Hawai sudah sore.
Hari ini adalah hari terakhir Maria berada di Hawai kalau menurut jadwal yang sudah ia susun sebelumnya, setelah menghabiskan tiga hari untuk memanjakan ketenangan jiwa dengan keindahan alam, hari ini Maria menggunakan waktu yang tersisa untuk menjelajahi jalanan serta pernak-pernik khas Hawaian.
Meski ini bukan pertama kalinya Maria kemari dan sudah pernah membawa pulang sekarung oleh-oleh khas, namun namanya wanita, pasti ada saja, entah itu cuma lihat-lihat atau memang benar punya niat membeli souvenir untuk buah tangan, yang namanya berkeliliing toko itu wajib.
Maria sendiri masuk dalam golongan wanita kebanyakan, menyukai perbelanjaan, maka meski tidak butuh dan meski orang rumah tidak mengharapkan oleh-oleh apapun ia masih mau berkeliling untuk mencari goods yang indah untuk dibawa pulang.
Tiga kantong besar sudah ada ditangan kanan gadis yang menggunakan dress hitam selutut tanpa lengan itu, sementara tangan kirinya memegang satu cone ice cream rasa vanilla yang sudah dimakan dan tinggal separuh badan.
Menyusuri jalan sebelum kemudian melewati sebuah gerai tattoo yang tidak terlalu ramai. Maria menghentikan langkah, menjilat lagi ice cream ditangannya sembari menilik kedalam gerai tattoo itu.
Tattoo?
Satu pikiran muncul tiba-tiba. Menyerukan kembali apa yang pernah ia inginkan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Maria ingin punya tattoo. Tidak terlalu ingin sebenarnya, sudah tidak terlalu ingin, namun sekarang keinginan itu muncul kembali kepermukaan. Secara tiba-tiba, entah apa sebabnya.
Maria memasuki gerai yang berukuran tak terlalu besar itu, di dinding dan juga kaca-kaca sana penuh dengan berbagai design dan juga foto-foto tattoo manusia di berbagai bagian tubuh, Maria menginjakan kaki berbalut sandal rotan yang ia beli kemarin sore di lantai berkeramik itu, sementara matanya masih asyik menyusuri apa yang bisa dilihat.
Terus melihat-lihat, sembari sesekali menyesap ice cream di tangan yang tau-tau sudah menjalar turun hingga ke punggung tangan. Maria cepat-cepat menyesapnya, mencegah agar dessert manis yang lengket itu tidak lebih melebar.
“Mau tattoo?”
Waktu itu Maria tidak bisa tidak terlonjak.
Ia memekik bahkan ketika bibirnya masih menempel pada tangannya sendiri. Memutar mata kepada arah suara, meksi tanpa melakukan itu sekalipun Maria bisa tau siapa orang yang mengatakannya.
Menatap dengan mata yang bulat pria berkulit putih yang dua hari ini tidak pernah absen dari pandangan matanya. Maria menjilat kembali ice cream ditangannya yang kiranya berpotensi meleleh.
“Lo ada dimana-mana,” katanya sembari menjilat bibir.
Edgar menaikan satu alisnya.
Ia tau. Wanita agresif ini hanya melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang lain, memakan ice cream, membersihkan sisa jejak manisnya dengan menjilat bibir, lumrah, dan Maria juga melakukannya barusan, membasahi bibir yang lengket dengan saliva, menyesap minuman dingin itu dengan cara yag biasa.
Tidak ada maksud menggoda sama sekali.
Dan Edgar juga tau ia tidak seharusnya berdebar hanya karena melihat Maria melakukan itu. Ia tidak seharusnya terdiam dan tidak menjawab apa yang gadis itu katakana padanya dan malah terpaku pada wajah ayu sang dara.
Apa yang ia pikirkan sebenarnya.
Edgar mengambil napas sembari menunduk, matanya mengedip sebelum kembali mendongak. Tersenyum kecil. Membalas komentar Maria tentang keberadaan dirinya.
“I am,” jawabnya singkat sembari mengangkat bahu.
Dan kalau tidak salah.
Jika mata Edgar tidak sedang bermasalah, Maria terlihat menganggukan kepala santai, tidak menunjukan ke’anti’annya pada Edgar seperti sebelumnya.
Maria meletakan kantong belanjaannya di lantai, tepatnya di sebelah tembok yang kosong. netra gadis berambut pirang itu kembali menelusuri gambar-gambar di sana.
Dan Edgar juga menelusuri gerak-gerik Maria.
“Nyari duit juga disini?” tanya Maria setelah beberapa saat, menoleh kembali pada Edgar sebelum menggigit sedikit ice cream ditangannya.
Edgar menggeleng. “Enggak. Bantu temen.”
Kan, pria ramah seperti Edgar memang punya teman dimana-mana.
“Gue mau,” ujar Maria cepat sembari membuang sisa ice cream vanilla itu ke dalam tempat sampah.
Memandang Edgar yang masih menatapnya, kini ada kerlingan ragu sedikit dari mata sabit laki-laki itu. Edgar terlihat menganggukkan kepala layakanya orang berpikir sebelum memiringkan badan dan berkata.
“Ayo masuk,” tawar Edgar, mempersilahkan Maria untuk memasuki ruang di gerai tattoo lebih dalam.
Dan Maria tidak keberatan untuk ikut. Tentu saja. Langkah kaki panjangnya mengikuti kemana Edgar melaju, mengikuti dengan mata yang masih mengedar ingin tau apa saja yang ada di dalam sana.
Hingga tidak jauh, hanya berjarak dua ruangan kecil akhirnya Edgar mempersilahkan Maria untuk duduk diatas sebuah benda yang mirip dengan brangkar di rumah sakit. Sementara lelaki itu sibuk dengan peralatan-peralatan yang Maria tidak tau apa nama dan fungsinya, Maria melangkahkan kaki dan mendaratkan bokong di atas brangkar tersebut.
Masih menjadi detective dengan melihat-lihat isi ruangan sempit ini. Hingga pandangannya jatuh pada punggung Edgar didepannya.
Edgar memakai sarung tangan karet, ia mendorong meja berisi jarum-jarum tajam dan kemudian duduk di kursi yang berada tepat di depan dua kaki Maria.
Benar, tepat didepan kaki gadis itu.
Maria sontak merapatkan kakinya, karena kursi yang diduduki Edgar jauh lebih rendah dari tinggi brangkar yang ia duduki, dan ia juga hanya menggunakan dress sebatas lutut. Jangan lupa. Dengan jarak ini, Edgar jadi bisa menghirup aroma parfume mawar yang gadis itu keluarkan.
Apalagi sekarang laki-laki itu menaruh tangan tanpa rikuh di kedua sisi tubuh Maria. Hingga mengungkung daya gerak sang gadis disana.
“Mau tattoo apa?” tanya Edgar setelahnya. Mata pria itu menatap Maria, tanpa kilau berlebihan dan hanya tatapan ramah seperti biasa, layaknya orang yang tengah menunggu jawaban.
Maria terdiam, ia menelan ludah ketara, merasa amat canggung dan sedikit risih. Sebelum gadis itu memutuskan untuk melirik kebawah dimana Edgar setia menatapnya, Maria bukan anak sekolah yang polos, ia teramat paham kalau posisi duduknya saat ini amat riskan.
Maria menarik napas, gadis dua puluh enam tahun itu mencondongan tubuh pada Edgar dengan sengaja, membuat sang pemuda menyirit perlahan, dan tak bisa untuk tidak mundur, tatapan mata diruang remang yang hanya berisi dua orang itu tentu tidak bisa dikatergorikan dalam bentuk wajar.
Edgar bisa mencium dengan jelas aroma sabun dan juga wewangian yang digunakan Maria sore ini. Aroma mawar itu tak lagi samar. Mau tak mau harus mengakui kalau hidung kecilnya amat beruntung karena bisa menikmati aroma mahal milik wanita yang juga terkenal mahal ini.
Melihat ekspresi wajah Edgar yang perlahan berubah karena terpengaruh olehnya, Maria pun mengangkat alis jumawa, gadis itu mundur kembali, mematahkan ekspektasi sang tuan, seraya berkata.
“Lo punya tattoo?” tanya Maria.
Wanita mahal memang suka mempermainkan. Edgar mengulas senyum geli terang-terangan.
Sadar bahwa tadi Maria tidak nyaman dengan kedekatan mereka hingga gadisi itu melakukan suatu hal agar Edgar bisa menjauhkan badan.
Edgar mengangkat bahu sebelum menggeleng. “Belum.”
“Belum?” tanya Maria memastikan pendengaran.
“Nunggu ijin,” balas Edgar lagi, ia memang belum melukiskan satu apapun di atas kulit tubuhnya. Dan Maria masih menunggu lanjutan dari pria itu. Edgar mengambil napas. “Nunggu ijin Ibu.”
Dan detik itu pula, Maria menampilkan muka yang super duper aneh.
Mendecih keras-keras. Tidak percaya sama sekali.
Hei, mana mungkin anak muda di jaman ini masih mau menminta ijin atau mendengar perintah orang tua sebagai patokan perilaku. Apalagi ini Edgar yang jelas-jelas notabenenya casanova paling buaya sejagad raya.
Maria saja yang sedikit takut pada orang tua tidak terlalu mendengarkan apa kata merka dan selalu melakukan semua hal sesukanya, apalagi anak laki-laki macam Edgar.
Edgar tertawa renyah, senyumnya geli, melihat wajah Maria yang mengerut tak percaya.
“Keren kan cowok ngomong gitu?” tanya Edgar kemudian dengan nada main-main.
Memutar bola mata malas, Maria kemudian meraih satu album foto, atau mungkin tepatnya album sample tattoo yang ada di atas meja di dekat jarum-jarum yang Edgar siapkan tadi.
“Kebanyakan ngibul baek-baek nanti bisa mandul,” celetuk Maria asal sembari mulai membuka lembar demi lembar album itu, memeriksa tulisan dan juga gambar-gambarnya.
Mendengar celetukan Maria, Edgar segera melebarkan mata, lelaki itu langsung mengetuk permukaan meja dan juga kepalanya bergantian sembari meramalkan kata ‘amit-amit’ berulang-ulang. Takk percaya dengan kalimat yang diucapkan wanita didepannya ini.
“Astaga, mulutnya,” ujar Edgar dengan gelengan prihatin.
Maria mengangkat bahu tak peduli. “Mulut gue mah seksi.”
Benar sih. Edgar juga mengakui untuk yang satu itu. Namun, kata-kata yang keluar dari dua belah bibir seksi itu yang bermasalah. Meski Edgar yakin sekali kalau dirinya serratus persen sehat, mampu membuahi seorang perempuan, menghasilkan anak atau apalah itu istilah yang benar.
Dan Edgar juga tau Maria hanya asal bicara, namun, apa mereka sudah sedekat itu sampai bisa bercanda soal kemandulan?
Edgar diam-diam menahan senyum. Mungkin memang sudah lebih dekat tanpa sadar.
“Lo bisa gambar emangnya?” tanya Maria tiba-tiba, jemari lentik berkuku panjang milik gadis berambut pirang itu masih setia membolak-balik lembaran album foto ditangannya.
“Bisa,” balas Edgar cepat.
Maria menutup album ditangannya dan meletakan album itu ketempat asal. Gadis itu tidak ragu untuk percaya kepada kemampuan Edgar karena ia memang sudah tau kalau seni lukis, menggambar, dan prakarya seni lainnya memang dikuasai oleh laki-laki itu.
Maria sudah pernah bilang kan, Edgar itu popular, jadi wajar kalau Maria tau.
“Gue mau mawar, tapi bukan yang jiplak,” kata Maria lagi, mata gadis itu menatap lurus pada dua netra coklat milik Edgar. Meminta digambarkan satu kuntum mawar yang belum pernah digambar siapapun, yang tidak ada duanya, yang merupakan hasil imajinasi Edgar sendiri.
Dengan kata lain, Maria mengijinkan Edgar untuk menjadikan kulit putihnya sebagai kanvas atas kreatifivas laki-laki itu.
“Mau tattoo dimana?” tanya Edgar setelah beberapa saat.
Tanpa berpikir, Maria sedikit melebarkan kaki, membuat Edgar mengangkat alis lagi, tanpa diduga Maria menyentuh satu area diantara paha dalam, paling dekat dengan yang sensitive, namun agak lebih atas sedikit dilekukan tulang pinggul.
Edgar mengedipkan mata, alisnya terangkat lebih tinggi. Oke, memang wajar, tattoo bisa dilukis dimanapun semau orangnya, namun ini Maria. Dan artistnya adalah Edgar.
Edgar menatap tangan Maria yang masih bertengger di selakangan dan juga mata gadis itu bergantian. Lelaki itu memiringkan kepala ragu.
“Lo rela gue ngelukis disana?” tanya Edgar dengan nada jahil.
Ya tentu.
Maria harus rela mengangkat rok serta melepas celana dalam kalau memang mau digambarkan sebuah Mawar disana, yang tertutup hanya area sensitivenya saja. Dan Edgar sangsi, gadis ini tidak akan setuju kalau Edgar melihat kulit cantiknya itu terekspose, apalagi Edgar juga harus menyentuh kulit itu.
Namun diluar dugaan Edgar, Maria justru mengangkat bahu lagi, tidak terlalu peduli.
Tidak keberatan Edgar melihat atau menjamah sebanyak itu.
Edgar terdiam.
Gadis ini memang selalu diluar dugaan.
“Lo cantik,” kata Edgar tiba-tiba.
Maria mendengarnya, ia diam sebelum membuat senyum terpaksa. Mengangguk. “Tau.”
Edgar pun setuju. Dan laki-laki itu memuji lagi. “Kulit lo juga bagus.”
Maria masih mendengarkan, matanya lurus menatap Edgar yang juga tengah menatapnya dengan tatapan serius. Tau. Kalau dibalik kata-kata pujian dari bibir penuh milik lelaki itu terdapat makna yang lain, Maria harus menyadari keindahan yang sudah ia punya sehingga gadis itu akan berpikir dua kali jika mau mengubahnya.
Dengan kata lain. Edgar berusaha agar Maria membatalkan niat untuk mentattoo tubuhnya.
“Lo gak mau gambarin?” tanya Maria dengan senyum yang manis, memiringkan kepala. “Kalo nggak mau, panggilin yang lain.”
Dan Edgar lebih sangsi kalau ia harus meminta salah satu temannya untuk membuat tattoo ditubuh Maria. Jelas. Bukan itu yang ia inginkan.
“Ntar lo nyesal,” bujuk Edgar lagi, ia masih duduk di kursi yang sama, hanya saja kali ini Edgar berhasil menarik kursinya agar berada lebih dekat dengan Maria. Edgar ikut menunjuk area tattoo yang diinginkan Maria dengan pandangan matanya. “Kalo disana, hapusnya lebih sakit.”
Maria menarik napas, mencoba untuk tidak terintimidasi, gadis itu malah-malah ikut mencondongakn diri, menopang tangan di tepian brangkar, mendekatkan wajah hingga jarak antara ia dan Edgar hanya bersisa satu jengkal.
Dilihat dari jarak sedekat ini. Dua-duanya serasa tenggelam kendati yang dilakukan mereka hanyalah sekedar godaan. Apalagi dari tadi netra elang milik Edgar tak henti melirik mata, hidung dan juga bibir Maria bergantian. Disiram cahaya temaram, Edgar mengakui, kalau gadis didepannya saat ini benar-benar cantik adanya.
Dia diberi kesempatan emas, maka tidak seharusnya dilepaskan.
Bisa dilihat kalau Maria juga melakukan hal yang serupa, menggoda, setelah beberapa detik saling menatap gadis itu kemudian mengulas senyum kecil, bahkan mampu mendecih lucu.
Sedangkan Edgar diam ditempatnya, masih menikmati apa yang tersaji di mata.
“Kalo udah digambar gak akan gue hapus juga, darling,” balas Maria akhirnya mengenai peringatan Edgar soal sakitnya hapus tattoo.
Memangnya siapa yang peduli dengan sakit karena jarum diusianya yang sekarang?
Tattoo bukanlah hal besar, namun sepertinya Edgar memang benar-benar ingin membuat Maria mengurungkan niatnya itu. Entah kenapa.
“Keinginan orang berubah-ubah tiap saat,” kata Edgar lagi saat dengan terang Maria tidak mau mendengar apa yang ia katakan. “Gue mau tattooin, tapi kalo benar-benar mau disana, lo janji dulu, yang hapus juga harus gue.”
Dan kala itu, Maria tidak bisa untuk tidak mendecak sebal.
Mata terang gadis itu memutar pertanda kesal sebelum ia menatap tajam Edgar yang masih menatapnya dengan padangan yang sama.
Maria mengangkat tangan dan mendorong tubuh Edgar agar menjauh, dan benar kalau Edgar mundur hingga kursinya ikut juga, Maria segera turun dari brangkar yang ia duduki, berniat berlalu pergi sembari berkata.
“Nggak jadi. Ribet lo.”
“Hai, Rapunzel,” suara manis yang dibuat setengah berteriak itu terdengar jelas di telinga ketika Maria baru mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di depan bar table. Maria tidak percaya pada sebuah kata yang orang-orang sering bilang dengan kebetulan. Presentase pertemuan antara jumlah manusia dibumi dengan masa yang ada tidak memungkinkan untuk dua orang bisa bertemu secara tidak sengaja. Dan sekarang? Lihat siapa laki-laki yang menggunakan kemeja putih yang dua kancing paling atasnya itu dibiarkan terbuka, membuat dada yang kemarin sore Maria lihat nyata diterpa cahaya senja kian mengintip tanpa malu. Edgar disini. Mungkin dia memang benar-benar TKI yang dikirim ke Hawai, namun apakah boleh seseorang merangkap pekerjaan sebanyak ini dalam satu hari? Tadi siang Maria menemui Edgar di kelas berselancar, sorenya Edgar digerai tat
Gila! Sinting! Dan entah kata apa lagi yang mampu menafsirkan dengan padat dan jelas apa yang tengah dirasakan dua insan disana, kewarasan sudah diambang batas, logika yang dielu-elukan tak lagi menjadi tolak ukur perbuatan. Semuanya berantakan, bersama dengan decap basah yang terdengar memenuhi seluruh sudut ruangan. Maria benar-benar membawa Edgar ke dalam ruang tidur tempatnya menginap. Akal Maria memang sudah hilang, karena pikir saja, gadis mana yang mampu bercumbu dengan laki-laki lain sementara kemarin ia meratapi cinta yang baru saja patah? Dan lihat bagaimana berhasratnya Maria meremas surai coklat milik lelaki yang tengah menciumnya. Edgar begitu keras dan dominan. Edgar melerai tautan yang terjalin antara bibirnya dengan milik Maria, mencaritahu sebagaimana ekspresi wajah cantik Maria dibuatnya, karena dibandingkan apapun Edgar mengakui dengan sangat k
2 years later.-- Menjadi dewasa amat indah. Tak seperti orang lain yang mengerutu karena merasa dewasa datang terlalu cepat dan bahkan banyak yang berangan-angan agar bisa kembali pada masa kecil, Maria justru amat menikmati waktu yang ia lewati sampai usianya menginjak angka dua puluh delapan tahun ini. Menjadi dewasa. Memiliki tanggung jawab baru. Melewati semua tetek bengek drama remaja dan berubah menjadi seorang wanita yang tak terlalu memikirkan setiap hal yang ada. Dan yang paling penting. Menjadi seorang ibu. Benar. Putri tunggal dari keluarga Foster itu telah melahirkan seorang anak laki-laki sekitar satu tahun lalu.Tidak mudah. Tentu, tidak mudah sama sekali. Namun, Maria dapat melewatinya dengan baik. Menjalani kehamilan pertama yang sembunyi-sembunyi amat sulit, melahirkan,
-- “Woi, pemeran utama! Ngaret banget, ditungguin juga.” Seruan itu menjadi sambutan bagi wanita tinggi yang baru melewati pintu kaca, bayi laki-laki berumur satu tahun terlihat stylish digendongannya, Ares sudah dipakaikan beret dan juga sepatu coklat, tak ketinggalan juga ada empeng terselip di mulutnya. Maria lekas mendekat ke meja dimana ada dua wanita hamil disana. Melambai-lambai semangat. “Tanggerang traffic is so wonderful, u know?” balas Maria sembari duduk salah satu kursi yang kosong, kemudian mengatakan terima kasih pada supirnya yang membawakan tas milik Ares. Dua tante-tante itu langsung jejeritan tak tahan, menggeser kursi mereka agar bisa lebih dekat pada bintang utama, menjawil-jawil pipi baby Ares yang dari tadi diam dan hanya memandang dengan tatapan polosnya. Hingga kemudian, Jane mengambil alih bayi kece itu, didudu
-- “Darksky bukannya club Edgar ya? Katanya mau buka cabang? Katanya juga dia buka di salah satu hotel lo? Beneran? Sumpah, hah?” Rentetan pertanyaan itu datang dari mulut Jane yang masih membaca sesuatu di layar ponselnya. Mungkin Jane sedang membaca postingan seseorang di group alumni SMA. Maria tidak terlalu ingin tau, namun yang jelas Maria hanya tak suka dengan fakta bahwa nama Edgar kembali didengarnya setelah ia susah payah kabur dari pria itu tadi. Oke. Biar Maria jelaskan situasinya. Jane dan Lili ternyata masih ada di café yang sama karena ibu hamil itu tak membaca pesan yang Maria kirimkan, bahkan tidak berinisiatif menghubungi Maria saat mereka sadar kalau Maria menghilang lebih lama dari seharusnya. Teman macam apa! Saat Maria kembai kemari, dua ibu hamil itu tengah asyik memakan potongan cake, dan Ares juga disuapi sedikit-sedikit.
Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan.Dan kadang, memilih untuk tidak memilih pilihan juga dilakukan. -- Hari ini setelah pulang dari kantor Maria menyempatkan waktu untuk pergi ke duty free membawa putranya jalan-jalan sore. Mengingat setiap selesai bekerja Maria hanya akan ada di rumah dan tak kemanapun lagi, ia pikir tak ada salahnya sesekali pergi. Maria tentu tak sendirian, ia bersama satu pengasuh Ares sementara supir yang mengantar telah pergi membawa barang belanjaan mereka ke mobil terlebih dahulu. Sebagai wanita single yang bahagia Maria dengan senang hati melakukan hal-hal semanis ini disela kesibukannya, mentitah Ares yang sedang aktif-aktifnya berjalan sembari menunggu pengasuh Ares kembali dari kamar kecil. Dan tentu saja.
Edgar menghempaskan Maria tanpa kelembutan, bahkan ketika melihat Maria yang terang-terangan mengusap tangannya yang memerah perih Edgar tak peduli. Lelaki itu kalap, ramahnya hilang, sabarnya telah tiada. “Jelasin,” geram Edgar, mencoba menanam sabar satu kali lagi. Maria membalas tatapan Edgar tak kalah tajam. “Enggak ada.” Deru napasnya memburu, emosi.Decihan dikeluarkan dari mulut Edgar. Mungkin memang Maria tidak punya sedikitpun pengalaman menenangkan seseorang yang tengah tenggelam dalam amarah hingga wanita itu bisa dengan ketus menjawab pertanyaan Edgar dengan kata-kata seperti tadi. Namun Edgar juga tak pernah berhadapan dengan wanita seperti ini sebelumnya, atau lebih tepatnya Edgar tak pernah seemosi ini sebelumnya. Bayangkan jika kalian yang ada di posisi Edgar. Betapa bingungnya lelaki itu dibuatnya. Edgar menghembuskan napas, tatapan matanya belum melunak. “Kalo begitu Ares akan gue bawa.” Perih di pe
“Saya akan menikahi Maria.” Hak. Dan juga keinginan yang Edgar ancamkan waktu itu benar-benar berbeda dengan makna ancaman yang ada dalam pikiran Maria. Dasar sinting! Lelaki ini yang sudah menyebut Maria brengsek. Lelaki ini juga sudah mengatakan berbagai sumpah serapah, mengancam, dan bahkan meninggalkan kenangan berupa lebam kebiruan di pergelangan tangan Maria. Menakut-nakuti Maria dengan berkata bahwa dia akan membawa Ares, meski pada akhirnya ibu Edgar tidak menyetujui ide putranya itu dan menyerahkan Ares kembali pada Maria. Tetapi lihat apa yang terjadi hari ini? Edgar datang bersama ibunya dan berniat melamarnya? “Edgar!” pekik Maria tak terima sekaligus tak menyangka dengan apa yang Edgar katakan barusan. Lamaran? Oke. Egdar memang mengakui kalau ia menyukai Maria, dan Edgar juga tau kalau Maria adalah ibu dari anaknya, tetapi apa hanya karena dua hal itu Edagr itu bisa memutuskan untuk menikahi Ma
Aloha, anyonghaseyo yorobun, Esteifa imida~A Modern Fairytale akhirnya tamat juga.Pertama-tama aku mau ngucapin terimakasih banget buat teman-teman semua yang sudah mau membaca kisah dari anak-anakku, mulai dari Jane-Theo dan berlanjut ke Maria-Edgar.Terimakasih karena sudah memberi support untuk author dengan memberi ulasan dan komentar positif, terimakasih juga karena sudah mau mengikuti kisah-kisah buatan author dengan sabar menunggu update-an, terimakasih mau bertahan di cerita yang koinnya mahal ini.Buat kakak-kakak dan teman-teman yang mengikuti aku dari lapak Oren sampe sini khususnya, thank yu so much, aku sayang banget sama kalian. Kakakku Laely sha, Rhicut, Puspa Wulandari, sazaa, You and I, ada Jendeuk, Lee jae Wook, Ruby Jane, banyak lagi tapi aku lupa nama akunnya maaf, pokoknya makasih buat semuanya;)Buat yang punya aplikasi baca tulis Oren (wtpd) boleh banget cari Esteifa biar tau updatean cerita-ceritaku, karena aku sering info
Dua belas tahun kemudian... -- Pagi itu datang seperti hari biasa.Bunyi alarm, kicau burung, dan juga teriakan ibu yang menyuruh anak-anaknya bangun.Seorang wanita berambut hitam pendek seleher sedang sibuk menata piring diatas meja makan. Ia memakai dress floral selutut dengan lengan sampai siku.Lalu terdengar bunyi langkah dari tangga, turunlah laki-laki yang mempunyai wajah rupawan warisan orangtuanya, dia tinggi dan menggunakan seragam SMA.Ares meletakan ransel sekolahnya dikursi, duduk, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Anak laki-laki yang dahinya ditutupi plaster kecil itu mendecak sembari memejamkan mata.“Mommy jangan cium-cium aku ih,” eluh Ares sebal ketika ibunya, wanita bersurai pendek yang cantiknya suka disalahi sebagai kakak Ares itu tak sungkan mengecup dua pipi dan juga kening putranya.Ibu Ares balas mendecak, tak sungkan mengacak pelan rambut hitam lebat milik Ares yang sudah ditata baik-baik.“Haduh, anakk
“Saya dengar kamu sudah menikahi Maria?”Edgar tertendang keluar saat Maria didatangi teman kentalnya.Oleh karena itu, saat ia sedang terduduk didepan ruangan, kemudian berjalan berniat mengunjungi cafetaria Edgar bertemu ibu mertuanya. Mengatakan kalau sang ayah mertua ingin bertemu.Emily sudah tau kalau Maria sudah bangun, Albert Foster juga sudah menemuinya, dan terjadilah reuni mengharukan antara anak dan bapak itu.Edgar sendiri lebih banyak diam saat Albert mendatangi Maria, ia hanya mendengarkan percakapan rindu mereka sebelum keluar dari ruangan memberi keleluasaan untuk berbincang.Dan sekarang. Ayah mertua Edgar memanggilnya.Oke. Bahkan untuk menyematkan sebutan ayah mertua saja terdengar sedikit canggung.Edgar berdehem, lelaki itu menegakan punggung. Mengangguk kepada pria paruh baya yang duduk di brankar itu.“Maaf kalau saya menikahi Maria tanpa menunggu bapak bangun,” jawab Edgar dengan suara yan
“Sini foto dulu,” ujar wanita berambut pendek itu semangat, tangannya mengangkat ponsel tinggi-tinggi, berpose mendempel pada Maria yang memasang wajah sebal dari tadi.Jane memekik semangat melihat hasil foto yang ia dapatkan, wajah pucat Maria dan kusut rambut sultan satu itu amat sulit didapatkan.“Ntar kalo lo ulang tahun jadi ada bahan buat pasang muka aib,” ujar Jane kemudian.“Serah lo!” sahut Maria tak peduli.Ia tau kehadiran Jane di rumah sakit sepagi ini jelas karena sahabatnya itu khawatir akan keadaannya, namun setelah datang, Maria juga tau sekali kenapa Jane tak mengeluarkan raut wajah sedih atau eskpresi simpati, karena jika Jane melakukan hal itu wanita itu tau suasana hati Maria akan kembali buruk, oleh karena itu, tingkah konyol wanita yang hamil besar itu amat dibutuhkan saat ini.“Mana liat,” ujar Maria kemudian, memeriksa hasil jepretan yang Jane ambil. “Awas kalo lo uplod IG t
Tidak ada yang mudah, semua orang pun tau itu dari awal. Dalam hidup manusia selalu diwanti-wanti untuk waspada, karena hidup tak selalu baik-baik saja, banyak haling rintang, dan benar memang kalau itu semua melelahkan. Namun, bukankah karena lelah itu, manusia jadi lebih menghargai kehidupan.Maria sadar betul dengan apa yang dinamakan hubungan timbal balik. Apa yang kamu tanam itulah yang kamu tuai. Keduanya mirip.Sama-sama mengharuskan manusia untuk bercermin. Berkata bahwa, jangan mengharapkan apa yang lebih baik kalau dirimu sendiri saja belum sebaik itu.Dan tentu. Orang-orang mempunyai sifat tersendiri, ada yang terlahir dengan hati hangat dan juga ada yang memang dasarnya memiliki hati yang dingin. Tetapi hidup itu adalah perubahan, sifat manusia tak akan selalu sama.Berdasarkan hal-hal itu, Maria selalu bertanya-tanya, kenapa ia mendapatkan hal sebaik ini dalam hidup. Ia menanam hal sebaik apa hingga menuai keajaiban seperti Ares, suami yang bijaksana
Begitu sampai di rumah sakit, Edgar tak menunda untuk berlari, meninggalkan motornya didepan rumah sakit begitu saja, tak menghiraukan apapun, dengan napasnya yang memburu pria yang badannya basah karena tersiram hujan itu menuju unit gawat darurat.Melihat dengan matanya tiga orang perempuan duduk di kursi tunggu di ruang perawatan gawat darurat itu.Edgar menarik napas dalam-dalam, berlari, ia meneguk ludah sebelum kemudian berdiri didepan pintu UGD.“Ed,” panggil Emily dengan suara bergetar saat Edgar terlihat hendak menerobos pintu itu. “Jangan masuk dulu, nggak boleh.”Emily menarik lengan atas Edgar, menarik mundur menantunya itu, keadaan Maria jauh dari kata baik, apalagi dengan pendarahan yang dialami, Emily tidak yakin Edgar akan bisa melihatnya. Bahkan ia sendiri tak mampu menahan tangis melihat keadaan Maria sedemikian rupa.Edgar mengangkat pandangan, menghembuskan napas berat, hatinya amat sesak, ia tak bisa menunggu lebih lama untuk melihat Maria, ia tak
Edgar baru saja selesai rapat, lelaki tampan yang menggunakan setelan jas tanpa dasi itu melangkah dengan langkah lebar menuju kantornya. Tak ingin pangeran kecilnya menunggu lebih lama, karena Edgar sudah meninggalkan Ares dalam durasi yang cukup untuk memebuat anak itu marah pada Edgar.Saat baru keluar dari lift, Edgar mengembangkan senyum ketika matanya melihat anak empat tahun duduk di kursi kerja Laras dengan gadget ditangan. Sekretaris baru Edgar yang dipasrahi untuk menjaga Ares mungkin sedang ada keperluan hingga meninggalkan anak itu sendirian.Edgar menunduk ketika sudah sampai di depan anaknya, mengalihkan atensi anak itu pada sang ayah sejenak sebelum kembali menunduk pada gadget ditangan.Huft. Sepertinya Maria benar, Ares tidak seharusnya dikasih mainan digital di usia sedini ini. Karena lihat, Ares yang biasanya tidak pernah mengabaikan Edgar kini anak itu malah lebih tertarik dengan cacing pemburu donat dan burger di layar pipih itu. Tidak boleh dibia
-- “Hai guys,” sapa Maria saat baru sampai disana. Berdiri di sisi meja sementara satu pasang orang yang duduk itu mendongak dengan cepat.Mata mereka kompak melebar melihat kehadiran Maria yang menyapa dengan ramah meski tau kalau sejatinya Maria tidak seramah itu.Jane yang baru berhasil sampai di samping Maria langsung menarik lengan sahabatnya, Maria diam saja, menolak diajak pergi, dan saat Jane menatap Sabina serta lelaki yang kemungkinan besar adalah pacarnya ini Jane justru memicing sekilas lalu berubah melebarkan mata,“Eh, anjas, beneran mantan lo,” celetuk Jane tanpa malu, keras pula.Maria tersenyum ramah sekali, tak keberatan dengan perkataan Jane. “Maaf ganggu, ya. Gue pengen nyapa. Gimana kabarnya kalian?”Lelaki yang mempunyai mata kebiruan itu ikut memicing. Berkata dengan Bahasa Indonesia yang lancar. “Maria,”Maria mengangguk. “Hai, Just.”“H-how are you?” tanya Justin kemudian, tak terlalu menyangka dengan kehadiran Maria yang tiba-ti
Mungkin sebagian besar orang akan menganggap kalau Maria adalah wanita paling bodoh yang pernah ada.Dengan menyia-nyiakan lelaki rare yang terbukti baik seperti Edgar, ingin melepas status resmi dan malah teringin berpisah. Meski sadar kalau perasaannya masih berpaut pada lelaki itu. Masih sayang. Tetapi malah membuat derita untuk diri sendiri dengan menambah masalah lain.Benar. Edgar sudah membuktikannya pada Maria.Lelaki itu mengirimkan potongan video pembuktian kalau Edgar tak pernah bersama Sabina dalam artian yang special, Edgar yang selalu pulang sendirian dan juga terpisah dari Sabina, tak pernah membuat gestur atau kontak fisik berlebih, bersentuhan saja tidak. Apalagi dengan fakta bahwa Edgar tak pernah pulang diatas jam sebelas malam. Satu bulan lalu lelaki itu senggang dan hampir tak pernah lembur, selalu pulang kantor tepat waktu.Dan Ardila juga mengatakan kalau usia kandungan Sabina sudah tiga minggu, ibu mertua Maria itu juga ikut mayakinkan kalau apa y