"Ini rumahnya, Bro. Daripada nggak ditempatin. Kalau lu nggak cocok, bisa lihat yang lainnya lagi. Ada 5 rumah kosong dan siap untuk di kontrakkan," ucap lelaki bernama Agus. Salah satu teman Arjuna yang ia kenal di tempat kerjanya. Dulu, keduanya sama-sama bekerja di satu perusahaan, hanya saja Agus bertahan 1 tahun dan mengundurkan diri. Namun, meskipun demikian, mereka masih saling berkomunikasi walau hanya sekedar saling sapa di sosial media. "Wih, keren banget. Padahal dulu kehidupan loe nggak beda jauh sama gue, eh sekarang malah loe jauh lebih berhasil. Punya lima investasi rumah pula. Keren! Keren!" puji Arjuna sembari bertepuk tangan. Agus yang mendapatkan pujian pun hanya tersenyum lalu mengangguk. "Alhamdulillah, Bro. Rejeki bagus setelah keluar dari perusahaan yang dulu."Agus, Arjuna dan juga istrinya melanjutkan langkah untuk melihat-lihat isi rumah. Setiap ruangan, tak luput dari mereka. "Berapa, Bro?""Nggak mahal, 4 juta saja per tahun. Loe nyari kontrakan di baw
Alarm di ponsel itu berbunyi, membuat tubuh wanita yang tengah berbaring di atas ranjang itu menggeliat. Cepat, ia mengambil ponsel lalu mematikan bunyi alarm. Setelahnya, ia meletakkan kembali benda pipih itu. Diangkatnya kedua tangan ke atas, berharap mampu merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Rahma masih terdiam, berusaha mengumpulkan segenap kesadarannya yang sempat hilang sembari mengerjapkan mata beberapa kali. Rahma menghembuskan napas kasar, setelahnya, ia menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding kamar. Dimana jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Tak bisa dipungkiri, ingin rasanya Rahma kembali terpejam sebab rasa ngantuk yang masih menyerang. Namun Rahma tau, itu tak mungkin ia lakukan. "Kamu bisa, Rahma. Semua demi masa depan Rendy! Ayo, semangat!" Rahma menyemangati diri sendiri. Gegas ia mengubah posisinya menjadi duduk di tepi ranjang. Sejenak, Rahma terdiam, lalu tak lama kemudian ia bergegas berdiri dan melangkah menuju ke ara
"Boleh, Mbak. Sebentar ya, saya bungkuskan." Dengan cekatan, Rahma mengambil kantong kresek kecil lalu memasukkan 2 risoles dan 1 pastel ke dalamnya, lalu memberikannya pada pelanggan pertamanya. "Ini, Mbak. Kalau suka, boleh bilang sama tetangga-tetangga ya, Mbak. Biar pada tau, hehe. Kalau ada yang kurang pas dengan rasanya, Mbak bisa bilang ke saya. Biar saya benahi resepnya." "Iya, Mbak. Ini uangnya." Wanita itu menyerahkan satu lembar uang pecahan sepuluh ribuan, dan bergegas Rahma memberikan satu keping koin seribuan. Setelah pelanggan pertamanya pergi, Rahma kembali duduk dengan senyum yang mengembang. Sungguh, kedatangan pelanggan untuk pertama kalinya benar-benar menciptakan kebahagiaan yang luar biasa untuk Rahma. "Alhamdulillah, Sa, ada yang beli," ucap Rahma sembari mendaratkan kembali bokongnya di tempat semula. "Alhamdulillah, Rahma. Aku juga ikut senang. Mudah-mudahan dagangan kamu laku ya. Hanya satu pesanku, misal hari ini atau beberapa waktu ke depan belum sesu
[Dari yang semula merasa jadi Nyonya yang setiap hari kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki, sekarang harus banting tulang. Ha ha, kasihan sekali hidupmu.]Sebuah pesan yang baru saja masuk membuat dada Rahma terasa bergemuruh. Pesan tersebut dikirim oleh nomor Arjuna. Dan belum sempat Rahma membalasnya, pesan dari nomor yang sama kembali masuk ke ponselnya.[Tiap hari harus duduk di depan penggorengan. Nanti wajahmu jadi berminyak loh.]Di akhir pesan kedua, terdapat emoticon tertawa ngakak berjejer-jejer. [Kalau sudah berminyak, berjerawat dan dekil, pasti tidak ada lagi yang mau denganmu. Sudah janda, buruk rupa pula. Ck!]Pesan ketiga kembali masuk dan langsung dibaca oleh Rahma, membuat gemuruh di dalam dada Rahma semakin terasa membuncah. Bahkan, tanpa disadari olehnya, ekspresi wajahnya pun terlihat merah padam, dan itu tertangkap pada penglihatan Elisa. [Benar-benar memalukan! Lihat saja, apakah kamu akan hidup bahagia setelah lepas denganku? Oh ya, aku tidak ada waktu untuk
Sebuah mobil taksi online mulai melambatkan laju kendaraannya begitu sampai di alamat pemesannya. Risa dan Arjuna yang menyadari adanya mobil berhenti lekas keluar kamar lalu melihat ke arah depan. Dan benar saja, taksi online yang ia tunggu telah tiba. "Mas, ayo berangkat," ajak Risa, dan Arjuna pun mengangguk. Gegas, keduanya pun melangkah masuk ke dalam kamar. Membawa satu koper dan 2 tas jinjing berukuran besar keluar. "Bu, kami pamit dulu, ya," ucap Arjuna begitu ia sampai di ruang tamu, dan melihat sang ibu tengah berbaring di sofa. Sang ibu yang mendengar ucapan Arjuna pun bergegas bangkit dari tempatnya rebahan lalu melangkah mendekat. "Ya, yang betah di sana. Jangan kontrak dua hari, balik lagi. Berat, ibu kalau suruh tanggung makanan kalian, apalagi kamu sekarang jadi pengangguran lagi," celetuk sang ibu. Arjuna yang mendapatkan jawaban yang terkesan seperti sebuah hinaan itu pun hanya mampu menghembuskan napas berat. "Iya, Bu." Selanjutnya, keduanya pun secara berga
Brak!Bu Susan menutup laci dengan kesal lalu disusul dengan suara pintu lemari yang ia banting. Gemuruh di dalam dada wanita itu terasa begitu membuncah. Kemudian, Bu Susan melangkah menuju ke arah depan. Mengambil ponsel yang ia tinggal di meja ruang tamu. Begitu sampai, cepat-cepat Bu Susan mengambil ponsel di atas meja. Dengan posisi masih berdiri, ia mengutak-atik benda pipih itu hingga ia menemukan nomor Arjuna, dan kemudian Bu Susan menekan menu panggil. Berdering, namun tak kunjung diangkat. Bu Susan menggerutu, sebab panggilan pertama tak diangkat. Ia tak putus asa, Bu Susan mengulangi panggilan kedua. "Halo, Bu, ada apa?" Suara Arjuna dari seberang sana seketika terdengar saat panggilan terhubung. "Heh, Arjuna! Sejak kapan kau jadi maling, ha?!""Apa sih, Bu? Apa maksud ibu?" tanya Arjuna dari seberang sana. Dari nada suaranya terdengar biasa saja. "Jangan belaga nggak ngerti kamu, Arjuna! Jangan kau pikir ibu nggak tau kalau perhiasan ibu sudah kalian curi, ya!" Sat
Satu minggu berlalu, dan satu minggu sudah Risa dan Arjuna menempati tempat tinggal barunya. Dan kini, sepasang suami istri itu tengah bersiap-siap untuk datang ke tempat Arjuna bekerja dulu, untuk mengambil uang gaji terakhir dan pesangon berikut juga dengan bonusnya. "Ayo berangkat, Mas." "Iya, Sayang."Sepasang suami istri itu pun melangkah menuju ke arah depan. Dimana sebuah taksi online telah menunggu keduanya. "Sesuai aplikasi, Pak?" tanya Sang sopir begitu dua penumpangnya telah duduk di bagian belakang. "Iya," jawab Arjuna dengan singkat. Kemudian, mobil pun mulai bergerak lalu melesat membelah jalan raya."Nanti aku mau beli satu set perhiasan ya, Mas." Dengan wajah berbinar, Risa menoleh ke arah sang suami. "Iya, beli saja apa yang kamu mau." Semakin nampaklah kebahagiaan yang terpancar pada wajah Risa. Hingga puluhan menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai memelan lalu berhenti tepat di depan gerbang dimana dulu Arjuna bekerja. "Kamu tunggu di sini saja ya. N
"Jadi usaha yang lu lakuin bukan yang mengharuskan langsung ikut terjun, begitu?" tanya Arjuna setelah Bagas menceritakan perihal usaha yang selama ini geluti untuk mencapai kesuksesannya. "Enggak, Bro. Ibaratnya kita tinggal Investasi saja. Misal nih, lu investasi 50 juta, setiap bulan lu bisa dapat 10% dari modal yang lu kasih."Arjuna terdiam, menghitung dalam angannya berapa nominal yang akan ia terima jika ia menginvestasikan 50 juta uangnya pada Agus. "5 juta per bulan?" "Iya. Lumayan kan. Tinggal duduk ngopi di rumah. Biarkan uang yang bekerja untuk kita, bukan malah kita yang bekerja untuk uang." Lagi, Arjuna kembali terdiam. Mencerna kalimat yang diucapkan oleh Agus padanya."Lu kerja pagi sampai sore, gaji 10 juta. Dikibulin sama perusahaan itu!" Agus tertawa mencemooh. "Gini saja deh, Bro. Coba saja Investakan 50 juta dulu, kalau lu merasa cocok, nanti tambah lagi nilainya. Katakanlah investasi 100 juta, bayangkan saja setiap bulan dapat uang cuma-cuma 10 juta tanpa be
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum