Beranda / Romansa / A MAN IN A TUXEDO / BAB 6: Gadis Bernama Kirania Pratista

Share

BAB 6: Gadis Bernama Kirania Pratista

Penulis: LeeNaGie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.

“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”

Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.

“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.

“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.

“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”

“Kontrak?”

Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”

“Sebentar. Pasiennya laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki,” jawab Stela singkat.

“Udah tua?”

Stela menggeleng.

“Umur?”

“Tiga puluh tiga tahun.”

“Waah. Uda bilangin Papa nih,” kata Garry dengan nada mengancam, “Papa nggak bakal izinkan kamu tinggal serumah dengan yang bukan mahram.”

Garry menyipitkan mata, tersenyum usil.

“Makanya Papa jangan sampai tahu.” Stela memajukan bibir bawah dengan memberikan tatapan memelas.

“Emang kamu digaji berapa sih, kok mau-maunya kerja keras bagai kuda kayak gitu?”

Stela mengangkat telapak tangan sebelah kanan, kemudian melingkarkan ibu jari dan telunjuk dengan mengepalkan tangan kiri.

“Lima pul,” —Mata Garry melotot sebelum melanjutkan kalimatnya,—“Lima puluh juta?” Kelopak mata pria itu berkedip beberapa kali.

Stela mengangguk cepat.

Are you serious?”

Kepala gadis itu bergerak naik turun dengan cepat.

“Ada uang tutup mulut nggak nih?” Alis Garry naik turun, sebuah senyuman terukir di sudut bibir.

“Uda? Aku ‘kan mau bantuin Papa lunasin hutang.” Stela menekuk wajah.

“Sepuluh persen aja. Anggap kamu ngeluarin zakat.”

“Kebanyakan zakat sepuluh persen itu.” Stela memutar bola mata.

“Ya udah. Uda telepon Papa, ya,” ucap Garry sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans yang dikenakan.

“Dua juta.” Stela mengacungkan jari tengah dan telunjuk bersamaan.

Garry mengusap pelan dagu beberapa saat, pura-pura berpikir.

“Oke, deal.” Garry kembali memasukkan ponsel ke saku celana.

Stela menekuk wajah dengan bibir mengerucut. Dia terkadang sebal dengan kakaknya ini. Kata-kata ‘Bilangin Papa’ membuat gadis itu selalu tidak berkutik dengan Garry.

“Janji nggak bilang ke siapa-siapa kalau Stela psikiater di sini ya?”

“Emang nggak boleh ada yang tau?”

Gadis itu mengangguk cepat.

“Kalau gitu nambah lagi dong uang tutup mulutnya.” Garry tersenyum jahil.

“Uda?” geram Stela.

“Bercanda. Masa iya, Uda memalak adik sendiri?!” cicit Garry.

“Huu. Tadi namanya apa kalau bukan malakin adik sendiri?” Stela manyun.

Garry membuka mulut, tersenyum lebar.

“Nggak ada niat bawa Papa ke Jakarta dengan penghasilan segitu?” tanya Garry.

“Bawa Papa tinggal di Jakarta, biar ketahuan gitu?” Bola mata Stela naik ke atas kemudian turun lagi.

“He-he ... Bener juga ya.” Garry nyengir.

“Ya udah. Kamu jaga diri baik-baik. Uda nggak mau kamu kenapa-napa.” Garry menepuk pelan puncak kepala Stela.

“Iyaa ... Stela bisa jaga diri kok.”

“Uda percaya kok sama kamu.” Garry mencium puncak kepala adiknya. “Uda balik ke kantor dulu ya.”

“Masih kerja?

“Iya dong. Jam segini belum pulang, Diak (Dek).”

“Bolos?” Stela menatap tak percaya.

“Nggak bolos juga sih. Tadi ada keperluan di luar, trus mampir ke kosan kamu dan berakhir di sini.”

“Mampus nanti dipecat.”

“Itu mulut kok sadis amat ya? Jangan doakan begitu dong,” protes Garry, “udah ah. Nanti keburu jam pulang.”

Garry bangkit dari sofa, lalu melangkah ke luar kamar. Stela mengekor di belakang kakaknya. Baru tiga langkah dari kamar, mereka berdua berhenti saat melihat Vincent keluar dari kamar.

Stela menyikut lengan kakaknya. Garry menoleh ke arah adiknya dan melihat kepala Stela bergerak-gerak.

Vincent memandang mereka begitu menyadari kedua kakak adik itu memperhatikan dirinya.

“Siang menjelang sore, Pak,” sapa Stela.

“Ini kakak kamu?” tanya Vincent to the point.

Stela kembali menyikut lengan kakaknya sambil menggerakkan bibir, meminta Garry memperkenalkan diri.

“Eh. Perkenalkan saya Garry Zayn, kakak Stela.” Gary menggerakkan jari telunjuk ke arah dirinya dan Stela bergantian. “Kakak adik kandung.”

Dia mengulurkan tangan.

“Vincent Oliver.” Pria itu menyambut uluran tangan Garry.

“Kebetulan kakak saya mau balik ke kantor lagi, Pak. Jadi buru-buru.” Stela ingin Garry segera pergi sebelum sempat mengingat wajah Vincent. Bisa bahaya jika dia ke sini lagi dan tahu pria itu tidak ingat dengannya.

“Permisi, Pak.” Stela menunduk sedikit, kemudian mendorong Garry meninggalkan Vincent di depan kamar.

Kedua kakak-adik itu segera turun ke lantai bawah.

“Itu orangnya?”

“Hmmm,” gumam Stela.

Langkah Garry terhenti. Mata besarnya menatap usil pada adiknya.

“Bakalan cinlok (Cinta Lokasi) nih kayaknya.”

“Apaan sih? Sana balik. Nanti dipecat beneran loh.” Stela mendorong kakaknya ke luar.

“Ganteng kayak gitu. Yakin gak naksir nanti?”

Bola mata Stela berputar lagi. “Udah balik sana.”

“Iya, iya. Bawel! Jaga diri,” pungkas Garry sebelum meninggalkan kediaman keluarga Oliver.

Stela mengembuskan napas lega, setelah melihat kakaknya menghilang di balik pagar tinggi yang mengelilingi rumah mewah itu. Seketika dia ingat dengan diari yang diberikan oleh Candra tadi siang. Kakinya melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.

Saat melewati kamar Vincent, pandangannya melihat sekilas ke arah pintu kamar yang tertutup. Stela terus melangkah ke kamar dan menutup pintu.

Dia segera membuka kotak berwarna cokelat itu. Begitu gembok kecil dilepas, Stela membuka penutup kotak. Terlihat sebuah buku berukuran kecil tapi tebal di dalam. Gadis itu mengeluarkan buku diari berwarna merah muda.

Saat membuka halaman pertama, tertulis sebuah nama Kirania Pratista.

“Kirania Pratista? Nama yang indah,” bisik Stela tersenyum.

Pandangannya beralih ke arah foto yang ada di dalam kotak itu, kemudian mengambilnya. Terlihat seorang wanita muda, berumur 26 tahun, seusia dengan Stela. Rambut hitam panjang terurai. Mata hitam, sedikit sayu, tapi terlihat cerdas dari cara ia menatap.

Sebagai seorang psikiater, Stela bisa melihat Kirania adalah seorang wanita yang cerdas dan terpelajar.

Tangan Stela memindahkan foto yang ada di bagian atas ke bagian paling bawah. Dia melihat sebuah foto lain, kali ini Kirania bersama dengan Vincent. Keduanya terlihat saling bergandengan mesra. Terpancar rona bahagia di kedua wajah mereka. Kirania tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi yang memanjang di bagian tengah, seperti gigi kelinci.

“Cantik, smart dan sederhana. Pantas saja Pak Vincent jatuh cinta.”

Stela kembali meletakkan foto-foto itu di dalam kotak. Pandangannya fokus melihat diari yang kini berada di tangannya.

Mata cokelat terang itu bergerak membaca lembar demi lembar diari bertulisan tangan Kirania. Tulisan yang begitu rapi, membuat Stela tidak lelah membaca cerita yang dituliskan.

Gadis itu menyandarkan tubuh di kasur, setelah membaca hampir setengah dari diari itu. Dia menggigit ujung kuku saat menyadari tidak ada petunjuk yang bisa didapatkan dari sana.

Bersambung....

Bab terkait

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 7: Percakapan Saat Lari Pagi

    Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 8: Belajar Menjadi Seorang Sekretaris

    Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 9: Dari Itik Menjadi Angsa

    Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 10: D1 Being A Secretary

    “Pak Vincent udah di bawah?” tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.Candra diam, masih menatap takjub Stela.“Candra?” Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.“Woi!!” Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.“Eh?”“Pak Vincent mana?”“Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah.” Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.“Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!” Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.“Ini cewek tenaga kuat banget, ya?” Candra bersuara mendelik pada Stela.Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kep

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 11: Mengenal Vincent Oliver

    Mata cokelat terang Stela membulat ketika mendengarkan ucapan Vincent. Dia menatap tanpa berkedip, berharap salah dengar.“Sini kaki kamu,” ucap Vincent mengulang kalimatnya.Pria itu segera mengambil kaki Stela, membuka sepatu dan meletakkannya di atas paha.“B-biar saya aja, Pak.” Stela menarik kaki, namun tangan Vincent terlalu kuat memegang kakinya.“Saya saja. Kamu terkilir karena mengikuti saya. Seharusnya bisa kasih tahu saya, jika berjalan terlalu cepat.” Vincent mulai mengoleskan krim pereda nyeri di pergelangan kaki Stela.“Tapi, Pak. Saya ini kan sekarang bawahan Bapak. Masa—” kalimat Stela berhenti saat Vincent melihat ke arahnya dengan tatapan protes.Stela merasakan jantungnya mulai bergemuruh lagi ketika pandangan mereka bertemu.“Dokter yang menyamar menjadi sekretaris, Stela. Kamu bukan bawahan, tapi dokter saya. Kamu mengobati saya dan saya mengobati kaki ka

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 12: Berteman

    Beberapa hari bekerja sebagai sekretaris palsu CEO, Stela mulai merasa bosan, meski Vincent memberikan akses bebas untuknya bermain game, menonton film atau melakukan hal lainnya, selama tidak mengganggu konsentrasinya ketika bekerja. Dia rindu bekerja di rumah sakit melayani pasien-pasien dengan segala keluhan tentang kejiwaan yang mereka rasakan.Sabtu pagi setelah membersihkan diri, Vincent mengajaknya duduk di taman belakang sambil bermain COD.“Mau main mode apa? Battle Royale?”“Boleh. Berdua aja?”“Lihat dulu ada berapa orang teman clan yang online. Kalau nggak ya random by system. Mati konyol kita nanti kalau ketembak dua-duanya.” Vincent tertawa singkat dengan pandangan mulai fokus ke layar ipad.Bagai dapat durian runtuh, pria itu membelikan Stela sebuah ipad khusus untuk bermain game agar tidak bosan selama berada di kantor. Harganya? Jangan ditanya lagi.“Kamu n

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 13: Bukan Sedang Berkencan

    Stela berdiri di depan cermin. Beberapa kali dia mengganti pakaian yang dikenakan. Pergi bersama dengan seorang pengusaha tampan seperti Vincent membuat rasa percaya diri menciut seketika. Mau tidak mau, dia harus juga memperhatikan penampilan, agar tidak membuat malu nantinya.“Bodo amat. Kita ‘kan cuma temenan,” gumam Stela setelah melihat baju kaus, kemeja dan celana jeans yang berjejer di atas kasur.Tangannya bergerak mengambil baju kaus lengan panjang berwarna pink lembut dan celana jeans berwarna navy blue. Rambut dibiarkan terurai begitu saja menutupi tengkuk, karena malam segera menjelang. Lagi pula mereka akan menonton film malam ini dan tentu bioskop akan terasa dingin.Setelah mengoles lipstik berwarna pink juga, Stela segera meraih tas kecil yang selama ini menemaninya saat pergi selain ke rumah sakit. Dia bersiap untuk ke luar kamar, sebelum lagu Rolling in The Deep kembali mengalun di ponsel.“A

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 14: Berbagi Cerita Ringan

    Raut puas tergambar di wajah Stela saat keluar dari studio bioskop. Dia benar-benar menikmati film A Long With The Gods meski sempat terganggu, karena merasakan debaran saat pandangannya bertemu dengan Vincent tadi.“Mau ke mana lagi?” tanya Stela.“Makan yuk! Lapar,” ajak Vincent.“Oke.”“Kamu mau makan apa?”“Apa aja. Lo lupa kalau gue ini makan apa aja asal halal?!”Bibir Vincent mengerucut. “Kamu tahu, ‘kan? Nggak semua video dan voice recording yang saya lihat ulang.”“Sorry, gue lupa.” Stela memukul pelan kepalanya merasa bersalah.“Lo suka makan Udon, nggak?”Vincent mengangguk pelan. “Kamu mau makan itu?”“Gue sama Uda Garry sering makan di Marugame Udon habis nonton.”Stela melangkah cepat ke arah eskalator.“Wait!” ujar Vincent menghampi

Bab terbaru

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 59: Always Be Mine

    Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 58: Be With You

    Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 57: Cinta yang Tak Pernah Padam

    Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 56: Wanita yang Selalu Menghiasi Pikiran

    Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 55: Berjumpa Kembali

    Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 54: Anugerah di Balik Ujian

    Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 53: Sesuatu yang Hilang

    Flashback OffSatu minggu kemudianSepasang mata elang tampak mengerjap pelan saat matahari merambat melalui celah tirai kamar berukuran besar. Vincent menaikkan tangan kanan menghalangi sinar mentari yang menyapa wajahnya. Dia meregangkan tubuh, sebelum beranjak ke posisi duduk.Desahan pelan keluar dari sela bibir, karena selama satu minggu ini hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan berarti. Hari ini dia telah memutuskan untuk membuka kembali file investigasi tentang siapa Bastian sebenarnya. Setelah hal itu terkuak, maka akan mudah baginya menyeret pria itu ke penjara dengan kasus pembunuhan Kirania.Tidak ada kesedihan sedikitpun terpancar di wajahnya saat ini. Pengkhianatan wanita itu telah memangkas habis rasa cinta yang pernah tertanam di dalam dirinya. Meski begitu, kejahatan yang dilakukan oleh Bastian harus mendapat balasan.Vincent mengambil ponsel dari atas nakas, kemudian menghubungi Candra.“Halo, C

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 52: Peristiwa yang Terlupakan

    Flashback ONSeorang pria tampak berdiri di depan flat apartemen. Sebuah senyuman terukir di wajahnya menanti pintu dibuka dari dalam. Tak perlu menunggu lama, pintu itupun tersingkap.Mata elangnya segera menangkap sesosok wanita cantik berwajah mungil dengan mata hitam pekat kecil. Sepasang gigi berukuran besar dan panjang di bagian tengah terlihat saat senyuman terulas di paras cantiknya. Sesaat kemudian wanita berambut panjang tergerai indah itu berkacak pinggang.“Udah dibilang jangan datang, masih datang juga,” protesnya tanpa diiringi raut wajah kesal. Wanita itu malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Habis rindu, nggak tahan ingin bertemu dengan calon istri,” goda Vincent sambil melangkah memasuki flat.“Besok masih bisa ketemu, Pin-pin. Bandel banget dibilangin.” Wanita bernama Kirania itu melangkah menuju ruang tamu. “Lagian pamali ketemu di malam pernika

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 51: Sepenggal Kenangan yang Hilang

    Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.“Vin? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.“Kamu siapa?” Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.“Aku Stela, istri kamu,” jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.“Ist

DMCA.com Protection Status