“Aku bermimpi —"“Kau bermimpi apa, Rey?” tanya Irani.“Aku setiap malam selalu bermimpi yang sama, Kakak ipar,” jawab Reynand.“Mimpi apa, Rey?” Irani merasa sangat penasaran.“Aku bermimpi … aku memiliki kekasih dan kekasihku itu mengandung benihku, tetapi … aku tidak tahu wajah kekasihku itu seperti apa.” Reynand menjelaskan seraya menatap lekat wajah Irani.Deg!Deg! Deg!Jantung Irani berdetak dengan sangat kencang ketika ia mendengar curahan hati Reynand, yang menceritakan tentang mimpinya itu. Apalagi Reynand bercerita seraya menatapnya dengan lekat. Jantungnya semakin tidak karuan rasanya. Irani pun membalas tatapan Reynand dengan lekat pula.‘Mimpimu itu bukan hanya sekedar mimpi, Rey, itu adalah kenyataan, kisah nyatamu. Dan kekasih yang kau maksud itu adalah aku,’ batin Irani, ‘Ingatlah tentang kita, Rey, ingatlah bahwa aku ini adalah wanita yang kau cintai. Dan bayi yang kukandung ini adalah benihmu. Aku mohon, ingatlah, Rey,’ batin Irani kembali.Mata Irani dan Reynand ma
“Rey, mengapa kau membawaku ke dalam kamarmu?” tanya Irani.Reynand tidak menjawab pertanyaan Irani, dia justru meletakkan tubuhnya di ranjang. Reynand menatap wajah cantik Irani, dan Irani pun membalas tatapan mata elang Reynand. Kedua insan itu saling memandang dengan pikiran masing-masing.“Mengapa kau membawaku ke kamarmu ini? Ini sangat tidak benar, Rey. Bagaimana jika ada yang mengetahui ini? Maka apa pandangan mereka terhadap kita?” ucap Irani dengan lembut. “Ingatlah, bahwa aku ini adalah kakak iparmu dan kau adalah adik iparku. Sangat tidak pantas sekali rasanya jika kita berada dalam satu kamar seperti ini,” imbuh Irani lagi dengan nada bicara yang sangat rendah.Reynand tidak menghiraukan ucapan sang kakak ipar. Dia justru terlihat sangat khawatir dan sibuk melihat kaki Irani. “Apakah sangat sakit?” tanya Reynand dengan cemas.Irani membelalakkan matanya melihat sikap Reynand yang sangat tak acuh terhadap ucapannya yang panjang lebar tadi. Irani merasa sangat gemas melihat
“Apa-apaan ini, Irani? Kau ingin membunuhku? Hah!” teriak Raymond dengan nada tinggi. Raymond sudah berdiri dengan wajah yang memerah.“Apa maksudmu, Mas?” tanya Irani tidak mengerti.“Kau tidak bisa memasak?” tanya balik Raymond.Irani terdiam, dia bingung harus mengatakan apa. Lalu, Dona pun ikut memakan makanan tersebut ke dalam mulutnya, dan dia pun sama, menyemburkan makanan tersebut. Dona pun ikut bangkit berdiri.“Istrimu ini tidak bisa memasak. Masa memasak saja rasa garam semua seperti ini,” ucap Dona menimpali.“Dasar istri tidak berguna! Wanita kampung bodoh! Memang begitulah jika wanita miskin dan bodoh!” teriak Raymond.Mata Irani sudah berkaca-kaca ketika sang suami kembali menghinanya, apalagi ini di hadapan sekretarisnya tersebut, dan justru sekretarisnya ikut memarahinya, Raymond tidak membelanya, justru bersama-sama marah padanya. Reynand yang sedari tadi memperhatikan itu bergegas berlari menghampiri mereka. “Kak Ray, jangan memarahi kakak ipar! Aku yang memasak se
Hari-hari pun berlalu, kini setiap hari Raymond selalu pulang untuk makan siang di rumah, dan Irani akan selalu memasak untuk Raymond dan Dona. Sedangkan Dona, dia selalu sengaja bermanja-manja pada Raymond di hadapan Irani, sementara Raymond hanya mendiamkannya saja dan tanpa penolakan. Kini, perasaan Irani semakin hancur menerima kenyataan tersebut.Sedangkan Reynand, dia masih belum sembuh dari amnesianya, dan dia belum kembali beraktivitas di kantor, dia hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Dan, hubungannya dengan Irani masih seperti dulu, dia akan selalu membantu Irani setiap Irani dalam kesusahan, dan tak ayal, perdebatan pun akan sering terjadi di antara Reynand dengan sang mama, karena dia selalu membela sang kakak ipar.Seperti halnya pada hari itu, Raymond dan Dona kembali makan siang di rumah. Setiap mereka makan siang, Irani tidak pernah ikut makan bersama mereka. Saat mereka sedang makan, maka Irani akan berpamitan untuk ke belakang, dia tak ubahnya seperti seorang pem
Sesampainya di kamar pembantu yang ditempati oleh Irani, Irani langsung melepaskan mukenanya, dia menunda shalat zuhurnya karena demi menolong Reynand yang sedang kesakitan.Irani segera mendekati Reynand yang sedang duduk di atas ranjang. “Rey, kau tunggu sebentar, aku akan keluar dulu,” pamit Irani. Reynand hanya mengangguk, dan Irani pun bergegas keluar. Irani bergegas menuju ke lantai atas, tujuannya adalah ke kamar Reynand untuk mengambil obatnya. Sesampainya di sana, dia tidak menemukan obat untuk Reynand.‘Apakah mungkin stok obat Rey habis? Atau ada di kamar Mama? Tapi, aku tidak berani memasuki kamar Mama, bagaimana ini?’ Irani membatin. Dia sembari menggigit-gigit jarinya. ‘Ah, aku rasa lebih baik aku meminta pertolongan pada Bi Iyam saja, agar Bi Iyam saja yang masuk ke kamar Mama.’Irani pun kembali bergegas turun dan menemui Bi Iyam, yang saat itu sedang mencuci piring di dapur. “Bi, maaf, apakah aku boleh meminta tolong?” ujar Irani. Wajahnya terlihat penuh harap.Bi Iy
“Katakan! Apakah di antara kita ada hubungan spesial?” tanya Reynand sembari menatap tajam Irani.Irani merasa salah tingkah karena ditatap tajam oleh Reynand. Dia bingung harus mengatakan apa dan menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh sang mantan kekasih, sekaligus adik iparnya tersebut.“Kakak ipar, mengapa kau hanya diam saja? Jawab pertanyaanku,” ucap Reynand dengan tegas.“Tidak! Tidak ada yang perlu dijawab, Rey. Ya sudah, jika kau ingin melanjutkan tidurmu, tidurlah, aku akan keluar untuk melakukan tugasku di rumah ini.” Irani pun membalikkan badannya dan bergegas untuk keluar dari kamar tersebut.Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Reynand, sehingga dia terjatuh menimpa tubuh Reynand. Wajah kedua insan itu saling berdekatan, sangat dekat sekali. Hidung Reynand yang mancung, beradu dengan hidung Irani yang bangir. Mata mereka saling beradu tatap.Detak jantung keduanya berdetak sangat cepat. Reynand mengernyitkan keningnya, entah mengapa, lagi dan lagi perasaan tida
Reynand menatap tidak menentu pada Mama Risa dan pada Papa Rabbani. Lalu, dia beralih menatap Nayra, gadis yang akan dijodohkan dengannya. Sedangkan Nayra, sudah sedari tadi tersenyum-senyum sendiri menatap wajah tampan Reynand.“Ma, aku tidak mau dijodohkan! Aku bukan anak kecil lagi, Ma, dan ini juga bukan zaman Siti Nurbaya lagi, ini sudah zaman modern!” ucap Reynand dengan tegas.Tanpa sengaja, mata Reynand bersirobok dengan mata Irani yang tengah menatapnya. Kala itu, Irani sedang berdiri di ruang tengah sembari menatap Reynand dengan mata yang berkaca-kaca. Hati Reynand merasa aneh melihatnya, dan dia kembali merasakan perasaan yang sangat sakit dadanya yang tiba-tiba bergejolak, dan perasaannya tak asing itu pun kembali muncul.Reynand kembali berusaha mengingat masa lalunya, hingga akhirnya dia berteriak menahan sakit di kepalanya. “Aakkkhhhh ….”Mama Risa dan Papa Rabbani terlihat khawatir melihat keadaan sang putra. Sedangkan Nayra, dia merasa kebingungan dengan kejadian ter
"Reynand! Irani!"Suara Mama Risa terdengar. Irani dan Reynand langsung tersadar. Mereka pun langsung saling melepaskan diri. Wajah Irani sudah memerah. Ini untuk yang kesekian kalinya ia dipergoki oleh sang ibu mertua ketika tengah berdekatan dengan Reynand. Mama Risa mempercepat langkah kakinya. Dia menghampiri Irani.Plak!Sebuah tamparan melayang di wajah Irani hingga wajahnya sedikit berpaling. Reynand membelalakkan matanya. Dia bergegas menghampiri sang mama, sedangkan Irani sudah bercucuran air mata karena menahan malu dan sakit.“Ma, mengapa Mama menampar kakak ipar?” tanya Reynand. Dia menatap cemas melihat keadaan Irani.“Reynand, hentikan! Mengapa kau selalu membela wanita jalang ini? Lihatlah! Kepada dirimu saja yang sebagai adik iparnya, dia berani menyentuhmu, memelukmu.” Napas Mama Risa terlihat naik turun. “Sudah berapa kali mama menemukan dia selalu mendekatimu. Apakah kau tidak mengingatnya, saat kau baru tersadar dari koma, dia menuduhmu bahwa kaulah ayah biologis d
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Mata Irani membulat mendengar ucapan Bahri. Bagaimana tidak, di saat yang sedang genting seperti ini pun, Bahri masih tetap menyebalkan dan membuatnya kesal.Dengan sekuat tenaga Irani mencubit perut Bahri, hingga membuat lelaki tersebut menjerit karena merasakan perih di kulit perutnya.“Aww, aduh … Maharani, mengapa kau mencubitku? Aiiss, ini sangat sakit dan perih sekali rasanya,” ujar Bahri.“Karena kau selalu saja menyebalkan, Mas Bahri. Di saat aku sedang kesakitan dan kram seperti ini pun, kau masih saja bersikap seperti itu, huh!” Irani mendelikkan mata.“Ehehe … jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang.”Ingin rasanya Irani kembali mencubit Bahri, tetapi rasa nyeri kembali menderanya. Akhirnya, dia hanya menurut saja mengikuti Bahri menuju ke arah motor, kemudian Bahri memboncengnya.Bahri menuju ke rumah seorang bidan yang membuka praktek di desa tersebut. Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai. Bahri bergegas menuntun Irani.“Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong periksa
Semua orang sangat terkejut mendengar pertanyaan dari sepasang suami istri yang baru saja datang tersebut.Reynand dan Raymond saling melepaskan pelukan karena nama mereka dipanggil. Mereka menatap ke arah sumber suara. Reynand menatap sepasang suami istri paruh baya tersebut, dia mengernyitkan kening karena kebingungan sebab dia tidak mengenal mereka.Sementara Raymond, wajahnya sudah memucat. Dia menatap kedua orang tersebut dengan bibir yang gemetar. “Ayah mertua, Ibu mertua,” gumamnya.Ayunda yang berdiri tepat di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas gumaman Raymond tersebut. Entah mengapa, perasaannya semakin tak menentu mendengar Raymond yang memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua.“Raymond, jawab pertanyaan ibu. Di mana Irani, putriku?” ujar Bu Ina—Ibu Irani.“Iya, Nak Ray, mana Irani?” timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Raymond kehilangan kata-kata. Otaknya benar-benar buntu, sementara kedua orang tuanya menatap Raymond dan besannya secara bergan
Suara teriakan seorang lelaki menghentikan tindakan para pemuda tersebut. Mereka beralih menatap ke arah sumber suara.Ayunda sangat mengenal suara itu. Dia mendongakkan wajah dan menatapnya. “Tuan Raymond,” gumamnya.“Kalian ini juga seorang perempuan, tetapi kalian malah menertawakannya. Di mana hati nurani kalian sebagai sesama perempuan?!” Raymond berteriak pada rombongan gadis yang tadi menertawakan Ayunda.Setelah itu, Raymond pun mulai berkelahi dengan para pemuda itu, sedangkan Edo berlari meminta bantuan para pengunjung lainnya, yang kala itu masih berada di alun-alun tersebut.Tentu saja perkelahian tersebut tidak seimbang. Karena Raymond yang hanya seorang diri, melawan beberapa orang. Dia kewalahan dan menjadi bulan-bulanan. Tubuhnya sudah tergeletak di rerumputan, ditendang oleh mereka. Raymond menutup wajahnya dengan tangan agar wajahnya tidak semakin lebam.Ayunda yang melihat itu berlari ke arah Raymond. Dia memeluk kepalanya dengan erat seraya menangis. Dia tidak teg
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan