolah raga kecil di halaman rumah.Para wartawan yang masih bertahan hanya nongkrong saat siang hari saja. Oleh karena itu Nadio berusaha, persoalan apa pun yang berhubungan dengan mereka akan diselesaikan secara kekeluargaan. Dia sekarang punya pendapat berbeda soal pasutri Handoko. Ada niat lain di balik masalah pemuda pedagang asongan kemarin.Nadio dan Karmila jadi agak berhati-hati saat berkomunikasi dengan pasutri Handoko. Mereka lebih baik menghindari pemicu masalah. Akhirnya Nadio dan Karmila jadi tahu karakter asli mereka. Pasutri ini tak menyangka bahwa pasangan Handoko bisa setega itu."Honey, coba kita cari tahu, ada apa di balik ulah Paklek dan Bulek kemarin?" usul Karmila kepada Nadio saat mereka sedang menikmati lemon tea buatan Bu Rahmat."Abang berpikir, apa mungkin mereka sempat n
Berempat pulang dengan perasaan lega. Pasutri muda ini sudah tentukan sikap bahwa keberadaan pasangan suami-istri Handoko semakin memperkeruh keadaan. Pasangan tersebut harus dipulangkan ke desa karena segala urusan mereka di kota sudah selesai. Orang tua Karmila sangat setuju dengan keputusan pasutri muda ini."Kasihan mereka. Manusia polos yang penuh rasa keingintahuan jadi sasaran empuk wartawan nakal," ucap Pak Rahmat sambil menatap anak dan menantunya dari kaca spion."Iya, Pak. Mereka gak berpikir, masalah ini bisa merusak nama baik kita. Kenapa gak bisa berpikir panjang?" Nadio berdecak mengungkapkan kekesalannya."Aku dan Ibu udah hapal tabiat Bulek. Gak nyangka aja, semudah itu terkena bujuk rayu orang tak dikenal. Wartawan yang notabene, emang cari bahan berita," timpal Karmila sembari menggelengkan kepala.Perbuatan pasutri Handoko, hampir saja mengacaukan terapi psikis Karmila. Itu yang membuat Nadio bertambah geram. Beruntung sampai hari ini, orang tua Karmila belum tahu
Pagi hari yang cerah, Karmila telah bersiap dengan segala barang yang akan dibawa untuk mengantar pasutri Handoko pulang kampung. Semalam telah dibicarakan semuanya demi kenyamanan bersama. Pak Handoko dan istri meminta maaf atas kecerobohan mereka. Setelah siap semuanya mereka berangkat kecuali orang tua Karmila. Rencana Nadio dan Karmila, kepulangan kali ini hanya sebentar, tak sampai menginap. Sebelumnya, mobil mampir terlebih dahulu ke rumah Tanto. Pasutri muda memberi sembako dan sejumlah uang. Mereka menyuruh Tanto membeli baju layak yang layak untuk bekerja. Nadio memutuskan Tanto dipekerjakan sebagai asisten enginering karena dia ahli di bidang tersebut."Terima kasih tak terhingga Nak Nadio, Nduk Karmila. Kami telah bikin ulah, kalian masih memikirkan kerja untuk Tanto dan kasih sembako serta uang. Kami sangat malu dengan perbuatan kami," ucap ibu Tanto dengan muka menunduk."Saya juga bodoh sekali. Bukannya mencegah, malah ikuti arus. Terima kasih banyak atas kebaikan ini.
Setelah rehat sebentar, pasutri tersebut melanjutkan perjalanan kembali. Sudah separo perjalanan mereka tempuh. Mereka berharap tak ada wartawan yang mengikuti. Nadio segera menghubungi sekuriti di rumah, meminta untuk berjaga-jaga.Bisa jadi ada wartawan akan segera mendatangi rumah karena tak mendapat kesempatan di desa. Karmila juga menelepon ibunya agar tak keluar rumah dulu. Sejak pasangan Handoko berkomunikasi dengan wartawan, hidup mereka jadi tak tenang.Orang-orang serakah, yang tega mengorbankan orang lain demi mendapatkan imbalan uang. Padahal pasangan muda ini setiap bulan memberi uang pada Pasutri Handoko. Apa pun yang diperlukan pasutri tersebut sebisa mungkin dilakukan oleh Nadio dan Karmila. Sebagai wujud rasa sayangnya kepada almarhum anak mereka. Meskipun Karmila sempat tersakiti oleh ulah Lisa. Dia memaafkan. Saat ini, pasutri muda dihadapkan dengan berbagai masalah yang selalu meliibatkan keluarga Handoko. Karmila dan suaminya selalu senantiasa ingin berbuat baik
Gerimis hujan mengiringi terbitnya matahari pagi ini. Karmila sedang menikmati minuman hangat, ketika ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Wanita berbulu mata lentik ini mencoba mengingat sesuatu. Kapan terakhir kali dia memberi nomor kontak kepada seseorang.Namun, tak ada orang baru yang diberinya, kecuali ibu Tanto. Sedangkan kini, dia telah terhubung dengan nomor kontak wanita tersebut. Wanita ini masih sibuk berpikir saat nomor tersebut menghubungi untuk yang kedua kalinya."Kok, ndak diangkat, Nduk?" tanya Bu Rahmat yang muncul dari arah depan."Khawatir orang iseng, Bu," jawab Karmila lalu tersenyum tipis."Ya udah, biarin aja. Entar kalo penting, pasti kirim pesan," ujar Bu Rahmat sambil menepuk bahu sang putri pelan.Wanita setengah umur ini pun lalu mulai sibuk menghidupkan kompor. Bu Rahmat akan memasak untuk sarapan pagi ini. Karmila segera melangkah ke arah freezer lalu mengambil beberapa bungkus bahan makanan dari sana. Kemudian, dia mulai m
Wanita tua ini seketika menangis terisak-isak mengetahui siapa yang datang bertamu. Pak Rahmat menarik memegang tangan wanita tersebut dan menciumnya, lalu diikuti oleh Bu Rahmat dan yang lain."Mbakyu, apa kabarmu?" tanya Pak Rahmat sembari mengusap air mata."Alhamdulillah sehat. Kok tau rumahku? Lah ini yang cantik dan ganteng ini siapa?" Wanita tua ini yang tak lain, Bu Darmo--kakak Pak Rahmat--sembari mengelus bahu pasutri muda di hadapannya."Bude, masak lupa sama aku, Karmila? Ini suamiku, Bang Nadio," jawab Karmila sembari memegang tangan Bude Darmo."Saya Nadio, Bude," ucap si pria jangkung seraya mendekat lalu merangkul bahu wanita yang terlihat pendek di sampingnya.Akhirnya semua anggota keluarga yang lama terpisah ini masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka bercengkerama saling menanyakan kabar masing-masing dan mengingat nostalgia saat masih bersama dulu. Akhirnya diketahui jika Bude Darmo sudah 15 tahun tinggal di kota ini. Pakde Darmo terpaksa pindah kerja. Bude Darmo da
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru