Beranda / Romansa / A MAN IN A TUXEDO / BAB 4: Kejadian yang Terlupakan

Share

BAB 4: Kejadian yang Terlupakan

Penulis: LeeNaGie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.

Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.

“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.

Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.

Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.

“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polisi tidak bisa melanjutkan penyelidikan, karena hanya Pak Vincent satu-satunya saksi di sana. Tidak ada satu petunjuk maupun sidik jari yang didapatkan dari lokasi kejadian. Saat visum juga tidak terdeteksi cairan itu, karena Si Pelaku menggunakan pengaman saat memperkosa calon istri Pak Vincent.” Candra menjelaskan.

Wajah Stela bergidik mendengarkan cerita pria itu. Dia mengusap pelan tengkuk sendiri sambil menghela napas berat.

“Dia nggak punya musuh? Atau seseorang yang memiliki motif gitu, kayak yang ada di Detective Conan.” Stela menaik-naikkan kedua alis mata.

Candra tertawa kecil melihat ekspresi Stela. “Seorang pengusaha di bidang pertelevisian, apalagi memiliki stasiun televisi berita. Musuhnya ada di mana-mana, Dokter Stela. Apalagi yang memiliki image negatif di masyarakat. Bisa membunuh karakter.”

“Jadi tugasmu sekarang adalah mencari cara mengembalikan ingatan Pak Vincent dan melindunginya,” sambung Candra.

What? Melindunginya?” Mata Stela membesar, berkedip berkali-kali.

“Ya. Tertera di kontrak, ‘kan?” Candra menaikkan kedua alis ke atas. “Mulai hari Senin depan, kamu akan menyamar jadi sekretaris pribadi Pak Vincent, karena dia mulai bekerja lagi di kantor.”

“Hah? Sekretaris? Lo bercanda, ‘kan?” Kedua alis Stela menyatu.

Candra menyipitkan mata dan mendekatkan wajahnya. “Apa kamu tidak membaca kontrak dengan benar?”

Stela menaikkan pandangan ke atas sambil menjepit bibir. “Masa sih? Kayaknya nggak ada deh.”

Pria itu berdiri dan berjalan menuju meja, lalu mengambil salinan surat kontrak yang ditandatangani Stela tadi pagi. Dia menyerahkannya kepada gadis itu.

Stela segera membaca ulang surat kontrak tersebut. Benar, di sana tertera ia harus menjadi sekretaris pribadi Vincent Oliver.

“Kamu harus mengawasinya hampir 24 jam, Stela. Karena itu Bu Widya mencari seorang psikiater yang bisa ilmu bela diri. Si Pelaku bisa menyerang kapan saja setelah tahu Pak Vincent masih hidup.” Candra kembali menjelaskan.

“Buseeet. Mati gue! Bener, ‘kan? Nggak hanya karir gue yang hancur, tapi hidup gue juga, Candra,” celoteh Stela tak sadar saat ini sedang berbicara dengan siapa.

Candra tertawa singkat, melihat raut wajah gemas Stela.

You have no choice, Stela. Kamu harus melakukannya. Kontrak sudah ditandatangani.” Candra tersenyum tipis sambil mengibaskan surat kontrak.

Stela menyandarkan punggung di sofa dengan pandangan ke arah plafon. Dia mengusap kening berkali-kali, sehingga poni yang menutupi kening naik ke atas. Gadis itu mengembuskan napas keras.

Job gue jadi tiga, psikiater, sekretaris merangkap bodyguard. Oh my God!

“Karena itu kamu dibayar mahal. Insentif juga gede, ‘kan? Lima puluh juta per bulan.”

Stela menggerutu dalam hati, namun bibirnya ikut bergerak tidak jelas.

“Pilihannya ada dua, Stela. Melanjutkan kontrak dengan job seperti itu dan kamu akan mendapatkan insentif lima puluh juta di luar gaji. Atau membayar denda satu milyar rupiah.” Candra menaikkan sebelah alis.

Rahang Stela seakan jatuh kebawah, ketika bibir terbuka mendengarkan perkataan Candra. Dia menggerak-gerakkan rahang bawah, sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas - ke bawah mengangkat tumit dengan cepat.

“Satu milyar?” gumamnya sambil memejamkan mata. Stela menggelengkan kepala dengan cepat mengingat dia benar-benar butuh uang.

“Oke. Gue akan lakukan.” Stela menelan saliva, lalu menarik napas dan menyelipkan rambut di balik kedua telinga.

“Sekarang katakan, apa aja yang lo lakukan untuk mengingatkan Pak Vincent dengan kejadian kemarin?” Stela kembali memfokuskan pikiran kepada Candra.

Candra tertawa melihat tingkah Stela yang tidak terlihat seperti seorang psikiater. Dia berbeda dengan psikiater yang pernah menangani Vincent sebelumnya.

“Memberikan sebuah diari, jadi Pak Vincent menuliskan hal-hal penting di sana.” Candra terdiam dan berpikir sejenak. “Menandai berkas-berkas yang telah ditandatangani dan tempat pakaian di lemari jika ada perubahan.”

Stela menganggukkan kepala. “Punya kamera?”

“Kamera?” tanya Candra.

“Ya, kamera untuk merekam.”

“Ada. Perlu ya?”

Stela menganggukkan kepala dengan cepat. “Dia nggak perlu lagi mencatat, tapi menceritakan apa yang terjadi sehari sebelumnya. Besok pagi,  Pak Vincent bisa melihat lagi rekaman itu.”

“Haaa!” Stela memantik ibu jari dan telunjuk bersamaan. “Kita harus pasang CCTV di kamarnya dan juga di ruang kerja ini. Paling nggak itu juga bisa mengingatkannya dengan aktivitas yang dilakukan Vincent sehari-hari. Kayak digital diary gitu.” Gadis itu menaik-naikkan kedua alis dengan cepat.

Candra memperhatikan Stela dengan saksama. Baru saja ia tertawa melihat tingkah konyol gadis itu, sekarang menjadi kagum dengan ide yang diberikannya.

“Aku akan beritahukan ini kepada Bu Widya.”

Stela mengangguk, kemudian terdiam beberapa saat seperti memikirkan sesuatu.

“Candra,” panggil Stela tak lama kemudian.

“Kenapa?”

Mata bulat Stela terlihat mengecil. Dia menggigit bibir bawah.

“Vincent punya diari nggak?”

“Diari yang ditulisnya setiap hari untuk mengingat—”

“Bukan yang itu,” sela Stela, “tapi diari tentang kisah cinta dengan calon istrinya.”

“Buat apa?”

“Penting! Gue harus pelajari dulu, sebelum tentukan metode apa yang akan dilakukan untuk kembalikan ingatan, termasuk masa lalunya.”

Candra berpikir beberapa saat. “Diari Pak Vincent tidak ada, tapi diari calon istrinya ada.”

“Siapapun yang penting gue bisa tahu kisah mereka. Kali aja nanti bisa ketemu pelakunya.” Stela menyengir memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi.

Pria itu tertawa lalu berdecak, “Ck! Kamu itu psikiater atau detektif?”

“Dua-duanya. Lebih tepatnya, psikiater yang dulu pernah memiliki cita-cita menjadi seorang detektif,” cibir Stela, “kenapa? Nggak boleh?”

“Bukan gitu. Kamu itu sebenarnya tidak terlihat seperti seorang psikiater.”

“Maksud lo?” Stela menekuk wajah.

“Lebih cocok jadi ....” Candra pura-pura memikirkan sesuatu. “Cari tahu aja sendiri lanjutannya.”

Bibir Stela tampak maju ke depan. “Huuu, lo aja nggak tahu lanjutannya, apalagi gue!”

Pria itu berdiri lagi dan berjalan menuju lemari yang ada di sisi kanan ruangan. Dia menurunkan tubuh ke posisi jongkok, membuka lemari paling bawah dan mengambil sebuah kotak berwarna cokelat tua dari sana. Candra kembali lagi ke arah sofa, lalu duduk di sana.

“Dalam kotak ini, ada diari, foto dan beberapa barang yang dimiliki oleh Nona Rania, calon istri Pak Vincent. Kamu bisa baca diari itu pelan-pelan. Ingat jangan sampai nangis apalagi baper.” Candra tersenyum geli membayangkan reaksi lebay Stela saat membaca diari itu.

Pria itu menyerahkan kotak dan sebuah kunci untuk membuka gembok kotak. Dia sengaja menguncinya, agar Vincent tidak bisa membuka kotak itu.

Stela mematut lama benda petak yang diserahkan oleh Candra. Dia menghela dan mengembuskan napas pelan mengingat tugasnya sebagai psikiater, sekretaris dan bodyguard Vincent akan dimulai hari ini. Lebih tepatnya setelah membaca diari Kirania Pratista, calon istri Vincent Oliver yang dibunuh dan diperkosa tepat satu hari menjelang pernikahan mereka.

Bersambung....

Bab terkait

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 5: Roti Sobek

    Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.“Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.“Lupo, Da (Lupa, Kak).”“Apa yang lupa?”“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”&l

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 6: Gadis Bernama Kirania Pratista

    Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”“Kontrak?”Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”“Sebentar. Pasienny

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 7: Percakapan Saat Lari Pagi

    Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 8: Belajar Menjadi Seorang Sekretaris

    Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 9: Dari Itik Menjadi Angsa

    Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 10: D1 Being A Secretary

    “Pak Vincent udah di bawah?” tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.Candra diam, masih menatap takjub Stela.“Candra?” Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.“Woi!!” Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.“Eh?”“Pak Vincent mana?”“Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah.” Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.“Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!” Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.“Ini cewek tenaga kuat banget, ya?” Candra bersuara mendelik pada Stela.Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kep

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 11: Mengenal Vincent Oliver

    Mata cokelat terang Stela membulat ketika mendengarkan ucapan Vincent. Dia menatap tanpa berkedip, berharap salah dengar.“Sini kaki kamu,” ucap Vincent mengulang kalimatnya.Pria itu segera mengambil kaki Stela, membuka sepatu dan meletakkannya di atas paha.“B-biar saya aja, Pak.” Stela menarik kaki, namun tangan Vincent terlalu kuat memegang kakinya.“Saya saja. Kamu terkilir karena mengikuti saya. Seharusnya bisa kasih tahu saya, jika berjalan terlalu cepat.” Vincent mulai mengoleskan krim pereda nyeri di pergelangan kaki Stela.“Tapi, Pak. Saya ini kan sekarang bawahan Bapak. Masa—” kalimat Stela berhenti saat Vincent melihat ke arahnya dengan tatapan protes.Stela merasakan jantungnya mulai bergemuruh lagi ketika pandangan mereka bertemu.“Dokter yang menyamar menjadi sekretaris, Stela. Kamu bukan bawahan, tapi dokter saya. Kamu mengobati saya dan saya mengobati kaki ka

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 12: Berteman

    Beberapa hari bekerja sebagai sekretaris palsu CEO, Stela mulai merasa bosan, meski Vincent memberikan akses bebas untuknya bermain game, menonton film atau melakukan hal lainnya, selama tidak mengganggu konsentrasinya ketika bekerja. Dia rindu bekerja di rumah sakit melayani pasien-pasien dengan segala keluhan tentang kejiwaan yang mereka rasakan.Sabtu pagi setelah membersihkan diri, Vincent mengajaknya duduk di taman belakang sambil bermain COD.“Mau main mode apa? Battle Royale?”“Boleh. Berdua aja?”“Lihat dulu ada berapa orang teman clan yang online. Kalau nggak ya random by system. Mati konyol kita nanti kalau ketembak dua-duanya.” Vincent tertawa singkat dengan pandangan mulai fokus ke layar ipad.Bagai dapat durian runtuh, pria itu membelikan Stela sebuah ipad khusus untuk bermain game agar tidak bosan selama berada di kantor. Harganya? Jangan ditanya lagi.“Kamu n

Bab terbaru

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 59: Always Be Mine

    Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 58: Be With You

    Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 57: Cinta yang Tak Pernah Padam

    Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 56: Wanita yang Selalu Menghiasi Pikiran

    Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 55: Berjumpa Kembali

    Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 54: Anugerah di Balik Ujian

    Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 53: Sesuatu yang Hilang

    Flashback OffSatu minggu kemudianSepasang mata elang tampak mengerjap pelan saat matahari merambat melalui celah tirai kamar berukuran besar. Vincent menaikkan tangan kanan menghalangi sinar mentari yang menyapa wajahnya. Dia meregangkan tubuh, sebelum beranjak ke posisi duduk.Desahan pelan keluar dari sela bibir, karena selama satu minggu ini hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan berarti. Hari ini dia telah memutuskan untuk membuka kembali file investigasi tentang siapa Bastian sebenarnya. Setelah hal itu terkuak, maka akan mudah baginya menyeret pria itu ke penjara dengan kasus pembunuhan Kirania.Tidak ada kesedihan sedikitpun terpancar di wajahnya saat ini. Pengkhianatan wanita itu telah memangkas habis rasa cinta yang pernah tertanam di dalam dirinya. Meski begitu, kejahatan yang dilakukan oleh Bastian harus mendapat balasan.Vincent mengambil ponsel dari atas nakas, kemudian menghubungi Candra.“Halo, C

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 52: Peristiwa yang Terlupakan

    Flashback ONSeorang pria tampak berdiri di depan flat apartemen. Sebuah senyuman terukir di wajahnya menanti pintu dibuka dari dalam. Tak perlu menunggu lama, pintu itupun tersingkap.Mata elangnya segera menangkap sesosok wanita cantik berwajah mungil dengan mata hitam pekat kecil. Sepasang gigi berukuran besar dan panjang di bagian tengah terlihat saat senyuman terulas di paras cantiknya. Sesaat kemudian wanita berambut panjang tergerai indah itu berkacak pinggang.“Udah dibilang jangan datang, masih datang juga,” protesnya tanpa diiringi raut wajah kesal. Wanita itu malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Habis rindu, nggak tahan ingin bertemu dengan calon istri,” goda Vincent sambil melangkah memasuki flat.“Besok masih bisa ketemu, Pin-pin. Bandel banget dibilangin.” Wanita bernama Kirania itu melangkah menuju ruang tamu. “Lagian pamali ketemu di malam pernika

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 51: Sepenggal Kenangan yang Hilang

    Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.“Vin? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.“Kamu siapa?” Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.“Aku Stela, istri kamu,” jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.“Ist

DMCA.com Protection Status