Ya ampun, Dova. Andai saja dia tahu betapa malunya aku bergandengan tangan sejak tadi. Dan sekarang ia memintaku bersandar di bahunya? Bisa merah wajahku kalau aku sampai melakukannya. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, ia memintaku melakukan itu tanpa terlihat canggung sedikit pun. Ekspresi wajahnya begitu datar dan tenang. Sebenarnya aku yang terlalu salah tingkah atau Dova yang tidak peka, sih?
Karena aku sejak tadi diam saja, Dova segera memakai dua earphone di telinganya. "Baiklah ... Baiklah aku akan memakainya."
Aku lalu mengarahkan mikrofon kecilku tepat di bawah dagu. "Sepertinya Gary Jo masih belum datang. Aku akan bersikap seolah ia sudah ada di ruangan ini, jadi aku akan berpura-pura membantu menyerahkan buku tamu itu padanya."
"Biar aku saja yang melakukannya,"
Malam harinya, aku duduk termenung di atas tempat tidurku sambil memandang jendela. Mungkin hampir setengah jam aku di sini, tak melakukan apapun. Dalam benakku, ada yang berbeda dari hari ini, tapi aku sendiri bingung apa itu. Entah mengapa kini aku merasa sangat ingin tahu siapa pengirim surat milik Dova. Apakah benar itu surat cinta? Ah, buat apa aku peduli pada si cowok kulkas itu! Buru-buru aku menarik selimutku dan merebahkan kepalaku di atas bantal, lalu aku memejamkan mataku beberapa saat, berharap aku segera terlelap. Semoga malam segera berganti pagi, melenyapkan lelah yang terperangkap dalam tubuhku. Setengah jam berlalu. Ternyata aku tidak bisa tidur. Sama sekali. Kepalaku dipenuhi re
"Selamat datang di rumahku," sapaku penuh percaya diri pada seluruh tamu yang duduk mengelilingi meja makan. "Aku Suri Stoka, putri tunggal dari mendiang Mojo Stoka."Pak Tomi juga ikut tersenyum pada para tamu. "Para tamu kita ini adalah bagian dari bisnis keluarga yang berdiri sudah sangat lama," jelasnya dengan nada formal. "Untuk mempererat hubungan baik ini, kita semua akan mengadakan pemilihan calon pasangan bagi Nona Suri secepatnya. Silakan kepada para calon untuk memperkenalkan diri."Salah seorang dari empat cowok itu terlihat sedang disikut-sikut oleh kedua orang tuanya untuk segera memperkenalkan dirinya. Ia tampak gugup dan gemetaran."A-Aku Abra ... "Tadinya aku pikir namanya adalah Abra ... Kad
Sisi lain dalam diriku memberontak. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh larut dalam percakapan ini. Aku tidak mau sampai membocorkan rahasia apapun pada Vilas, walaupun tampaknya ia tidak berbahaya sama sekali, selain tatapan matanya, gestur, dan senyuman mautnya. Oh, lagi-lagi aku melamun sambil memandangi wajahnya.Aku buru-buru mengisyaratkan pada Vilas untuk berhenti berdansa. Lalu aku berbalik menghadap tamu-tamuku yang sejak tadi tak terjamah olehku. Pelan-pelan aku duduk di kursiku, dan Vilas berjalan kembali ke tempatnya. Aku tidak boleh membuang waktu mereka lebih banyak lagi."Dengan adanya acara pemilihan calon suami untukku ini, aku jadi bertanya-tanya, apakah diri kita sendiri benar-benar bisa diandalkan dalam hal memilih pasangan?" tanyaku di sela-sela keheningan setelah musik klasik untuk dansa dimatikan. "Maksudku, bag
Aku terperanjat. "Hah?! Kok bisa?""Hari ini ia ada les privat dari jam satu sampai jam dua siang," jelas Pak Tomi dengan suara gemetar. "Tapi sampai jam segini, ia belum juga pulang. Di tempat les juga tidak ada."Jadi, ternyata ini bukan soal perjodohanku lagi."Sebentar, ya. Aku usahakan pulang hari ini." Aku segera menutup teleponnya.Gina dan Aldi menatapku dengan heran."Teman-teman," ujarku mencoba menjelaskan. "Sepertinya ada sedikit masalah di rumahku, dan aku ingin menunda keberangkatanku di misi ini. Aku akan melapor dulu ke Pak Ferdy." Aku melangkah menghampiri pintu keluar perpustakaan.
Berhubung di sini terlalu gelap, aku memicingkan mataku agar dapat melihat lebih fokus. Aku mengarahkan penlight yang sinarnya sudah hampir sekarat untuk memastikan siapa sosok yang ada di hadapanku. Rupanya aku mengenalinya."Wow," sindirku saat aku benar-benar bisa mengenali wanita itu dengan jelas. "Kau bercanda? Tentu saja aku masih ingat padamu, Freya."Aku cukup terkejut. Antara percaya dan tidak dengan apa yang aku lihat, aku kini memasang pose pertahanan yang paling kuat. Tanpa perlu repot-repot mengeceknya, aku langsung tahu kalau pintu di belakangku ini sudah terkunci. Ditambah lagi tidak ada jendela sama sekali di ruangan ini. Tak ada pilihan lain, yaitu menghadapi rekan se-almamater yang berkhianat."Jadi kau itu double agent?" geramku. Aku mulai bisa membaca situasi. "Pada siapa kau bekerja?"Freya tertawa dengan misterius. Ia bukan lagi Freya yang aku kenal. Tidak, tidak. Bahkan aku dul
"Aku yakin kau akan mempertimbangkan tawaranku." Vilas melompat ke gedung terdekat tanpa terlihat takut ketinggian sama sekali. Helai rambutnya berkibar-kibar tertiup angin malam. Ia lenyap begitu saja.Bisa-bisanya ia pergi meninggalkan Fia dan aku dalam kondisi terikat begini?!Saat aku mulai merasa semakin melemah, aku mendengar begitu banyak derap langkah dari pintu rooftop. Ini membingungkan. Barusan ada peluru nyasar, sekarang sepertinya ada pasukan berlari menuju ke tempatku. Aku menebak mereka semua sedang mengejar Vilas yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Cowok itu benar-benar pergi secepat kilat."Jangan bergerak!!!"Aku terperanjat dengan seruan ancaman yang menyeruak tiba-tiba. Benar saja, derap langkah yang saling berlomba itu semakin jelas terdengar. Aku tidak tahu pasukan itu di pihak mana. Aku tidak tahu keadaan akan jadi lebih buruk atau tidak. Yang jelas, masa
Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian kurang menyenangkan di Gedung Red River. Aku kini berada di asrama EMA yang biasanya. Barusan aku diantar pulang oleh para pengajar yang turut menemaniku saat proses interogasi di markas kecil milik CIA. Pak Ferdy membebaskanku seharian, khusus hari ini saja. Jadi, aku tidak perlu melakukan apapun yang berkaitan dengan misi merahku sebelumnya. Tetapi, aku tidak bisa diam saja. Otakku terus menerus menampilkan reka adegan di mana Freya dan aku berseteru malam itu.Jadi, aku putuskan untuk menyelidiki Freya. Segera aku buka laptop kesayanganku dan mulai mencoba membobol data-data dari sistem cloud milik sekolahku sendiri. Pak Ferdy pasti akan geleng-geleng kepala kalau ia tahu apa yang sedang aku lakukan saat ini.Baru saja aku hendak menerapkan serangkaian SQL sederhana, jendela kamarku tiba-tiba terbuka sendiri. Please ini kan masih pagi. Semenjak aku masuk sekolah ini, tidak pernah ada hari tenang b
"Hari ini aku mengumpulkan kalian semua di sini untuk mengemban sebuah misi dengan tanggung jawab cukup besar." Pak Ferdy menatap kami semua satu persatu dengan serius. Tak ada suara lain yang berani menyela.Aku kini berada di sebuah ruangan khusus yang kedap suara di EMA. Hal itu aku ketahui dari dindingnya yang dilapisi karpet putih dan jendelanya yang tertutup rapat. Ruangan ini sebenarnya terlalu luas untuk menampung kami semua para audiens yang hanya berjumlah kurang lebih enam orang, yaitu aku, Dova, Manda, dan dua orang dari tim misi hitam, dan satu orang sniper. Kami semua, termasuk Pak Ferdy, duduk mengelilingi sebuah meja oval dengan dilengkapi satu monitor tiap satu kursi.Ada alasan mengapa aku, Dova, dan Manda dimasukkan ke dalam tim misi khusus. Alasan utamanya bisa saja karena kami bertiga sempat berinteraksi sebelumn
Aku memutuskan untuk bersembunyi di dalam gudang besar itu. Tak ada pilihan lain. Setidaknya, aku bisa mengulur waktu sampai Dova dan Manda datang, untuk menghindari hal yang tidak-tidak. Lagi pula, aku jadi bingung sendiri. Sebagai mata-mata, seharusnya aku yang mengejar target. Sekarang sepertinya justru aku yang dijadikan target pengintaian oleh seseorang bertopi di belakangku. Jadi terbalik.Aku merapat ke dinding gudang setelah mengunci satu-satunya pintu dengan sangat rapat. Aku bahkan menyeret beberapa ikat jerami untuk diletakkan di balik pintu, supaya tidak mudah dibuka. Sejauh ini, tak ada siapapun di dalam gudang selain aku.Sesaat kemudian, aku mendengar samar-samar suara derap langkah seseorang dari luar gudang. Sangat pelan, nyaris tak terdengar. Dia bukan orang biasa.
"Hari ini aku mengumpulkan kalian semua di sini untuk mengemban sebuah misi dengan tanggung jawab cukup besar." Pak Ferdy menatap kami semua satu persatu dengan serius. Tak ada suara lain yang berani menyela.Aku kini berada di sebuah ruangan khusus yang kedap suara di EMA. Hal itu aku ketahui dari dindingnya yang dilapisi karpet putih dan jendelanya yang tertutup rapat. Ruangan ini sebenarnya terlalu luas untuk menampung kami semua para audiens yang hanya berjumlah kurang lebih enam orang, yaitu aku, Dova, Manda, dan dua orang dari tim misi hitam, dan satu orang sniper. Kami semua, termasuk Pak Ferdy, duduk mengelilingi sebuah meja oval dengan dilengkapi satu monitor tiap satu kursi.Ada alasan mengapa aku, Dova, dan Manda dimasukkan ke dalam tim misi khusus. Alasan utamanya bisa saja karena kami bertiga sempat berinteraksi sebelumn
Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian kurang menyenangkan di Gedung Red River. Aku kini berada di asrama EMA yang biasanya. Barusan aku diantar pulang oleh para pengajar yang turut menemaniku saat proses interogasi di markas kecil milik CIA. Pak Ferdy membebaskanku seharian, khusus hari ini saja. Jadi, aku tidak perlu melakukan apapun yang berkaitan dengan misi merahku sebelumnya. Tetapi, aku tidak bisa diam saja. Otakku terus menerus menampilkan reka adegan di mana Freya dan aku berseteru malam itu.Jadi, aku putuskan untuk menyelidiki Freya. Segera aku buka laptop kesayanganku dan mulai mencoba membobol data-data dari sistem cloud milik sekolahku sendiri. Pak Ferdy pasti akan geleng-geleng kepala kalau ia tahu apa yang sedang aku lakukan saat ini.Baru saja aku hendak menerapkan serangkaian SQL sederhana, jendela kamarku tiba-tiba terbuka sendiri. Please ini kan masih pagi. Semenjak aku masuk sekolah ini, tidak pernah ada hari tenang b
"Aku yakin kau akan mempertimbangkan tawaranku." Vilas melompat ke gedung terdekat tanpa terlihat takut ketinggian sama sekali. Helai rambutnya berkibar-kibar tertiup angin malam. Ia lenyap begitu saja.Bisa-bisanya ia pergi meninggalkan Fia dan aku dalam kondisi terikat begini?!Saat aku mulai merasa semakin melemah, aku mendengar begitu banyak derap langkah dari pintu rooftop. Ini membingungkan. Barusan ada peluru nyasar, sekarang sepertinya ada pasukan berlari menuju ke tempatku. Aku menebak mereka semua sedang mengejar Vilas yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Cowok itu benar-benar pergi secepat kilat."Jangan bergerak!!!"Aku terperanjat dengan seruan ancaman yang menyeruak tiba-tiba. Benar saja, derap langkah yang saling berlomba itu semakin jelas terdengar. Aku tidak tahu pasukan itu di pihak mana. Aku tidak tahu keadaan akan jadi lebih buruk atau tidak. Yang jelas, masa
Berhubung di sini terlalu gelap, aku memicingkan mataku agar dapat melihat lebih fokus. Aku mengarahkan penlight yang sinarnya sudah hampir sekarat untuk memastikan siapa sosok yang ada di hadapanku. Rupanya aku mengenalinya."Wow," sindirku saat aku benar-benar bisa mengenali wanita itu dengan jelas. "Kau bercanda? Tentu saja aku masih ingat padamu, Freya."Aku cukup terkejut. Antara percaya dan tidak dengan apa yang aku lihat, aku kini memasang pose pertahanan yang paling kuat. Tanpa perlu repot-repot mengeceknya, aku langsung tahu kalau pintu di belakangku ini sudah terkunci. Ditambah lagi tidak ada jendela sama sekali di ruangan ini. Tak ada pilihan lain, yaitu menghadapi rekan se-almamater yang berkhianat."Jadi kau itu double agent?" geramku. Aku mulai bisa membaca situasi. "Pada siapa kau bekerja?"Freya tertawa dengan misterius. Ia bukan lagi Freya yang aku kenal. Tidak, tidak. Bahkan aku dul
Aku terperanjat. "Hah?! Kok bisa?""Hari ini ia ada les privat dari jam satu sampai jam dua siang," jelas Pak Tomi dengan suara gemetar. "Tapi sampai jam segini, ia belum juga pulang. Di tempat les juga tidak ada."Jadi, ternyata ini bukan soal perjodohanku lagi."Sebentar, ya. Aku usahakan pulang hari ini." Aku segera menutup teleponnya.Gina dan Aldi menatapku dengan heran."Teman-teman," ujarku mencoba menjelaskan. "Sepertinya ada sedikit masalah di rumahku, dan aku ingin menunda keberangkatanku di misi ini. Aku akan melapor dulu ke Pak Ferdy." Aku melangkah menghampiri pintu keluar perpustakaan.
Sisi lain dalam diriku memberontak. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh larut dalam percakapan ini. Aku tidak mau sampai membocorkan rahasia apapun pada Vilas, walaupun tampaknya ia tidak berbahaya sama sekali, selain tatapan matanya, gestur, dan senyuman mautnya. Oh, lagi-lagi aku melamun sambil memandangi wajahnya.Aku buru-buru mengisyaratkan pada Vilas untuk berhenti berdansa. Lalu aku berbalik menghadap tamu-tamuku yang sejak tadi tak terjamah olehku. Pelan-pelan aku duduk di kursiku, dan Vilas berjalan kembali ke tempatnya. Aku tidak boleh membuang waktu mereka lebih banyak lagi."Dengan adanya acara pemilihan calon suami untukku ini, aku jadi bertanya-tanya, apakah diri kita sendiri benar-benar bisa diandalkan dalam hal memilih pasangan?" tanyaku di sela-sela keheningan setelah musik klasik untuk dansa dimatikan. "Maksudku, bag
"Selamat datang di rumahku," sapaku penuh percaya diri pada seluruh tamu yang duduk mengelilingi meja makan. "Aku Suri Stoka, putri tunggal dari mendiang Mojo Stoka."Pak Tomi juga ikut tersenyum pada para tamu. "Para tamu kita ini adalah bagian dari bisnis keluarga yang berdiri sudah sangat lama," jelasnya dengan nada formal. "Untuk mempererat hubungan baik ini, kita semua akan mengadakan pemilihan calon pasangan bagi Nona Suri secepatnya. Silakan kepada para calon untuk memperkenalkan diri."Salah seorang dari empat cowok itu terlihat sedang disikut-sikut oleh kedua orang tuanya untuk segera memperkenalkan dirinya. Ia tampak gugup dan gemetaran."A-Aku Abra ... "Tadinya aku pikir namanya adalah Abra ... Kad
Malam harinya, aku duduk termenung di atas tempat tidurku sambil memandang jendela. Mungkin hampir setengah jam aku di sini, tak melakukan apapun. Dalam benakku, ada yang berbeda dari hari ini, tapi aku sendiri bingung apa itu. Entah mengapa kini aku merasa sangat ingin tahu siapa pengirim surat milik Dova. Apakah benar itu surat cinta? Ah, buat apa aku peduli pada si cowok kulkas itu! Buru-buru aku menarik selimutku dan merebahkan kepalaku di atas bantal, lalu aku memejamkan mataku beberapa saat, berharap aku segera terlelap. Semoga malam segera berganti pagi, melenyapkan lelah yang terperangkap dalam tubuhku. Setengah jam berlalu. Ternyata aku tidak bisa tidur. Sama sekali. Kepalaku dipenuhi re