(POV DOVA)
Mendengar ancaman itu, rasanya aku ingin menghajar bandit kurang ajar yang baru saja berteriak padaku. Dia pikir aku takut?
Sebelum aku sempat berlari menghampiri bandit itu, seseorang meremas pundak kananku dari belakang. "Hey, jangan mudah terpancing emosi."
Aku menepis tangan di pundakku.
"Sudah kubilang, aku ini punya tujuan yang berbeda dengan kalian semua," gertakku tegas. Aku memegang erat-erat gulungan lukisan di tanganku. "Aku tidak mau mengulur waktu lagi dengan kekerasan," jelasku. "Hanya bandit itu yang tahu di mana temanku. Aku akan lakukan negosiasi supaya lebih cepat."
"Apa maksudmu?"
Thank you for reading
Kepalaku pusing. Aku membuka mataku pelan-pelan. Kedua mataku silau terpapar cahaya matahari pagi. Tak ada yang bisa kulakukan selain membuka mata, karena sekujur tubuhku terasa berat untuk digerakkan. Tapi di sampingku, terlihat jelas Dova dengan kemeja putihnya tanpa jas seragam sekolah, duduk menyandarkan kepalanya pada tangan kananku. Ia rupanya tertidur sangat pulas sampai tidak menyadari bahwa aku sekarang sudah bangun. Aku baru sadar ternyata aku memakai double jas seragam. Apakah yang kupakai ini milik Dova? Sepertinya memang iya. Aku lupa tentang kejadian sebelum kami berdua sampai di sini. Yang aku ingat malah tentang truk kontainer besar di pelabuhan. Dan, oh! Di mana lukisan terkutuk itu? Aku mem
Keesokan paginya, aku dan seluruh teman sekolahku berkumpul di halaman sekolah untuk melakukan apel pagi seperti biasanya. "Selamat pagi, mata-mata junior!" sapa Pak Ferdy. Semua murid telah mengerumuni podium kecil di tengah, termasuk aku. Satu persatu penilaian dibacakan, mulai dari misi kuning sampai dengan misi hitam. Hari ini rupanya tidak ada misi yang dilelang, semuanya dianggap tuntas. "Namun, pagi ini kita harus mendengar beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh mata-mata junior di sekitar kita, sebagai contoh agar tidak ada yang mengulanginya lagi," lanjut Pak Ferdy. "Pelanggaran pertama dari Armand, tim misi hitam, ceroboh meninggalkan koper mata-mata di penitipan mini market. Lalu Shila, tim misi hitam, berkelahi terang-terangan dengan target di depan
"Menurutmu apakah kita harus ke sana lagi?" tanyaku penuh harap. Jujur aku ingin sekali ke sana. Dova terlihat tak yakin dengan jawaban yang akan ia ucapkan. "Sulit melacak siapa saja pejabat yang tersangkut kasus ini dari jarak jauh." Aku tersenyum senang. "Kau benar. Intuisiku condong untuk menyelidiki dokumen penting di rumah itu, dan kalau beruntung kita akan menemukan kuitansi uang muka atau semacamnya." "Atau kemungkinan lainnya." Dova mematikan layar monitor. "Kita tidak akan dapat apa-apa di sana." "Tak ada salahnya mencoba." rengekku. "Lagi pula ini proyek baru. Semuanya mungkin masih dalam bentuk rencana. Dan, tidak ada tempat selengkap meja kerja pribadi di rumah sang direktur." &nb
Keesokan paginya, sekitar jam empat tiga puluh pagi, aku terbangun karena dering ponselku yang terus-terusan berbunyi. Aku menyingkap selimut sambil terus menguap. Lalu kutatap dari dekat layar ponselku itu, ternyata Dova memanggilku.Aku buru-buru mengangkat ponsel ke telinga."Suri, please. Aku sejak tadi mencoba mengubungimu, kenapa tidak diangkat?"Aku terkejut dengan omelan itu dan spontan menjauhkan ponsel dari telinga. Lalu, aku menguap dan kembali menempelkan ponsel di telingaku. "Iya maaf, Dova," gumamku dengan sangat pelan."Apa kau sudah siap?" tanya Dova dengan penekanan. "Aku sudah ada dalam mobil.""Iya, lima menit lagi aku ke sana
Ya ampun, Dova. Andai saja dia tahu betapa malunya aku bergandengan tangan sejak tadi. Dan sekarang ia memintaku bersandar di bahunya? Bisa merah wajahku kalau aku sampai melakukannya. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, ia memintaku melakukan itu tanpa terlihat canggung sedikit pun. Ekspresi wajahnya begitu datar dan tenang. Sebenarnya aku yang terlalu salah tingkah atau Dova yang tidak peka, sih?Karena aku sejak tadi diam saja, Dova segera memakai dua earphone di telinganya. "Baiklah ... Baiklah aku akan memakainya."Aku lalu mengarahkan mikrofon kecilku tepat di bawah dagu. "Sepertinya Gary Jo masih belum datang. Aku akan bersikap seolah ia sudah ada di ruangan ini, jadi aku akan berpura-pura membantu menyerahkan buku tamu itu padanya.""Biar aku saja yang melakukannya,"
Malam harinya, aku duduk termenung di atas tempat tidurku sambil memandang jendela. Mungkin hampir setengah jam aku di sini, tak melakukan apapun. Dalam benakku, ada yang berbeda dari hari ini, tapi aku sendiri bingung apa itu. Entah mengapa kini aku merasa sangat ingin tahu siapa pengirim surat milik Dova. Apakah benar itu surat cinta? Ah, buat apa aku peduli pada si cowok kulkas itu! Buru-buru aku menarik selimutku dan merebahkan kepalaku di atas bantal, lalu aku memejamkan mataku beberapa saat, berharap aku segera terlelap. Semoga malam segera berganti pagi, melenyapkan lelah yang terperangkap dalam tubuhku. Setengah jam berlalu. Ternyata aku tidak bisa tidur. Sama sekali. Kepalaku dipenuhi re
"Selamat datang di rumahku," sapaku penuh percaya diri pada seluruh tamu yang duduk mengelilingi meja makan. "Aku Suri Stoka, putri tunggal dari mendiang Mojo Stoka."Pak Tomi juga ikut tersenyum pada para tamu. "Para tamu kita ini adalah bagian dari bisnis keluarga yang berdiri sudah sangat lama," jelasnya dengan nada formal. "Untuk mempererat hubungan baik ini, kita semua akan mengadakan pemilihan calon pasangan bagi Nona Suri secepatnya. Silakan kepada para calon untuk memperkenalkan diri."Salah seorang dari empat cowok itu terlihat sedang disikut-sikut oleh kedua orang tuanya untuk segera memperkenalkan dirinya. Ia tampak gugup dan gemetaran."A-Aku Abra ... "Tadinya aku pikir namanya adalah Abra ... Kad
Sisi lain dalam diriku memberontak. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh larut dalam percakapan ini. Aku tidak mau sampai membocorkan rahasia apapun pada Vilas, walaupun tampaknya ia tidak berbahaya sama sekali, selain tatapan matanya, gestur, dan senyuman mautnya. Oh, lagi-lagi aku melamun sambil memandangi wajahnya.Aku buru-buru mengisyaratkan pada Vilas untuk berhenti berdansa. Lalu aku berbalik menghadap tamu-tamuku yang sejak tadi tak terjamah olehku. Pelan-pelan aku duduk di kursiku, dan Vilas berjalan kembali ke tempatnya. Aku tidak boleh membuang waktu mereka lebih banyak lagi."Dengan adanya acara pemilihan calon suami untukku ini, aku jadi bertanya-tanya, apakah diri kita sendiri benar-benar bisa diandalkan dalam hal memilih pasangan?" tanyaku di sela-sela keheningan setelah musik klasik untuk dansa dimatikan. "Maksudku, bag