Aku terbangun saat terdengar kumandang azan subuh. Kemudian segera mengambil air wudhu dan shalat di rumah.
Fadil masih terlelap di atas tempat tidur. Entah sampai kapan lelaki itu akan lari dari kewajibannya kepada Allah. Di dalam sujudku, tidak hentinya diri ini mendoakan Mas Fadil agar kembali ke jalan dan agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja. Aku berusaha bersikap senormal mungkin dan melupakan kejadian semalam. Menyiapkan sarapan dan memasakkannya air panas untuk mandi. Ayam jantan telah berkokok sedari subuh. Akan tetapi, lelaki itu masih lelap dalam buaian mimpi. Selang beberapa menit, akhirnya Fadil terbangun dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu. Lelaki itu menggapai gawai yang ada di atas nakas, kemudian melakukan sebuah panggilan vidio dengan seseorang. Aku nengintipSeperti biasanya, selama Mas Fadil di Cintabumi. Ia tidak memberi kabar sedikit pun. Seolah lupa bahwa kami juga selalu menantikan kepulangannya.Aku menelpon Adi untuk membicarakan kemungkinan Mas Fadil dipindah tugaskan dari kota terkutuk itu.[Aku yang akan ngomong langsung ke atasannya, biar dia dipindahin] ucap Adi dari balik gawai.[Usahakan pindahin ke tempat yang jauh, kalau bisa sekalian aja ke luar pulau. Biar nggak bisa ketemu lagi sama si Pelakor, biar ilmu pelet si Pelakor hilang di lautan] sahutku berapi-api.Kami pun saling berbalas pesan untuk membahas kemungkinan Mas Fadil dipindahkan. Adi memiliki jabatan setingkat lebih tinggi dari Fadil. Mudah bagi adik laki-lakiku itu untuk membuat Fadil pindah, bahkan untuk menghancurkan karirnya sekali pun.Mungkin, inilah cara terakhirku untuk menjauhkannya dari Melati. Segala cara telah kutem
Kepindahan Mas Fadil ke kotaku, tidak serta merta membuatnya meninggalkan Melati. Lelaki itu rela pulang pergi Bandung cintabumi dan sering bolos di hari kerja hanya untuk menemui perempuan murahan itu."Aku akan cari kontrakan," ucap Mas Fadil sebelum ia berangkat bekerja."Kenapa? Bukannya lebih baik pulang pergi dari sini saja, kan tidak terlalu jauh?" tanyaku seraya menelisik ke dalam manik cokelatnya."Tidak apa-apa. Melati tidak suka kalau aku tinggal di sini sama kamu. Mungkin aku akan bawa dia ke kontrakan," jawab lelaki tak berperasaan itu datar.Aku pun terdiam membisu, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan laki-laki yang telah dibutakan cinta itu.Otak ini berfikir keras, bagaimana cara memisahkan pasangan haram itu. Tidak ada waktu lagi untuk meratap dan larut dalam kesedihan. Aku harus bangkit dan memenangkan pert
Malam semakin larut, tapi, tidak ada tanda-tanda Mas Fadil akan pulang. Padahal hari ini adalah gilirannya untuk pulang ke rumah. Dia sudah berjanji sebelumnya, bahwa akan berlaku adil.Namun, janjinya hanyalah tinggal janji. Tujuh hari dalam seminggu, tidak satu hari pun Mas Fadil menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Ia asyik bersama Melati di kontrakan barunya yang di Bandung.Aku mengintip di balik jendela beberapa kali. Entah kenapa malam itu hatiku gelisah, anak-anak sudah tertidur lelap sedari tadi. Akan tetapi, mata ini tidak hendak terpejam jua.Suara ketukan pintu membuatku terperanjat dan bergegas beranjak dari tempat tidur. Aku berjalan cepat menuju pintu depan, bersiap menyambut kekasih hati yang akan datang.Tanpa menunggu lama, segera membukakan pintu karena yakin Mas Fadil ada di balik daun pintu itu. Hati ini rasanya sudah tidak sabar untuk bersua dengannya. Walau pun lelaki itu kerap sekali menyakit
Hari berganti hari. Minggu berlalu, bulan pun cepat berlalu. Hampir tiga bulan Mas Fadil tidak memberikan kabar. Untunglah ia masih ingat untuk memberikan uang jajan kepada ketiga anaknya.Namun, tentu saja itu tidak cukup untuk menghidupi kami berempat. Aku harus mencari tambahan kesana kemari, dengan berjualan atau pun dengan cara yang lain.Berawal dari iseng untuk melepaskan beban, dengan cara mencurahkan hati lewat tulisan. Aku pun mengirimkan tulisan itu ke sebuah grup kepenulisan di laman Facebook. Tidak disangka, respon dari pembaca begitu banyak dan komentar yang beragam. Sebagian besar mendo'akan dan ada satu yang menarik yaitu komentar dari beberapa senior yang mengkritik tulisan. Di situlah aku mulai terpacu untuk belajar dan akhirnya tergabung di di dunia yang asing, dunia literasi.Hobi yang dahulu pernah ditinggalkan, kini mulai aku gali kembali. Aku mulai belajar di beberapa grup literasi. Kemudian memberanikan diri untuk
Apa mau kamu?" tanyanya dengan tatapan tajam."Empat puluh persen gajimu adalah milik anak-anak. Semua aset yang kita miliki sekarang juga atas nama anak-anak. Kamu juga wajib memberiku nafkah selama masa iddah dari setengah gaji kamu dan kamu juga harus membayar denda sebuah sepeda motor baru untuk aku pakai antar jemput anak-anak ke sekolah," jawabku tidak kalah tajam menatapnya manik cokelat nya."Gila kamu, uang dari mana aku beli motor? udah aja rampok sekalian," ucap lelaki itu terlihat geram.Sudah sepantasnya aku mendapatkan kendaraan sebagai pengganti dari mobil yang kami pakai selama ini. Dulu, kami lah yang berada di mobil itu. Mas Fadil mengantar segala keperluan kami. Akan tetapi, sekarang wanita iblis itu yang berada di dalam mobil, menyingkirkan kami dan menggantinya dengan angkutan umum."Siapa yang merampok? Perempuan iblis itu yang ngambil hak anak-anak. Menghancurkan masa depan mereka!" hardikku denga
Hari itu Mas Fadil kembali bersikap baik kepadaku. Ia mulai menyadari sifat asli Melati. Namun, lelaki itu masih terlihat mencintai dan mengharapkan Melati."Tolong tandatangani ini!" pintanya seraya menyodorkan sebuah berkas pengambilan unit perumahan."Buat apa?" tanyaku penasaran."Buat Melati, Kasihan dia belum punya tempat tinggal," sahutnya dengan tersenyum kecut.Aku memandang nanar berkas yang ada di hadapan. Setelab pinjaman ke Bank gagal, Sekarang mengajukan pengambilan rumah KPR. Betapa berniatnya suamiku untuk memenangkan hati Melati, miris.Ajukan saja semuanya, Aku yakin Allah tidak akan meridhai. Tidak sadarkah Mas Fadil bahwa rezeki yang ia dapat saat ini adalah rezeki anak dan istri sahnya. Bukan milik sang pelakor."Buatkan juga surat keterangan belum punya rumah dari Desa. Aku butuh sekarang," ucapnya tanpa sungkan.Aku menatap pria yang masih menjadi suamiku itu lekat. Berd
Sudah seminggu ini Mas Fadil pulang ke rumah. Sepertinya, hubungan dengan Melati semakin merenggang. Namun, lelaki itu masih tetap berusaha untuk menenangkan hati melati. Buktinya, ia masih suka memata-matai media sosial dan kerap membahas namanya.Malam itu, ia kembali memainkan gawai dan tampak asyik berbalas pesan dengan seseorang.'Mungkinkah itu Melati? Apa mereka sudah baikan lagi?" pikirku di dalam hati.Selang beberapa menit, Mas Fadil pun pergi ke kamar mandi dengan tergesa. Ia meninggalkan gawainya begitu saja, tanpa dikunci. Aku segera mengambil gawai tersebut dan langsung masuk ke aplikasi berwarna hijau. Terlihat deretan chat dengan Melati dan chat dengan beberapa perempuan yang tidak kukenal.Ada satu percakapan yang membuatku tertarik. Chat dengan perempuan bernama Lina. Mereka tampak asyik berchat ria, hampir setiap saat. Mulai dari bercanda hingga menanyakan makan dan lain sebagainya. Aku mulai curiga, apa mungkin
Malam itu, aku tengah sibuk membereskan beberapa baju yang akan dibawa ke rumah kontrakan Mas Fadil bersama si kecil. Sedangkan dua anakku yang lain, akan dititipkan di rumah ibu.Memang berat meninggalkan kedua anakku yang masih butuh perhatian dan masih sekolah. Namun, demi masa depan mereka, aku harus mengikuti Mas Fadil agar bisa mengambil hatinya kembali."Nggak usah banyak-banyak, secukup nya saja," ujar Mas Fadil seraya menatapku lekat."Iya, Mas," jawabku sambil mengangguk.Lelaki itu pun kembali mnemainkan gawainya. Ia tampak asyik masyuk dengan dunia yang ada di layar benda pipih itu'Ini adalah perjuangan terakhirku, Jjka sampai hari raya idul fitri, Mas Fadil tidak kembali seutuhnya. Aku akan menyerah, mungkin dia bukan takdirku lagi,' gumamku didalam hati sambil menatapnya lekat.Malam itu, aku pergi ke rumah ibu untuk berpamitan dan menitipkan kedua anakku."Bu nitip
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya