"Apa yang dokter lakuin di sini?" tanya Violet saat mereka sudah duduk berhadapan di ruangan BK ini.
Bunga tersenyum lembut saat mendengar nada tak bersahabat itu. "Kamu nggak pernah datang lagi semenjak kamu keluar dari rumah sakit. Dan orang tua kamu khawatir soal itu."
Violet mengernyitkan dahinya heran. Heran dengan perkataan yang Bunga lontarkan padanya. Di keadaan seperti ini orang tuanya masih memperdulikan kesehatan mentalnya? Bahkan sampai menyuruh dokter ini ke sekolah?
"Kalau begitu kita akan mulai sesi konselingnya." Bunga mulai mengacak isi tasnya. Mengeluarkan beberapa dokumen yang sekiranya perlu.
Selama proses konseling berjalan, Violet benar-benar terlihat tidak niat dalam menjawab pertanyaan Bunga. Bahkan beberapa ada yang berbohong. Lagipula tidak penting bukan?
"Obatnya kamu minum, kan?" tanya Bunga tiba-tiba.
Dengan santainya Violet
Lagi dan lagi. Entah bagaimana Violet dapat memijakkan kakinya di tanah gersang dan langit berwarna merah ini. Kalau Amon bilang ini adalah tanahnya, dan kalau Amon itu iblis. Berarti Violet berada di neraka? Jadi kesimpulannya apa Violet sudah mati?"Kau belum mati."Violet menoleh ke sumber suara. Antara lega tidak lega sih mendapati seseorang yang dia kenal di sini. "Amon." panggil Violet pelan."Ya." jawab Amon dingin."Apa lo yang bawa gue ke sini?" Violet menatap Amon tak suka."Tentu saja." jawab Amon sombong.Mendengar itu Violet semakin menatap Amon tak suka. Violet benar-benar membenci tempat ini. Dia tidak menyukainya. Selain hawa tempat ini yang negatif, dia juga selalu merasa ada banyak mata yang mengawasi dirinya. Dan itu membuat bulu kuduknya selalu merinding kalau membayangkan ada yang benar-benar mengawasi gerak gerikn
Terlalu banyak hal yang terjadi di hari ini. Hari yang singkat, namun memiliki banyak cerita untuk Violet ingat. Ada yang baik, mendebarkan, dan juga menyeramkan. Semuanya terlalu tiba-tiba untuknya. Tapi tak dapat pula dihindari.Violet kini semakin takut untuk keluar. Fakta kalau banyak yang mengincar nyawanya saja sudah membuatnya takut bukan main. Bagaimana kalau kejadian tadi akan terulang di masa depan?Soal Bunga. Pantas saja Violet tidak menyukainya. Ternyata firasatnya tidak salah dalam menilai wanita itu. Lalu, bagaimana cara Violet memberitahu orang tuanya soal Bunga? Dokter gadungan yang jahat itu.Belum lagi soal El. Apa pria itu benar-benar marah? Violet ingin menghubunginya, namun gengsi sudah mendominasi pikirannya. Kalau dipikir-pikir, pria itu tidak perlu marah. Memangnya apa yang dia marahkan?Gadis itu mengacak rambutnya kesal, "Ah, nggak tahu lah! Pusing gue. Banyak banget
"Murahan banget, ih!""Pantes aja kemaren lehernya...""Gila! Masa mainnya sama guru, sih?!"Dan masih banyak lagi bisik-bisik yang Violet dengar dari titiknya berdiri sekarang. Gadis itu sudah kepalang malu. Padahal bukan itu yang sebenarnya terjadi.Bobi menepuk pelan bahu Violet yang sibuk mendengarkan gunjingan tentang dirinya, "Nanti jelasin sama gue. Sekarang mending kita ke kelas. Gue temenin." ucap Bobi pelan. Jujur dia kasihan pada Violet. Gadis yang dulunya idola satu sekolah kini berubah menjadi bahan tertawaan dan cemoohan.Violet menatap Bobi lama. Dia sedikit lega karena kakak sepupunya akhirnya bisa membelanya di sini. Setidaknya dia tidak sendirian di sini."Ayo." ajak Bobi sambil menggenggam tangan Violet.Mereka berjalan dengan tatapan dan bisikan yang menghujam mereka tiada henti. Violet sih lebih tepa
Tangan Violet baru saja mendorong daun pintu kelasnya dan dia sudah dilempari balon yang berisi susu tepat sasaran di tubuhnya.Diulangi, dilempari balon berisi susu.Violet yang masih mematung di ambang pintu itu memejamkan matanya erat kala beberapa balon kecil yang berisi susu kembali dilempari padanya. Dia tidak dapat menghindar karena terlalu kaget."Lihat siapa yang masih berani ke sini?" Anya berteriak sambil melempar balon ke arah Violet yang masih mematung. "Nggak tahu malu!""Ganjen banget jadi cewek! Nyosor sana sini, guru pun diembat!"Anak-anak di dalam kelas itu ikut mencibir, mengejek, bahkan mentertawakan Violet yang kini tampak kacau dengan tetesan-tetesan air susu yang jatuh dari ujung rok dan rambutnya."Apa-apaan?!" teriak Violet akhirnya setelah terdiam cukup lama. Gadis itu seperti sedang menahan sesuatu yang akan melua
Violet berjalan diiringi tatapan jijik dan menghina. Dia berusaha mengabaikan tatapan-tatapan mengerikan itu dengan berjalan secepat yang ia bisa. Emosinya masih belum mereda 100% tapi tidak mungkin kan dia mengamuk di koridor sekolah dan melawan puluhan anak-anak ini?"Ih lihat! Masih berani aja dia jalan!""Nggak tahu malu banget, sih!""Gila ni cewek."Dan masih banyak hinaan-hinaan yang Violet dengar dengan jelas. Yang bisa dia lakukan hanya memasang muka setebal mungkin dan berjalan dengan cepat, secepat yang ia bisa agar dapat meninggalkan sekolah terkutuk ini.Tiba-tiba Violet teringat sesuatu. Dua tahun lalu, tepat disaat dia sedang ujian nasional dia sudah mewanti-wanti agar tidak memasuki SMA ini. Seharusnya dia bersikeras agar tidak masuk SMA ini, bahkan kalau perlu seharusnya dia merengek seperti bayi saja. Ternyata firasatnya benar, seko
"Ini..." Vina menggantung ucapannya, dia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ini tentang keluarga kita." Jantung Violet langsung berdegup kencang mendengarnya. Apa ini? Apa lagi masalah yang datang menghampirinya? "K-kenapa, Ma?" Violet menggigit bibirnya, ah, suaranya jelas sekali terdengar bergetar. Dapat Violet dengar suara isakan tertahan dari ponselnya. Firasat Violet semakin tidak enak, "Aku bakalan pulang sekarang. Mama tunggu aku, ya." ucap Violet akhirnya dan mengakhiri sambungan secara sepihak. Jujur, setelah ponsel sudah menjauh dari telinga, Violet menjadi bingung. Bingung sekali. Apa...apa yang harus dia lakukan? Violet tidak tahu. Firasat Violet mengatakan semuanya sedang tidak baik-baik saja. Violet takut untuk pulang dan menghadapi kenyataannya. Tangannya bergetar meraih gelas minuman dan meminumnya hingga tandas
"Saya malu.""Saya malu punya anak sakit mental."Kata-kata itu bagai belati tumpul yang dipaksa menancap di dada Violet. Kata-kata itu terus terulang di kepalanya bagai kaset rusak yang tidak dapat dikeluarkan dan terpaksa harus kita tonton dan kita dengarkan sampai muak.Violet memukul-mukul kepalanya dengan keras, "Berhenti mikirin itu!" teriaknya sambil menahan tangis.Violet berjalan dengan pelan dengan wajah linglung dan sedih. Beberapa orang yang berlalu lalang menatapnya heran, tapi Violet tidak peduli. Dia sedang sibuk menutupi luka yang menganga dengan begitu lebarnya.Bagi Violet, tidak ada kata-kata yang lebih menyakitkan dibanding dikatai gila oleh orang tua sendiri. Dia tidak masalah bila anak sekolahnya mengejek dirinya dan mem-bully-nya, tapi tidak dengan orang tuanya sendiri.Violet berhenti berjalan dan me
"TUNGGU! VIOLET!"Violet memutar pelan kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Dengan tatapan kosong, Violet melihat seorang pria yang tampak kaget sekaligus marah, atau...sedih?"...El...?" panggil Violet dengan suara yang sudah melemah.El mengangguk cepat, pria itu melangkah perlahan mendekati Violet sambil mengulurkan tangannya. "Iya. Ini saya. Ayo kamu turun dulu dan berbicara dengan saya."Violet menggeleng lemah dan kembali menatap lurus ke atas langit malam yang gelap. "Gue akan mengakhiri semua ini.""GUE AKAN AKHIRIN SEMUA INI!" ulang gadis itu dengan histeris.El benar-benar tak tahu harus berkata apa. Selama ini dia selalu melihat bagaimana para manusia mengakhiri nyawanya secara langsung dan tidak merasakan simpati sedikitpun pada mereka. Tapi untuknya di saat ini, Violet berbeda, bukan hanya karena nyawanya yang bergan
Dear Violet,Saya tidak tahu harus menulis surat yang bagaimana. Tapi saya tahu ajal saya tidak akan lama lagi. Jadi saya memutuskan untuk menulis surat.Saya hanya ingin kamu bahagia selalu dan juga tetap sehat. Jangan terlalu sering melamun dan makan yang banyak karena saya sering memperhatikan kalau kamu jarang sekali makan.Perlu kamu ketahui, saya benar-benar ingin kamu bahagia. Terlepas kamu adalah mawar atau bukan. Bagi saya, kamu hanyalah Violet sekarang. Tapi saya harus mengakui kalau saya mencintai kamu dari dulu sampai sekarang.Mungkin kamu tidak akan menemui saya lagi kalau sudah membaca surat ini. Karena mungkin saja saya sudah mati, atau mungkin kita berdua akan sama-sama mati? Yang jelas saya ingin menulis surat ini untuk kamu.Saya tidak pernah menulis sepanjang ini, jadi maklumi saja kalau isi surat ini aneh.Saya tah
"Kak caramel macchiato satu, dong."Violet tersenyum dan mengangguk menerima pesanan yang datang. Dengan lihai gadis itu membuat pesanan."Terima kasih, silahkan menikmati." Violet tersenyum seraya memberikan cup gelas itu kepada pembeli.Gadis itu kemudian membersihkan gelas-gelas yang kotor di meja. Dan mengelapnya agar lebih bersih. Apalagi terdapat bekas embun air yang jatuh ke meja, tentu harus dilap kan?"Oi, Violet!"Violet menoleh saat mendapati suara yang familiar di telinganya. Senyuman lebar Violet berikan pada orang itu."Lucy,"Lucy langsung saja duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista. Agar dapat lebih leluasa berbicara dengan Violet."Lagi di sini, ya?"Lucy mengangguki pertanyaan Violet, "Aku sedang bertugas 'lagi'." jawabnya
"Sudah lama ya, El."El langsung saja menolehkan kepalanya kaget. Pria itu langsung menyembunyikan Violet di balik punggungnya yang lebar. Violet tidak dapat melihat ekspresi dari El, yang jelas dia tangan El gemetaran.Dengan tangan yang berada di belakang memegangi Violet, El berteriak marah pada lelaki yang baru datang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Violet merinding mendengar kekehan yang pria itu keluarkan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, siapa yang datang secara tiba-tiba itu? Apakah dia seorang iblis juga? Violet tidak sempat melihat wajahnya karena keburu ditarik ke belakang oleh El, tapi dia tahu kalau itu bukan Amon.Terutama aura yang sangat mencekam yang pria itu keluarkan. Amon memang menyeramkan tapi dia tidak mengeluarkan aura seperti ini."Tentu saja aku datang untuk membunuhmu."El semakin mengeratkan
Kamar El sudah tak terlihat sebagai tempat yang dapat untuk ditiduri lagi. Pasalnya begitu banyak barang yang hancur, sudah tidak terbentuk lagi karena El melempar semua benda yang ada di ruangan itu.Mulai dari lampu, meja, lemari, bahkan pakaiannya. Semuanya dia hancurkan. Guna untuk melampiaskan amarahnya yang bahkan tidak bisa ia salurkan dengan teriakan.Otaknya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat. Pikiran untuk melenyapkan siapapun yang membocorkan hal itu pada Violet. Dan ya, Lucy akan menjadi yang pertama. Lalu mungkin Bunga akan menjadi yang selanjutnya."Sialan!" makinya entah untuk yang ke berapa kali.Siapa yang harus dia salahkan kini? Siapa yang harus menjadi sasaran amarahnya kini? Violet sudah mengetahui semuanya, semuanya sudah hancur! Hancur menjadi leburan.El memukul-mukul kepalanya, lagipun bagaimana bisa dia tidak mengetahui k
Suara kaki Violet yang beradu dengan tanah karena terseret-seret mengikuti langkah kaki El yang terburu-buru begitu jelas terdengar. Ditambah lagi jalanan yang sepi, malah hampir tidak dilalui orang membuat suara itu kian jelas terdengar. Ringisan juga tak luput berhenti Violet keluarkan, karena El yang terus menarik lengannya dengan kasar.Violet berusaha menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman El, namun yang ada lengannya malah dicengkeram semakin erat. "El! Lepasin! Gila ya lo?!"Bagai tersadar, El pun berhenti berjalan dan melepaskan cengkeramannya. Tertangkap oleh indera penglihatannya kalau lengan Violet membiru.Nafas pria itu tampak memburu, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Padahal seharusnya Violet lah yang kini mengamuk padanya."Kenapa kamu menemui dia?!"Violet yang sedari tadi mengelus pergelangan tangann
Selama perjalanan pulang, Violet hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. El sebetulnya heran dengan sikap diam itu, tapi tidak mau bertanya lebih jauh. Sampai mobil mereka yang sudah sampai di basement apartemen pun, Violet masih tidak sadar dan terus melamun."Kita sudah sampai." ucap El pada Violet beserta tepukan pelan ia beri di bahu gadis itu.Violet langsung terperanjat, "O-oh udah sampai."Karena rasa penasaran yang tak dapat dia bendung, akhirnya El pun bertanya. "Kamu melamun kan apa?""Enggak, kok." kilahnya, "Yuk, turun." Violet berusaha mengalihkan perhatian El dengan mengambil barang-barang yang baru saja El bawa. Dan El pun membantunya untuk membawa bungkusan-bungkusan pakaian itu, karena memang lumayan banyak.Di dalam lift pun suasana di antara mereka kian canggung. Padahal sebelumnya mereka bersenang-senang dengan riang gembira
Saat Violet membuka matanya, rasa pusing yang pertama kali dia rasakan. Mungkin ini efek tidur terlambat, ralat, sangat terlambat. Terakhir kali dia melihat jarum jam sudah mengarah ke angka 4 dan sekarang baru pukul 8 pagi. Inginnya tidur lagi, tapi matanya tidak dapat dipejamkan lebih lama.Karena tak dapat kembali tidur, mau tak mau Violet pun beranjak dari kasurnya. Sambil memegangi kepalanya yang nyeri, gadis itu berjalan ke arah balkon kamar yang ia tempati untuk merasakan udara di pagi hari.Tapi suara ketukan pintu membuat Violet berhenti melangkah ke arah pintu balkon dan berjalan dengan kaku ke arah pintu kamarnya."Y-ya?" aduh, ketahuan sekali kalau dia menjadi gugup karena ketukan itu.Terdengar suara deheman pelan dari luar, "Sarapan."Violet mencibir mendengar ucapan singkat nan padat yang El beri.Bukankah hanya ak
Mata Violet terlihat kosong saat bertanya pada El bersamaan dengan suaranya terdengar begitu sendu."Kenapa lo menghalangi gue buat mati?"El mengerjapkan matanya pelan saat mendengar pertanyaan yang paling dia hindari seharian itu akhirnya keluar juga. Pria itu memalingkan wajahnya, tidak tahu harus menjawab apa."Jawab gue." Violet berkata pelan, namun terdengar begitu menusuk dan menuntut.Melihat El yang hanya dapat diam, Violet melanjutkan perkataannya. "Seharusnya lo yang paling pingin gue mati."El langsung menatap marah Violet. Pria itu juga langsung berdiri. "Maksud kamu apa berkata seperti itu?!"Violet menatap El dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Begitu banyak yang ingin gadis itu katakan, tapi lidahnya terlalu kaku untuk dia gerakkan. Mengingat bagaimana perlakuan kejam El padanya selama ini, lalu secara tib
Hening.Kata itulah yang menggambarkan bagaimana keadaan ruang makan di apartemen milik El itu. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring lah yang mengisi kekosongan di antara mereka.Violet merasa canggung selama dia menyuapi makanannya ke mulut. Pasalnya hanya dirinya sendiri yang makan, tidak masalah apabila El tidak makan dan meninggalkannya sendirian. Tapi masalahnya terletak pada El yang duduk dihadapannya dan menatap dirinya yang sedang makan dengan tatapan yang sangat lurus dan serius. Seperti mengamati hewan peliharaannya yang sedang makan.Violet meletakkan sendoknya dan membalas tatapan El, "Kenapa lo lihatin gue terus, sih?" tanyanya kesal."Tidak ada." jawab El langsung yang mana hal itu semakin membuat Violet kesal.Akhirnya gadis itu melanjutkan makannya walau risih masih mengikuti karena El yang tak berhenti menatapnya.