"Kalau memang kamu menginginkan hak asuh Rendy, ambillah! Sebentar lagi, aku akan mendapatkan anak dari Risa. Aku benar-benar tidak perduli soal itu. Tapi jika soal harta, jangan harap aku akan melepaskannya begitu saja!" Rahma tertegun begitu mendengar kalimat pertama yang dengan lancarnya diucapkan oleh Arjuna. Wanita itu terperangah, terbukti kedua bola matanya yang sempat membelalak. Lalu tak lama Rahma berhasil menguasai dirinya sendiri. "Silakan kalau kamu mau menuntut harta gono-gini. Kamu seorang manager, tentu tau dong kekuatan surat perjanjian yang ditandatangani di atas meterai?" "Mas, kapan kamu menandatanganinya?" bisik Risa di telinga Arjuna, namun masih terdengar jelas di telinga Rahma. Arjuna mengedikkan bahu sebagai jawabannya. Namun, seketika ia teringat soal Rahma yang meminta tandatangan darinya beberapa hari yang lalu. "Kamu berpura-pura meminta tanda-tanganku atas nama Pak RT?" "Yaps! Betul sekali!" Mendengar jawaban Rahma yang nadanya begitu tenang, ditam
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu terdengar, Rahma yang tengah duduk di depan televisi dengan Rendy yang ada di sampingnya bergegas bangkit dari tempat duduknya. Lalu wanita itu melangkah ke arah depan–meninggalkan Rendy yang berbaring di atas kasur lantai. Rahma melangkah, hingga akhirnya sampailah ia di balik pintu. Wanita itu menyempatkan untuk membuka tirai jendela, memastikan siapa yang datang. "Elisa," lirih Rahma begitu melihat wajah Elisa yang seperti tengah gelisah. Sontak, wanita itu memutar anak kunci lalu membukanya. Dan begitu pintu terbuka, Elisa langsung menghamburkan pelukannya ke tubuh Rahma. "Hey, kamu kenapa?!" Rahma mengurai pelukan Elisa. "Aku yang seharusnya bertanya, Rahma! Sahabat macam apa kamu ini?!" "Aku? Kenapa?" "Kenapa kamu bilang?! Apa kamu masih menganggapku seorang sahabat?" "Tentu!""Lalu kenapa kamu menyimpan masalahmu seorang diri?" Kening Rahma berkerut, ia masih tak paham kemana arah pembicaraan sahabatnya itu. "Kamu telah menggerebek su
Semburat jingga mulai terlihat. Dengan mendorong kereta bayi, Rahma tengah berjalan di taman yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pandangan wanita itu menyusuri taman yang kian ramai. Beberapa muda-mudi terduduk di sebuah tikar sembari menikmati cemilan dan teh hangat yang ada di hadapannya, dan sebagian lainnya tengah terduduk di kursi berderet yang terbuat dari besi sembari menyaksikan anak-anak yang sedang berlarian kesana kemari. Hembusan angin sore menerpa lembut wajah cantik wanita itu. Beberapa kali ia menghela napas dalam-dalam lalu dikeluarkannya secara perlahan saat mengingat jika tempat ini menjadi tempat favoritnya saat ia mengandung buah cinta dari pernikahan mereka.Rahma terus melangkah, sesekali bibir wanita itu tersenyum getir saat menyaksikan seorang anak yang tengah bermain ditemani dengan kedua orangtuanya. Hingga sampailah ia di kursi kosong. Wanita itu lantas mendudukkan bokongnya setelah mengambil Rendy dari stroller. "Nanti kalau sudah bisa jalan, Mama yang
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu terdengar, membuat Bu Susan–ibunda dari lelaki bernama arjuna–yang tengah asyik menonton serial sinetron kesayangannya berdecak kesal. Ia merasa terganggu dengan suara ketukan pintu yang terdengar beruntun. "Siapa sih," gerutu Susan. Wanita paruh baya yang kini mengenakan daster panjang dengan lengan sebatas siku itu beranjak dari tempat duduknya, lalu ia melangkah ke arah depan. Hingga tak berselang lama pintu pun terbuka, hingga menampilkan sang putra bersama wanita yang saat ini telah sah menjadi menantunya berdiri di hadapannya. Pandangan Bu Susan beralih pada dua koper dan tas jinjing yang ada di samping kaki arjuna. "Assalamualaikum, Bu," ucap Risa sembari meraih tangan kanan Bu Susan lalu mencium punggung tangan yang mulai ditumbuhi oleh keriput halus. "Kalian ngapain? Kok bawa itu, itu dan itu?" tanya Bu Susan sembari menunjuk dua koper dan tas jinjing secara bergantian."Kita bicara di dalam, Bu. Nggak enak kalau didengar tetangga." B
"Ada apa, Put?" Sontak saja, secara serampak sepasang ibu dan anak itu menoleh ke arah Arjuna dengan sorot mata yang memancarkan suatu amarah. "Semua ini gara-gara kamu, Mas!" Tiba-tiba saja Putri memekik sembari mengurai pelukan dari sang ibu. Gadis itu berdiri, menatap tajam ke arah sang kakak dengan wajah yang berlinangan air mata. "Apa maksudmu? Aku? Bahkan kamu kenapa pun aku tidak mengerti," ucap Arjuna sembari melangkah mendekat dengan Risa yang berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. "Kamu ini kenapa? Katakanlah." Tak memberikan jawaban apapun, tangan Putri langsung meraih sebuah asbak yang ada di atas meja, setelahnya ia melemparkannya ke arah sang kakak. Namun sayang sekali, dengan gesit Arjuna menghindarinya hingga membuat asbak itu mengenai dinding lalu terpental. "Gila kamu, Put!""Kamu yang gila, Mas! Gara-gara Mas yang digerebek dan video itu viral, keluarga Mas Reno membatalkan niatnya untuk menikahiku!" pekik Putri dengan emosi yan
Deg!Jantung gadis itu seperti berhenti berdetak. Cepat, ia melepaskan diri dari dekapan sang ibu. Lalu ia menatap sang kekasih dengan sorot mata penuh rasa kekecewaan, ditambah bibir yang bergetar karena isakan tangis yang ia tahan kuat-kuat. Gadis itu ingin berkata, namun suaranya seperti tertahan di tenggorokan. Dan sepersekian detik kemudian, Putri bangkit dari tempat duduknya lalu dengan setengah berlari ia menuju kamar. Sang ibu pun terlihat panik. Ia ingin mengejar langkah sang anak, namun Arjuna memberikan kode untuk berdiam di tempat. Bu Susan pun terduduk dengan perasaan gusar. "Pah ....""Diamlah," lirih lelaki paruh baya itu. Reno menghembuskan napas berat. "Sebenarnya ada cara agar pernikahan itu bisa terealisasikan." "Bagaimana, Bu Retno?" Cepat, Bu Susan bertanya. Tak langsung menjawab, sorot mata ibunda Reno terlihat mengisyaratkan suatu perasaan tak nyaman karena adanya Arjuna. "Kamu ke belakanglah dulu," bisik sang ibu kepada Arjuna. Wanita itu seolah-olah t
Prang!Prang!Risa yang masih tertidur, seketika tersentak kaget begitu mendengar suara panci dan wajan yang saling dibenturkan. Bahkan, karena terlalu terkejutnya, tubuh wanita itu seketika bangkit dari pembaringan. Tak bisa dipungkiri, dada wanita itu terasa berdebar-debar."Alhamdulillah punya menantu yang rajiiinnnnn sekali." Suara sang ibu mertua terdengar dari luar sana. Kini, Risa baru menyadari kode yang diberi oleh sang mertua. "Huft!" Hembusan napas kasar keluar dari bibir Risa, setelahnya ia menoleh ke arah jarum jam yang ada di dinding. Dimana jarum jamnya menunjukkan pukul setengah lima pagi."Masih pagi buta loh ini. Bahkan, langit pun masih gelap," gerutu Risa yang kini memendang ke arah luar melalui jendela kaca yang ada di dalam kamar. Beberapa kali Risa menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan, lalu wanita itu mengambil kunciran yang ia letakkan di atas bantal.Rambutnya digelung asal dan kemudian, ia menyibak selimut tipis yang sejak semalam
"Ibu kenapa?" tanya Risa lirih. Arjuna mendengkus, namun pada akhirnya lelaki itu berjalan mendekat ke arah sang ibu."Mas, ibu pingsan," rengek Putri sembari suara isak tangis yang terus keluar. Begitu dekat, Arjuna membopong tubuh sang ibu menuju kamar. Perlahan, lelaki itu membaringkannya di atas ranjang. "Put, ambilkan minyak kayu putih." "I–iya, Mas." Gegas Putri melangkah menuju etalase yang ada di ruang tengah, mengeluarkan kotak, lalu mengambil minyak yang diminta oleh sang kakak. Dan begitu menemukan, dengan setengah berlari Putri kembali menuju kamar. "Ini, Mas." Putri mengulurkan benda tersebut. Arjuna yang sedari menepuk-nepuk pelan pipi sang ibu pun menoleh, mengambil benda kecil itu. "Sayang, tolong berikan minyak ini ke ibu. Aku mau kabarin pihak kantor, datang agak telat." Risa yang berdiri di belakang sang suami mengangguk, lalu ia mengambil alih minyak tersebut. Begitu Arjuna pergi, Risa mendudukkan tubuhnya di samping sang ibu mertua. Gegas, ia membuka penutu
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum