Share

Keep It Real

Seorang pengangguran seperti gue yang punya banyak pengalaman di dunia dating harus berhati-hati dalam menentukan pakaian yang dikenakan. Jangan sampai membuat orang lain ikut merasakan tidak nyaman akibat sepasang mata milik orang-orang disekeliling memandang dengan tatapan hina. Ketakutan akan hal yang belum terjadi sering sekali gue alami. Pikiran-pikiran kalut yang sebenarnya bisa di atasi malah semakin menjadi. Banyak pertanyaan dikepala yang akhirnya membuat gue tidak yakin pada diri sendiri.

Sambil menunggu Padi, gue memutuskan untuk bermain ponsel saja. Sekalian mengabari kedua sahabat gue yang sangat sempurna untuk standar cantiknya Indonesia. Bukan apa-apa, gue cuma takut kejadian beberapa kali dengan orang berbeda harus dialami juga saat sedang bersama Padi.

"Gue mau jalan sama Padi hari ini." begitu isi pesan gue di grup.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah membaca pesan gue. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gue yang terbiasa akan hal ini cukup mengerti karena sudah terlalu sering merepotkan. Tetapi pertemanan mana yang tidak bebal? Gue tetap kirim pesan selanjutnya.

"Kalau semisal gue ditinggal lagi kayak lelaki-lelaki yang dulu, tolong jemput gue! Kalian siap-siap aja!"

Meskipun tidak ada balasan sama sekali. Keyakinan gue terhadap mereka sudah mencapai angka 1000 persen. Kalau seandainya gue kena musibah yang sama, mereka gak mungkin hanya diam. Apalagi Debi, dia akan bergegas menuju lokasi dan suka rela membelikan gue makanan yang sangat banyak. Menurutnya, gue akan tenang dan jauh lebih baik menyantap makanan. Kalau Tifa berbeda, dia terus menerus memaksa gue untuk diet dan berolahraga. Mulut Tifa memang agak menyebalkan. Tetapi gue tetap sayang keduanya.

"Hai, cantik. Gue udah didepan."

Setelah melihat pesan itu, gue tidak berlari dengan perasaan senang. Gue malah terdiam dan melihat ke kaca jendela untuk berkaca melalui bayangan yang samar. Padi gak salah bilang apa?

Karena takut Padi menunggu lama, akhirnya gue gak memedulikan isi pesan tadi. Berjalan selangkah demi selangkah beriring bersama ribuan ragu yang disimpan dalam kepala. Melihat Padi sudah berdiri di depan mobilnya, lantas gue secara spontan melempar senyum. Tentu saja, Padi membalas senyuman gue.

"Kita mau kemana?" tanya Gue.

"Ke tempat gue. Kan semalem lo udah janji mau nemenin gue." jelas Padi.

Tanpa gue jawab lagi. Padi gesit sekali untuk membukakan pintu dan mempersilahkan gue untuk duduk terlebih dulu. Di dalam mobil, suasananya tidak seperti semalam. Ada sedikit canggung yang membelenggu. Entah mengapa bisa demikian.

"Lo gak malu gitu bawa gue ke acara penting?" tanya Gue spontan.

"Ngapain malu? Lo aja yang kurang percaya diri. Makanya, lo harusnya menaikkan rasa percaya diri lo. Jangan cuma mau diterima aja, tapi usaha juga dong"

"Usaha gimana maksud lo?"

"Ya, itu lo harus bisa percaya diri kalau lo itu gak seburuk apa yang orang lihat"

"Tapi gak mudah" Gue mulai pasrah dengan perdebatan ringan ini.

"Emang, kalau cuma nyoba setengah lo bakalan merasa gagal dan pasrah terus sama keadaan. Bahkan lo cenderung akan menyalahkan mata dan mulut orang lain. Kecuali nih, kalau lo udah banyak berusaha buat menaikkan kualitas diri lo, ketika ada orang yang merendahkan dan menghina lo. Ya, lo gak bakalan merasa kurang terus."

Kemudian, Padi menatap ke arah gue sebentar. Dan kembali fokus mengemudi.

"Lo seharusnya paham sama lingkungan dan diri sendiri." lanjutnya.

"Jadi menurut lo, gue gak ada usaha gitu?" tanya gue yang bingung dengan perkataan Padi sedaritadi. Tentu saja, gue menyimpulkan bahwa Padi sedang berusaha bilang kalau gue memang seperti apa yang ada dimata orang-orang. Jelek, gendut, hitam, norak.

"Bukan begitu, sayang. Gue cuma bilang kalau lo mau orang lain menganggap lo gak aneh atau apapun yang lo tebak dari isi kepala mereka, seharusnya lo tunjukin versi terbaik dari diri lo. Inget ya, Han. Lo harus ubah pikiran mereka dengan tindakan lo atas hidup lo. Bukan memaksa mereka untuk lebih berhati-hati dalam berbicara atau memandang fisik orang lain."

"Karena, lo akan capek sendiri. Semua orang hidup dengan pilihannya, ada yang memilih untuk tidak melakukan apa-apa yang membuat orang lain tersinggung, ada juga yang merasa tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Jadi, bisa berlaku seenaknya. Kalau lo paham sekitar, ya, lo gak bakalan terus menerus minder kayak sekarang."

Padi terus menerus mengoceh memberitahu gue bagaimana caranya menyikapi orang-orang. Gue memang paham apa yang diucapkan Padi, sangat paham, namun bisa tidak dia juga mengerti kalau gue serendah ini. Serendah yang tidak terlihat oleh sepasang matanya. Sebab, semisal dia tahu, gue tamat.

Tetapi dari percakapan gue dan Padi. Ada yang aneh, kenapa Padi tahu kalau gue setidak percaya diri itu. Padahal gue hanya bertanya hal umum yang biasa ditanyakan oleh banyak orang. Jangan-jangan Padi bisa baca pikiran orang?

"Hanki, gue gak mau nuntut lo harus ini dan itu. Lo harus bergerak sendiri atau mudahnya lo sudah ada dorongan dari diri lo. Gue cuma ngasih tahu aja. Karena gue gak bisa nolong lo selain ngasih penjelasan bagaimana seharunya." lanjutnya lagi.

"Padi, makasih banget ya!" ucap gue singkat.

"Gak usah terima kasih sama gue. Udah sering gue ketemu perempuan yang kayak lo. Jadi, bagi gue untuk memberikan sedikit saran, ya, bukan hal istimewa"

Kalimat 'bukan hal istimewa' rasanya terlalu menusuk, seperti belati. Gue terdiam sejenak seraya menatap pada jalan yang berada di depan gue. Memang perlakuannya yang baik ini bukan hal istimewa, artinya ada banyak perempuan yang diperlakukan serupa. Lalu, gue yang berkata hanya teman, mengapa justru merasa tidak terima?

Mungkin sebelum mengenal gue, Padi telah banyak bertualang ditemani perempuan-perempuan yang sudah pasti lebih baik dari gue. Harus selalu ditanam dalam pikiran gue, kalau apapun bentuk perhatian Padi itu semata hanya untuk membuat seorang teman menjadi lebih baik.

"Iya, gue paham. Lo bisa ngerti perasaan dan pikiran orang yang baru dikenal, ya, hebat." puji gue yang tidak mau terlihat jadi orang yang menyedihkan.

"Biasa aja. Gue selalu memperlakukan orang sebagaimana gue ingin diperlakukan oleh orang lain."

"Oh, jadi lo pengen dimengerti juga?" canda gue sembari memajukan badan dan kepala gue ke dekat Padi.

"Hahaha, ya begitulah. Kalau dimengerti dan diperhatikan aja, rasanya kurang sih." balasnya.

"Ya ampun, lo serakah juga ya orangnya. Terus maunya apa?"

"Di sayang"

Secara bersamaan mata gue dan Padi bertemu beberapa detik tanpa ekspresi sampai akhirnya di pisahkan oleh suara klakson mobil dibelakang. Buyar dalam lamunan, Padi segera melihat traffic light yang lampu hijaunya sudah menyala. Segera Padi menancap gas.

"Kamu sih gak fokus" gue membuka obrolan.

"Iya, ada perempuan cantik disamping gue bikin gugup."

"Lo sekali lagi gombal, awas ya!"

"Mau ngasih ancaman apa memangnya?" tanyanya seolah menantang.

"Gak ada, gue gak doyan ngancam orang lain."

Padi membalas ucapan gue dengan mengangguk dan menaikkan halisnya. Kemudian, tangannya mulai bergerak. Meraba dengan sangat pelan sembari tetap fokus ke depan. Lalu, menekan dengan pasti. Suara musik yang mengalun pelan sedaritadi, kini terdengar cukup sampai ke telinga. Ya, Padi membesarkan volume-nya. 

Suara milik Jacson Zeran terdengar indah. Gue tidak hafal liriknya, tapi gue tahu betul judul lagu ini, yaitu Keep it real Bullshit.

"Hey motherfucker, koreksi diri sendiri

Timbulnya masalah ini karena kau merasa sensi"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status