"Gue temani aja ya?" tanya Nisa menatap Diva yang berjalan ke sana ke mari dengan khawatir.
Setelah satu hari dirawat di rumah sakit, Diva memaksa untuk pulang. Bahkan, tanpa malu dia menangis meraung-raung sampai terdengar ke kamar sebelah. Akhirnya, karena merasa jengah, orang tua Diva memperbolehkannya pulang dengan syarat harus banyak istirahat. Namun lihatlah sekarang, dia sudah berdandan rapi karena mau ke rumah Adit dan melupakan persyaratannya.
"Enggak usah, gue bisa sendiri. Lagi pula, gue sudah sembuh kok," tolak Diva halus. Dia melanjutkan kegiatannya, yaitu mencoba beberapa sepatunya supaya terlihat sempurna.
Mira yang sedang duduk bersandar pada sofa, mendengkus kesal dengan tangan bersedekap. Sudah sekitar dua jam Diva berkutat dengan penampilannya, tetapi tidak kunjung selesai. Bahkan, waktu selama itu Diva belum memakai bedak dan menyisir rambutnya.
"Lo lupa sama syarat sebelum pulang?"
Halo, Kakak-kakak. Happy reading ❤️ Jangan lupa tinggalkan jejak dengan Vote dan komen yaa.... Sayang kalian banyak-banyak 🤗
Diva mendongak, menatap Adit dengan senyum manisnya. Dengan sengaja dia menggesekkan hidungnya di leher sang kekasih, kemudian kembali menatap wajahnya. "Aku lintah cinta." Diva terkekeh geli mendengar kalimatnya sendiri. Dia sendiri tidak tahu, sejak kapan menjadi selebay ini. Yang dia inginkan sekarang adalah selalu bersama Adit dan mengukir cerita indah yang baru. Cerita pahit tidak akan pernah dia lupakan, karena tanpa kepahitan itu, kisahnya akan terasa datar. "Dasar gila!" umpat Adit pelan yang masih bisa didengar oleh Diva dan kedua orang tuanya. "Aku juga cinta kamu," sahut Diva tersenyum lebar, kemudian kembali bersandar di dada bidang Adit. Bunda Desi dan Ayah Aryo tidak dapat menahan tawanya. Perilaku kedua sejoli itu mengingatkannya pada masa remaja dulu. Di mana Ayah Aryo yang begitu dingin, bertemu dengan Bunda Desi yang pantang menyerah dalam mendapatkan cinta. Memang benar kata pepatah,
Mira melirik kedua sahabatnya, kemudian membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. "Kenapa lo baru pulang?" tanyanya. Diva meletakkan tas selempangnya di meja. Lalu menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. "Semua ini salah gue," gumam Diva yang masih dapat didengar ketiga sahabatnya, karena suasana rumah yang begitu sepi. Apalagi hari sudah malam, membuat kalimat yang diucapkan Diva terdengar jelas. "Maksud lo?" tanya Nisa berpindah tempat ke samping Diva. "Semua ini salah gue!" teriak Diva menjambak rambutnya. Tidak lama kemudian, terdengar isak tangis yang begitu pilu. Sahabat Diva memegang dadanya masing-masing, merasakan debaran jantungnya yang begitu kencang karena kaget. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Diva akan berteriak secara tiba-tiba. Setelah merasa lebih baik, mereka menoleh serempak ke arah Diva. Kemudian saling pandang dengan dahi mengernyit bingung. Mereka tidak tahu apa penyebab Diva menangis seperti ini,
Mendengar ucapan Revan, membuat rahang Adit dan Daniel mengeras. Keduanya langsung menatap Revan dengan tatapan tajamnya. Sedangkan Bara, dia mati-matian menahan tawa karena sudah membayangkan reaksi Revan nanti saat sadar sedang ditatap tajam oleh dua singa jantan. "Lo ngomong apa?" tanya Adit datar. "Diva cantik banget, bikin gue terpesona sampai mau pingsan rasanya," jawab Revan menatap Diva dengan tatapan memuja, tidak sadar bahwa di sampingnya sudah ada dua ekor singa yang siap menerkamnya kapan saja. "Oh, terpesona. Lo suka sama Diva?" Daniel bertanya di dekat telinga Revan, membuat sang empunya bergidik ngeri karena nada suaranya begitu rendah. "Kalau mau tanya ya tanya aja, bisikan lo bikin gue ngeri," gerutu Revan menghadap ke samping, seketika kakinya melangkah mundur dengan mata yang melebar sempurna. Dia menelan salivanya susah payah, mengetahui tatapan Adit dan Daniel yang seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Tawa Bara langsung
"Aw, sakit, lepasin!" Sekuat tenaga Diva berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikatnya. Dia sama sekali tidak tahu, apa maksud dan siapa orang yang tidak mempunyai kerjaan hingga melakukan ini padanya. Membawa ke gudang lalu mengikat badannya di kursi yang sedikit rapuh. Sedangkan orang yang bersangkutan justru duduk nyaman di meja dengan tangan yang bersedekap dada. Keadaan gudang yang gelap, ditambah masker hitam yang melekat di wajahnya, membuat Diva tidak bisa mengenali siapa orang itu. Diva menghentikan gerakannya saat merasa kursi yang didudukinya hampir patah. Tatapan kesalnya tertuju pada orang di depannya. "Lo siapa sih? Kalau ada masalah cepat omongin, gue engap lama-lama di sini. Badan gue juga sakit, berasa jadi kambing diikat gini." "Santai, jangan terburu-buru. Kita nikmati aja setiap detiknya," ujar orang itu seraya turun dari meja dan berjalan mengelilingi Diva.
Bukannya sedih karena dikeluarkan dari kelas, ketiga sahabat Diva justru merasa sangat senang. Karena, mereka bisa memanfaatkan keadaan ini untuk mencari keberadaan Diva yang sejak tadi membuatnya cemas. "Ke toilet aja dulu," usul Nisa dengan pandangan yang mengarah ke handphonenya. "Serius banget muka lo, ngapain?" tanya Mira berkacak pinggang. "Gue wa Daniel, mungkin Diva lagi sama mereka," jawab Nisa tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphonenya. "Centang dua abu-abu, ke toilet dulu yuk!" ajak Nisa memasukkan handphonenya ke saku rok. Tanpa menunggu kedua sahabatnya, Tika langsung berlari cepat menuju kamar mandi. Dia sudah sangat khawatir, sedangkan kedua sahabatnya berjalan begitu lambat. Gadis itu tidak peduli dengan murid-murid yang akan terganggu akibat bunyi gebrakan sepatunya di koridor yang begitu sepi. "Njir, tuh anak benar-benar ya. Padahal ini lagi jam pelajaran, bukannya jalan pelan-pelan malah bikin gaduh," ger
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s