Mendung menutupi permukaan bumi, seolah menggambarkan kekacauan saat itu. Pemukiman penduduk yang tadinya tenang kini berubah menjadi arena perang. Tampak sekelompok manusia bertubuh besar dengan baju kumuh menerjang setiap yang menghalangi langkah mereka. Penduduk di desa kecil itu berlari ketakutan. Jeritan wanita dan anak-anak menggema di setiap rumah. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun berlari bersama wanita usia empat puluhan menghindari penyerbuan tiba-tiba tersebut. Mereka tidak sendiri, ada seorang pria yang membantu pelarian mereka.
"Doroti cepat!" kata pria itu.
"Aku tidak kuat Jemy. Bawa saja Vivian bersamamu," katanya dengan napas tersengal. Tubuh tambunnya menghambat langkah mereka.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendiri. Kau bisa terbunuh. Aku tidak bisa melakukan itu!" teriaknya. Ia berusaha menarik Doroti, tapi wanita gemuk itu melepaskan tangan Jemy.
"Bawa saja Vivian bersamamu. Cari desa yang lebih aman." Ia menatap Vivian yang kini menangis. "Jangan takut Sayang. Kau pasti selamat. Jemy cepatlah!" katanya dengan nada memerintah. Pasukan Gouwok berlari ke arah mereka.
Jemy menyerah, ia pasti menyesali ini nanti. Akhirnya ia memutuskan membawa Vivian dengan paksa. Gadis itu berteriak histeris.
"Tidak... Ibu... Ibu... Ayah bawa Ibu bersama kita... Ibu..." jeritnya dalam gendongan Jemy.
Doroty tampak menangis melihat kepergian puterinya. Vivian melihat Doroti yang diseret paksa pasukan Gouwok, hal itu membuatnya semakin histeris.
"Ibuuuu " tangisnya.
*
Mereka menjauh dari desa itu. Jemy membawa Vivian memasuki hutan. Ia mencari tempat persembunyian dan tanpa sengaja menemukan sebuah goa di sana. Gadis tujuh belas tahun itu masih terisak dalam gendongan Jemy. Ia terpukul melihat wanita yang dikira ibu kandungnya itu tertangkap begitu saja. dirinya tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan Kaum Gouwok pada ibunya yang malang.
"Kenapa Ayah meninggalkan Ibu? Ayah tidak sayang dengan ibu? Bawa ibuku kembali!" teriaknya pada Jemy, ini kali pertama ia membentak seseorang apa lagi ayahnya sendiri.
Tujuh belas tahun telah berlalu sejak keruntuhan kerajaan Starais, selama itu Vivian dibesarkan oleh Jemy dan Doroti. Mereka berpura-pura sebagai pasangan suami istri dengan satu orang puteri, yaitu Vivian demi menutup identitas mereka. Tentu saja Vivian tidak tahu kebenarannya. Ia menganggap dua orang itu sebagai orang tua kandungnya. Dan, ini sudah desa kelima sejak mereka pindah sedari Vivian keluar istana, sewaktu dia bayi.
Kejahatan meningkat tinggi sejak kaumnya musnah. Hanya satu dua Kaum Terkutuk yang selamat, tetapi tidak ada yang tahu ke mana orang-orang selamat itu kini berada. Apakah ditawan oleh Gouwok atau mungkin menyamar seperti mereka. Menutupi jati diri.
Jemy melihat Vivian yang masih menangis. Terkadang ia ingin memanggil Vivian dengan sebutan lazim "Yang Mulia" atau "Tuan Puteri", tapi keinginan itu selalu ia tahan. Orang-orang akan curiga.
"Sekarang kita akan ke mana Ayah?" tanyanya. Air mata Vivian bersinar. Jemy takut jika orang-orang melihat air mata itu, mereka pasti akan menyadari siapa Vivian sebenarnya.
Legenda Pearl Girl sudah tak asing lagi di telinga semua orang. Bahkan mengalahkan kisah panglima perang terhebat dunia. Kelahirannya selalu dinanti, dia simbol perdamaian. Bahkan sulit diprediksi kapan Pearl Girl akan lahir. Kaum Terkutuk adalah kaum yang selalu melahirkan Pearl Girl dari genersi ke generasi. Mereka memiliki kitab yang berisi rahasia Pearl Girl, tapi kitab itu mungkin sudah hancur bersama pembantaian itu.
"Vivian, berhenti menangis! Berapa kali Ayah harus bilang padamu untuk tidak menangis?" katanya sedikit memerintah dengan suara rendah. Ia masih menjaga rasa hormatnya pada Vivian.
Jemy memang mengajari banyak hal pada gadis itu. Semua tata krama di istana tak lupa ia ajarkan padanya. Bagaimanapun juga Vivian adalah seorang puteri. Itu alasannya mengapa Vivian berperilaku lembut dan anggun. Seperti bangsawan kebanyakan.
Vivian pun menahan tangisnya meski masih sesenggukan.
"Ayah akan membebaskan Ibumu, tapi kita harus menyelamatkan diri dari sini." Jemy berdiri di mulut goa dan memperhatikan sekitar. Takut ada yang mengikutinya. Setelah merasa aman pria itu membawa tuan puterinya keluar.
*
Mereka berjalan di dalam hutan selama berhari- hari. Bertahan hidup dengan apa yang disediakan alam. berry hutan, dan buah-buahan lainnya menjadi pilihan. kini mereka berada di hulu sungai. Jemy mengambil air dengan kedua tangannya dan meminumkannya pada Vivian. Gadis itu menahan rambut panjang berkilaunya dengan satu tangan dan ia berjongkok untuk meminum air dari tangan besar Jemy.
"Apa sudah cukup?" tanya Jemy padanya.
Vivian mengangguk. Jemy mengelap pipi Vivian yang basah dengan sapu tangan yang selalu ia bawa. Sifat bangsawannya masih tidak bisa ia rubah.
"Ayo kita pergi dari sini. Kita sudah dekat dengan perbatasan."
Jemy menuntun Vivian melewati sungai. Ia benar-benar menjaga tuan puterinya, seperti titah sang ratu.
"Ayah, aku lelah." Vivian menarik tangan Jemy yang berjalan di dekatnya.
Jemy memandang sekitar, sedikit lagi mereka tiba di kota kecil dekat perbatasan Moon Kingdom dengan Zambela, tetapi dia tidak tega melihat Vivian kelelahan. Lagi pula hari sudah mulai gelap. Jika mereka berjalan di bawah bulan, orang-orang dapat melihat tubuh bersinar Vivian. Jemy tidak mau itu terjadi. Sebisa mungkin dia menghindari tersebarnya kemunculan Pearl Girl, dan menutupi keberadaannya hingga saatnya untuk bangkit tiba.
"Istirahatlah di sini." Jemy membuka rompinya dan menggelarnya di tanah. Ia mendudukkan gadis itu di atasnya.
"Tidurlah jika kau mau. Ayah akan mencari kayu bakar. Kita akan bermalam di tempat ini. Jangan ke mana-mana!" perintahnya. Ia sebenarnya takut meninggalkan Vivian sendiri, tapi tidak ada pilihan.
*
Vivian merebahkan diri saat Jemy meninggalkannya. Gadis itu mencoba menutup mata dan terlelap, namun dirinya tidak sanggup tidur sedikit pun jikalau jemy tidak berada di dekatnya. Gadis itu merasa takut, dia tampak waspada, memasang telinga mendengarkan sekitar. Cukup lama dirinya berdiam seperti itu, hingga akhirnya Vivian mendengar suara langkah kaki dan ranting pohon yang patah membangunkannya. Vivian merasa waswas. Dia mengedarkan pandangan, berharap itu adalah ayahnya.
"Ayah?" tanyanya memastikan. Vivian takut beranjak dari tempatnya.
Vivian melihat bayangan yang bergerak cepat dari balik pepohonan, dan bayangan itu begitu panjang hingga menimpa tubuh Vivian, menunjukkan sosok menjulang. Perasaan Vivian tidak karuan dan alangkah terkejutnya dia saat melihat bayangan itu menghilang digantikan dengan sosok seorang pemuda yang kini berdiri di hadapannya. Vivian menahan napas sebentar. Ia bersiap untuk kemungkinan selanjutnya. Jemy mengajarinya sedikit ilmu bela diri untuk mempertahankan diri dari orang yang bermaksud menyakitinya, meskipun dia tidak pernah mempraktikkannya.
Pandangan mereka pun bertemu. Vivian memperhatikan Pemuda yang berdiri di depannya, dia memiliki wajah tampan dengan rahang yang kokoh. Tubuhnya kekar berotot, terlihat dari jubah yang ia pakai. Sarung pedangnya tersampir di samping celana kirinya. Melihat benda itu Vivian lantas berdiri. Ia ketakutan. Pemuda ini pastilah bukan orang biasa, hanya ksatria dan pengikut Gouwok yang memiliki pedang, karena harganya yang memang mahal di zaman ini.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara bergetar.
Vivian melihat mata perak pemuda itu.
"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat,” jawabnya begitu tenang, tidak sedikit pun terganggu dengan kecantikan Vivian. “Kenapa wanita sepertimu ada di tempat ini?" tanyanya dengan suara khas yang berat. Hingga akhirnya, pemuda itu melihat rompi yang tadi Vivian tiduri. Dia menebak bahwa Vivian tidak sendiri.
"Kau bersama orang lain?" tanyanya datar. "Ya, ayahku," jawab Vivian.
Pemuda itu menilai Vivian. Dari perilaku gadis itu orang bisa melihat bahwa dia keturunan bangsawan, meski tubuhnya dibalut gaun kumuh sampai mata kaki. Tubuh pemuda itu menegang, dan tersentak hingga kemudian, tiba-tiba saja dia mengeluarkan pedangnya. Dengan gerakan cepat dia mengarahkan ke samping tubuhnya, ujung pedang itu berhenti di depan mata seseorang. Vivian melihat Jemy mematung di tempat. Pemuda itu masih tidak menarik pedangnya dari hadapan ayahnya, membuat Vivian ngeri dengan keadaan mereka yang sekarang.
"Kau cepat juga Nak. Dan, kuakui pendengaranmu sangat tajam," pujinya. Ia tahu pemuda yang sedang menghunuskan pedang padanya saat ini bukanlah orang jahat.
"Apa dia puterimu?" tanya pemuda itu sambil menyarungkan kembali pedangnya.
"Ya, dia puteriku," jawab Jemy tenang.
Pemuda itu memandang mereka bergantian. Seolah menilai. "Menarik," gumamnya.
Dia tahu itu bohong. Pria yang bersama gadis itu terlihat seperti berusia tiga puluh dua atau mungkin tiga puluh empat tahun. Dia tidak mungkin memiliki puteri yang sudah berusia enam belas atau mungkin tujuh belas tahun. Setidaknya itulah yang dia pikirkan. Jemy tahu apa pemikiran pemuda itu. Dia tidak ambil pusing karena yakin mereka hanya bertemu sekali itu saja.
"Siapa namamu Nak?" tanya Jemy dengan suara yang berwibawa.
"Aaron," jawabnya singkat.
"Aku Jemy dan ini puteriku Vivian," katanya memperkenalkan diri.
Aaron hanya mengangguk, dia tidak ingin berlama-lama. Pertemuan ini hanya kebetulan baginya, dan melihat bulan yang sudah mulai keluar semakin menguatkan niatnya untuk segera pergi dari sana. Melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Dia melihat ke arah Vivian dan dirinya sedikit heran melihat keanehan di hadapannya. Seluruh tubuh Vivian tampak bersinar terkena siraman cahaya bulan, namun pemuda itu mengabaikannya, meskipun dia sedikit tidak percaya. Jemy melihat pandangan pemuda itu. Inilah yang ia takuti jika berada di luar malam hari. Sosok asli Vivian akan keluar. Orang-orang akan terpesona pada tubuh bercahayanya, namun tidak pada pemuda yang baru saja mereka temui.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Tadi kebetulan saja aku lewat." Aaron mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau terlalu terpesona pada gadis itu.
"Oh ya, tidak masalah. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Moon Kingdom besok pagi," balas Jemy ramah. Dia juga ingin jika Aaron cepat-cepat pergi dari mereka. Untungnya pemuda itu tidak bertanya lebih jauh.
"Kita berpisah di sini." Ia tersenyum pada keduanya dan melanjutkan perjalanannya kembali, tanpa menoleh ke belakang.
Jemy menggenggam tangan Vivian dengan erat. Saat ini mereka orang asing di tempat yang asing. Dirinya sadar bahwa dulunya, Kaum Terkutuk selalu dihormati orang-orang dari kerajaan tetangga, karena keperkasaan mereka, juga terkenal akan kekuatan yang selalu menjaga dunia. Tapi itu adalah dulu. Kini, Kaum Terkutuk tinggal sejarah. Jemy tahu diri untuk tidak mencari masalah dalam kota yang baru saja ia masuki, terlebih ia tak sendiri. Vivian dengan setia mengekorinya, meski lelah tergurat dari wajah tuan puteri itu."Apa kau lelah?" tanya Jemy yang menghentikan langkahnya dan menuntun Vivian ke bawah sebuah pohon
Kesibukan terlihat di sekitar istana. Semua orang mempersiapkan kedatangan Sang Raja yang baru saja pulang berperang melawan pengikut Kaum Gouwok yang sebagian di antara mereka adalah rakyat Moon Kingdom. Dunia semakin mencemaskan, perang saudara kerap terjadi. Semua ksatria mau tak mau bersatu mengumpulkan kekuatan."Yang Mulia." Semua yang hadir dalam ruangan itu berdiri menyambut Sang Raja dengan postur tinggi dan badan tegap serta memakai baju kerajaan memasuki ruangan. Para menteri dan abdi setia juga utusan dari empat kerajaan lainnya telah hadir di sana.
Jemy mendengar suara gagak di sekitarnya. Ia tersadar berada di suatu tempat. Ingatannya kembali pada kejadian tadi malam."Vivian?!" Ia berteriak histeris. Menyadari gadis itu telah diculik oleh para pembunuh bayaran."Oh tidak! Apa yang harus aku lakukan?"
Jemy menghirup udara, mencium jejak puterinya. Mereka sudah lama meninggalkan Moon Kingdom. Ada enam puluh ksatria dalam pencarian ini."Apakah kau yakin ini jalan yang benar?" Teo menatap ragu kepada Jemy yang kini memimpin pasukan khusus itu."Pergilah jika kau tidak yakin pada pemimpinmu."
Suara derap sepatu kuda dan dentingan pedang yang beradu memecah udara. Teriakan kematian dan nada pembawa semangat menjadi satu dalam arena peperangan itu. Beberapa Kaum Gouwok berjatuhan dari kudanya dan mati terinjak rekannya yang terlalu semangat mengayunkan pedang mereka tanpa peduli nasib temannya yang lain. Para ksatria tampak begitu terlatih, berbeda dengan Kaum Gouwok yang terlihat menyerang tanpa peduli teknik bertarung. Mereka menebaskan pedangnya ke segala arah, terlihat seperti orang mabuk dan berpura-pura berani menyerang."Jemy, cepat bawa Vivian pergi!" Aaron
"Vivian? Kau mendengarku?"Vivian merasa ada yang memanggilnya. Ia terbangun di sebuah dunia yang dipenuhi bunga nan indah, bulan penuh menggantung di atasnya. Tampak sebuah danau dengan pantulan bintang terbentang luas di hadapannya dengan dikelilingi bunga yang baginya asing. Tempat itu pertengahan malam dan siang. Cahaya kunang-kunang keemasan memutari tubuh Vivian, membuat perhatiannya tidak lepas menatap makhluk kecil bag
Di sebuah perbukitan Andolus berdiri sebuah istana kokoh dan megah dengan dindingnya yang hitam kelam. Tempat itu gersang, tidak ada tumbuhan yang mampu bertahan hidup di sana. Di tempat inilah Kaum Gouwok membentuk pasukannya, karena di negara bernama Darkus itulah istana Andolus yang merupakan pusat kekuasaan Kaum Gouwok berdiri, dengan penguasanya Zasier. Dia pria kejam yang sangat bengis, meskipun begitu, Zasier memiliki wajah yang rupawan, wajah malaikatnya benar-benar menipu."Jadi gadis itu telah lahir?" tanyanya pada abdi setianya dari atas singgasana.
Seorang pria dengan tubuh penuh luka dibanting di atas rerumputan hijau halaman istana. Ia jatuh tersungkur karena didorong oleh salah satu ksatria pedang Kerajaan Moon Kingdom. Raja Dimitri menatap marah padanya. Ia bahkan ingin melumat tubuh tak berdaya itu mentah-mentah."Di mana kalian menemukannya?" tanya sang raja pada Baroon, salah satu panglima kesayangan Raja Dimitri.
Awalnya Aaron ingin mencapai perdamaian dengan sedikit bernegosiasi pada Herold. Seingatnya pria itu bukanlah orang yang haus darah ataupun kekuasaan. Jelas sekali pria yang membawa pasukan Kaum Gouwok dan Abandonis ini sangat berbeda dengan pria yang dikenalnya lima tahun yang lalu.Pasti sesuatu sedang terjadi.Batin Aaron masih dengan pandangan berkabut marah. Katalput dalam peti yang Kaum Gouwok bawa sudah mereka keluarkan dari peti, begitu pula meriam kecil dan sebuah senjata yang terbuat dari besi sepanjang satu meter berdiameter dua puluh centi tampak berdiri kokoh di barisan belakang Kaum Gouwok. Ketiga senjata itu diarahkan tepat ke barisan Moon Kingdom.“Untuk apa kau mengeluarkan senjata itu? kita akan bertarung dengan jarak dekat, jadi simpan mereka karena kau tidak akan memerlukannya,” kata Aaron dengan nada mengejek.Herold tertawa mendengar perkataan Aaron. “tidak, aku tidak menggunakan benda-benda itu dalam perte
Nervi, salah satu dataran terjal dengan barisan tebing dan bukit juga lembah yang hanya dipenuhi tanah cokelat berbatu. Tempat tertandus setelah Corgonla, salah satu jalur neraka bagi pengembara. Namun medannya yang berat sangat menguntungkan bagi Aaron untuk memulai rencana peperangan mereka. “Tugaskan pemanah di sekeliling bukit, buat barisan serapi mungkin untuk mengepung mereka,” kata Aaron memberi tugas pada para Archer untuk membuat dua lapisan pasukan pemanah di atas bukit yang mengelilingi jalur yang pastinya akan dilalui Kaum Gouwok.“Lalu letakkan masing-masing meriam di sini,” tunjuk Aaron pada sepuluh titik yang paling strategis untuk membidikkan meriam.“Pasukan bersenjata bersembunyi di sini,” kata Aaron lagi menunjuk pada beberapa goa dan ceruk menjuruk ke
Udara terasa panas menyengat kulit makhluk yang berada di bawah terik matahari termasuk iring- iringan pasukan Moon Kingdom menuju Nervi, masih ada perjalanan selama satu hari satu malam sebelum mereka tiba ke tujuan. Pasukan itu melewati daratan Raeng yang dipenuhi tanaman perdu, kemudian mereka memasuki lembah Antontem dengan tebing runcing yang rawan longsor. Aaron membawa mereka melewati jalur yang tidak biasa agar kedatangan mereka ke Nervi tidak terendus oleh Kaum Gouwok yang juga sedang menuju perjalanan ke Nervi.Sebisa mungkin Aaron serta pasukannya datang lebih dulu sebelum Kaum Gouwok sampai di Nervi agar rencana mereka bisa berjalan semestinya. Beberapa kali pasukan yang Aaron pimpin beristirahat untuk memberi makan para ksatria, namun dia hanya memberi jeda selama setengah jam sebelum akhirnya kembali meneruskan perjalanan. Jalanan yang mereka lalui terasa sangat berat diakibatkan perbukitan terjal, tiupan angin lembah yang hangat membakar kulit, maupun sengatan
Aaron melangkah pelan mendekati dipan yang ditiduri Vivian. Sejak saat itu dia sering mendatangi balai pengobatan dan berjaga di sebelah Vivian. Pandangan Aaron jatuh pada tubuh rapuh yang tergeletak lemah tanpa daya. Kulitnya begitu pucat, lebih pucat dari biasanya. Namun wangi tubuhnya masih kuat, menebarkan aroma mawar yang menggoda. Dalam keadaan seperti ini Vivian tak ubahnya seperti gadis yang tidur biasa. Tidak tampak tanda-tanda dia baru mengalami percobaan pembunuhan.“Bisakah Pangeran bergeser. Kami hendak memeriksanya.”Seorang pria tinggi berambut panjang sebahu dengan baju hijau daun mendekati Aaron dan berdiri di sebelah Vivian, tepat di depan Aaron. Dan satu pria lagi mengikuti di belakangnya dan bergerak ke sebelah Aaron. Kedua pria itu adalah tabib istana, jelas terlihat dengan baju kebesaran mereka yang berwarna hijau daun. Sampai saat ini Aaron sudah melihat mereka tiga kali. Keduanya adalah muridnya Sue yang bernama Jeid dan Hazu.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa menang, tetapi aku akan melakukan apa pun untukmu Pangeran. Hidupku adalah milikmu Yang Mulia.” Morio memberi hormatnya dengan membungkukkan tubuh ke hadapan Aaron.“Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tidak suka cara kalian membungkuk padaku, cukup mengatakan apa yang kalian rasakan tanpa harus memberi penghormatan lebih seperti itu. Aku hanya manusia biasa yang beruntung terlahir dalam lingkaran keluarga kerajaan,” ujarnya.Para ksatria tersenyum, mereka sangat mengenal watak Aaron yang tidak terlalu membanggakan identitasnya sebagai Putera Mahkota. Dia lebih senang berbaur bersama mereka yang kastanya lebih rendah karena bagi pangeran muda itu mereka semua sama, status yang manusia ciptakanlah yang membuat mereka membedakan diri satu dengan yang lain.“Lalu apa rencana kita Pangeran?” Jackuen membuat semua yang hadir terdiam dengan pertanyaan krusialnya. Mereka kini fokus mencari solusi.
Beberapa pria berbadan besar dengan baju perang lengkap yang mereka kenakan tampak berlari dengan terburu-buru ke arah Istana Utama. Ksatria yang tadinya sibuk berlatih kini menghentikan aktivitas dan menatap waswas melihat sepasukan tentara berzirah perak itu memasuki istana. Melewati mereka yang mulai memberi perhatian pada barisan pasukan khusus. Morio menatap mereka sembari mengeratkan pegangan pada busur panahnya. Dia mengangguk pada pimpinan pasukan yang berjalan paling depan dengan langkah terburu-buru. Ini bukan saatnya untuk saling sapa dan sekedar berbagi kisah dengan sejawat lama, karena kedatangan pasukan berzirah perak itu bukanlah pertanda baik. Mereka pasukan elit terlatih yang bertugas sebagai mata-mata dan juga penjaga perbatasan Moon Kingdom dan kerajaan di bawah aliansi.“Pasti sesuatu yang buruk sedang terjadi,” bisik Jackuen dengan ngeri. Berkali-kali dia menelan salivanya menatap kedatangan pasukan itu.“Ya, dan kedatangan mereka
Tidak ada yang menyadari rencana Zasier yang sebenarnya dan dia merasa seperti tuhan yang bisa mempermainkan nasib siapa saja di atas telapak tangannya. Hanya untuk sebuah kesenangan. Besmut balas menatap tuannya itu dengan tatapan sama liciknya. Mereka duo iblis yang kompak dalam konspirasi ini. Setelah jamuan itu berakhir Zasier meninggalkan meja makan dan dia memasuki ruang pribadinya, yaitu kamar yang sangat luas dengan ornamen patung burung Jajova—lambang kekuasaannya—dan juga kepala serta tengkorang manusia yang diawetkan. Ada karpet persia berwarna merah maroon yang melapisi lantai, sebuah tempat tidur yang bisa memuat lima pria dewasa di tengah ruangan dengan tiang-tiang tinggi berhiaskan kelambu berwarna kelabu. Ruangan itu didominasi warna merah darah berpadu hitam pekat yang dindingnya berlapiskan bebatuan dari Lembah Aeramus—lembah terdalam dan paling mematikan dengan tambang batu mulia termahal di dunia. Sebuah rak buku seluas dinding di depan
Sesuatu yang dingin menyentuh tubuh Aaron hingga dia terbangun dan mendapati dirinya sedang tertidur di atas rerumputan tepat di halaman belakang istana di dekat danau. Kepalanya bergerak perlahan ke samping dan hampir saja dia terlompat dari tempatnya berbaring ketika mendapati tubuh Sue yang ikut berbaring di sebelahnya. Bibir Aaron meringis saat kepalanya terangkat untuk mengambil posisi duduk sedang tangannya memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang menghentak-hentak hingga ke belakang kepala.“Ah, Anda sudah bangun Yang Mulia?” tanya Sue yang juga ikut terduduk dari posisinya berbaring.Aaron melirik tajam pada Sue seolah dia enggan pria tua itu melemparkan pertanyaan apa dan mengapa dia sampai lepas kontrol hingga tertidur di tempat ini, seperti bukan dirinya. Dan, Aaron mengumpat dalam hati. Memangnya dia melakukan sesuatu yang menggambarkan dirinya akhir-akhir ini? Aaron bahkan tidak yakin jika dia masih Aaron yang sama sebelum semua ber
Hamparan bunga lilac, queentin, peoni dan alamanda tumbuh dengan indah di halaman dengan rumput halus seperti sutra di bawah sinar bulan yang menggantung sempurna di langitnya yang penuh bintang, bertabur dengan kerlip cahaya bagai hamparan berlian berpendar indah dengan kilat-kilat seperti percikan bunga api membentuk kembang bunga yang merekah bagai mawar mekar. Tak jauh dari sana ada danau dengan air bening yang dapat memantulkan bayangan langit di atasnya. Seolah langit itu telah berpindah ke bawah, terperangkap dalam air danau sebening kaca.Sepatu boot yang pria itu pakai menapak ragu pada rerumputan di sana. Dia bergerak perlahan seperti kebingungan melihat tempat itu. Kepalanya bergerak kesana-kemari memindai sekitar. Melihat apakah itu mimpi, ilusi atau mungkin nyata. Tetapi dia dapat merasakan hangatnya sinar perak bulan yang menyinari tubuhnya, dan wangi bunga musim semi membelai penciumannya.Ini nyata.Bisiknya. Dan dia me