Stela menggenggam erat kedua daun tangannya yang saling bertautan di atas paha. Dia mencoba mencerna perkataan dari Widya.
“Kalau gitu gampang, kamu bisa menikah dengan Vincent.” Kalimat itu berputar di memory-nya berulang-ulang.
Widya masih mengamati reaksi dari Stela. Wanita paruh baya itu membiarkannya berpikir beberapa saat. Tahu bahwa Stela pasti shock dengan perkataannya.
“Kenapa harus menikah? Saya hanya ingin membawa Pak Vincent liburan ke London saja, Bu.” Stela bersuara setelah diam beberapa menit.
Widya tersenyum penuh kelembutan. Dia masih memandang wajah Stela yang menunduk.
“Dengar, Stela. Kamu harus mengawasi Vincent selama 24 jam. Tidak mungkin kalian tidur terpisah karena kondisi Vincent yang butuh seseorang untuk mengingatkan di mana ia berada nanti.” Widya menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
“Kamu tidak mau tidur dengan yang bukan mahram, bukan
Stela meregangkan tubuh di kasur, setelah akhirnya bisa memejamkan mata selama tiga jam. Sejak tadi malam, ia masih memikirkan perkataan Widya tentang pernikahan dengan Vincent. Jika sudah dikaitkan dengan kontrak, tentu sulit baginya untuk menolak.Gadis itu menarik selimut lagi menutupi seluruh tubuh dengan mata terpejam. Bibirnya bergerak-gerak tidak jelas, entah sedang mengatakan apa. Barangkali kalimat-kalimat umpatan atas ketidak berdayaannya.“Gue harus ngomong lagi sama Bu Widya pagi ini. Vincent juga belum tentu setuju dengan perjodohan ini, ‘kan?” gumamnya setelah mengubah posisi menjadi duduk, sehingga selimut turun.Tak lama kemudian, Stela menghempaskan lagi tubuhnya di kasur sambil meronta ketika ingat Vincent pasti tidak akan menolak perjodohan ini. Dia tahu persis pria itu mencintainya, meski saat ini bersikap dingin.Setidaknya itulah yang diamati selama ini. Meski Vincent tidak ingat dengan kejadian-kejadian sebelumnya,
“Mama saya sahabat Ibu?” tanya Stela lirih.Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana bisa seorang wanita kaya raya berteman dengan orang biasa seperti ibunya?“Maaf tidak mengatakannya saat kita bertemu pertama kali, Stela.” Widya menatap Stela penuh kelembutan. “Ada beberapa hal yang ingin saya pastikan terlebih dahulu, sebelum mengungkapkan yang sebenarnya.Stela memilih diam dan menunggu Widya menceritakan semuanya.“Saya dan Sherly, Mama kamu, bersahabat dari SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dia satu-satunya sahabat yang selalu ada untuk saya.” Senyuman terukir di wajah Widya saat mengenang kebersamaan dengan Sherly, Ibu Stela.“Dulu kami pernah berjanji. Jika dia memiliki anak laki-laki dan saya memiliki anak perempuan atau sebaliknya, kami ingin menjodohkan mereka.”Gadis itu masih menegakkan radar agar bisa menangkap apa yang disiarkan oleh Widya dengan baik.&ld
“Hah?” Stela meletakkan telapak tangan di dada kiri, merasakan jantung yang semakin berdebar kencang.“Kenapa? Kamu nggak mau?”“Bukan gitu, Pak. Saya—”Dengan cepat Vincent menarik tengkuk Stela, lalu memagut bibirnya lama. Gadis itu berusaha melepaskannya, tapi tidak bisa. Vincent masih melabuhkan belaian bibirnya dengan memberi isapan dan lumatan. Bersyukur tirai ruangan itu tertutup sejak tadi, sehingga tidak ada yang bisa melihatnya dari luar.“Apa itu nggak berarti bagi kamu, Stela?” tanya Vincent setelah tautan bibir mereka terlepas.Mata cokelat lebar Stela perlahan terbuka.“Sampai kapan kamu menghindar? Sudah cukup main-mainnya, Stela. Saya nggak ingin kamu menjauh dari saya lagi.”Kening Stela berkerut mendengar perkataan Vincent.“Kamu menjaga jarak dengan saya karena ingin bersikap profesional, ‘kan?” Vincent menatap lekat Stela.
Sakit kepala yang dirasakan Vincent kini terasa berkurang setelah minum obat pereda nyeri. Dia tidak mau mengkonsumsi obat penenang yang diberikan oleh Stela, karena bisa saja membuatnya tidur dan lupa dengan apa yang dilaluinya sejak pagi hingga sekarang.“Kita pulang sekarang ya?” bujuk Stela saat mereka duduk di kursi yang ada di dalam toko perhiasan.Vincent menggelengkan kepala. “Saya udah nggak apa-apa, Stela. Kita harus membeli cincinnya sekarang.”Gadis itu menarik napas panjang saat tidak berhasil membujuk Vincent pulang.“Ya udah, habis ini kita pulang. Kencan masih bisa weekend nanti. Kamu harus istirahat.”Vincent tersenyum sambil memandangi Stela, kemudian mengangguk.“Udah kuat berdiri?”Vincent mengangguk lagi. Stela mengulurkan tangan menyambut pria itu berdiri. Mereka berdua kembali bergerak ke tempat cincin yang tadi dilihat.“Tolong ambilkan yang
“Kamu kenapa?” tanya Vincent waktu menyadari perubahan raut wajah Stela.“Heuh? Nggak kenapa-napa,” jawab Stela berbohong.Vincent menyeka poni Stela dan menggerakkan ujung dagu ke depan. “Kayaknya ada sesuatu di pikiran kamu. Lagi mikirin pernikahan?”Stela menggelengkan kepala, lantas tersenyum singkat.“Apa sih yang bikin kamu jatuh cinta sama aku? Aku ini nggak cantik loh.” Pertanyaan yang selama ini hinggap di benak Stela akhirnya dimuntahkan juga.“Siapa bilang kamu nggak cantik?” Vincent tersenyum ringan, membuat perut Stela terasa diaduk-aduk lagi.“Nggak harus ada alasan untuk jatuh cinta sama seseorang, ‘kan? Ini masalah perasaan, Stela. Perasaan saya mengatakan, kamulah orang yang tepat menjadi calon istri saya,” jelasnya.“Gimana kalau perasaan kamu salah? Maksudnya bukan aku yang sebenarnya kamu cintai.”Kening Vincent berkeru
Stela duduk memandang dirinya di depan cermin. Wajahnya sedang dirias oleh Rizmanto alias Rizma, banci yang pernah make over dirinya pada hari pertama menjadi sekretaris gadungan Vincent. Dua jam lagi, dia resmi menjadi istri dari CEO stasiun TV berita nomor satu di Indonesia.“Yey beruntung bisa nikah sama Pak Vincent,” ujar Rizma sembari menyapukan eyeshadow di mata Stela.Stela hanya tersenyum menanggapi perkataan Rizma.“Akika turut bahagia, akhirnya dese bisa menemukan cinta sejati.” Rizma berhenti sejenak sebelum mengaplikasikan blush-on.“Yey diet ya? Ini pipi sekarang lebih tirus dari beberapa bulan lalu,” kata Rizma mematut wajah Stela.“Iya. Bahaya juga kalau nggak diet, bisa nggak muat nih kebaya,” balas Stela dengan pandangan masih lurus ke cermin.“Bener tuh. Makannya ‘kan banyak. Kalau nggak diet, bisa para
Stela duduk memandang dirinya di cermin. Saat ini dia berada di kamar hotel, tempatnya tidur selama satu minggu belakangan. Vincent masih berada di lobi hotel, menunggu Candra mengantarkan pakaiannya.Stela dan Vincent akan berbulan madu singkat terlebih dahulu di hotel, sebelum terbang ke London. Pada akhirnya Stela memutuskan untuk mengajak suaminya ke Green Park agar bisa melakukan terapi.“Gue beneran udah nikah sama Vincent?” gumam Stela pada diri sendiri.“Ini lagi nggak mimpi, ‘kan?” Seperti biasa dia mencubit diri sendiri, memastikan ini bukan mimpi.Dia ingat bagaimana gentle-nya Vincent saat mengucapkan kalimat kabul ketika akad nikah. Pria itu sama sekali tidak melakukan kesalahan. Kalimat yang diucapkan fasih dan lugas.“Aduh,” lirih Stela saat tubuhnya kembali menghadirkan rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Gila, sekarang first night gue. Perut gue jad
Vincent kembali memagut bibir Stela dalam waktu yang lama. Tangannya kini mulai bergerak melepaskan kancing piyama yang dikenakan gadis itu satu per satu. Tidak sampai dua menit, bagian atas piyama terlepas dari tubuhnya.Perlahan kepala mereka mulai berjarak saat Vincent memundurkan kepalanya ke belakang. Mata elang pria itu memandangi tubuh atas istrinya yang hanya tertutup di bagian sensitif. Senyuman terukir di bibir pria itu saat melihat kulit Stela yang putih, juga bahunya yang indah.Stela masih memejamkan mata tidak berani memandang suaminya. Napas masih memburu karena aktivitas adu mulut barusan.“Buka matamu, Stela,” pinta Vincent dengan lembut tapi masih menyisakan kejantanan dari perkataannya.“Heuh?” Mata Stela mulai mengerjap dan terbuka lebar.“Kita ini udah suami istri, Stela. Kenapa kamu malu?” Vincent tersenyum lembut kepada istrinya.“Ma-maaf, aku gugup banget,” aku Stela ter
Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy
Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S
Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger
Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening
Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq
Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi
Flashback OffSatu minggu kemudianSepasang mata elang tampak mengerjap pelan saat matahari merambat melalui celah tirai kamar berukuran besar. Vincent menaikkan tangan kanan menghalangi sinar mentari yang menyapa wajahnya. Dia meregangkan tubuh, sebelum beranjak ke posisi duduk.Desahan pelan keluar dari sela bibir, karena selama satu minggu ini hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan berarti. Hari ini dia telah memutuskan untuk membuka kembali file investigasi tentang siapa Bastian sebenarnya. Setelah hal itu terkuak, maka akan mudah baginya menyeret pria itu ke penjara dengan kasus pembunuhan Kirania.Tidak ada kesedihan sedikitpun terpancar di wajahnya saat ini. Pengkhianatan wanita itu telah memangkas habis rasa cinta yang pernah tertanam di dalam dirinya. Meski begitu, kejahatan yang dilakukan oleh Bastian harus mendapat balasan.Vincent mengambil ponsel dari atas nakas, kemudian menghubungi Candra.“Halo, C
Flashback ONSeorang pria tampak berdiri di depan flat apartemen. Sebuah senyuman terukir di wajahnya menanti pintu dibuka dari dalam. Tak perlu menunggu lama, pintu itupun tersingkap.Mata elangnya segera menangkap sesosok wanita cantik berwajah mungil dengan mata hitam pekat kecil. Sepasang gigi berukuran besar dan panjang di bagian tengah terlihat saat senyuman terulas di paras cantiknya. Sesaat kemudian wanita berambut panjang tergerai indah itu berkacak pinggang.“Udah dibilang jangan datang, masih datang juga,” protesnya tanpa diiringi raut wajah kesal. Wanita itu malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Habis rindu, nggak tahan ingin bertemu dengan calon istri,” goda Vincent sambil melangkah memasuki flat.“Besok masih bisa ketemu, Pin-pin. Bandel banget dibilangin.” Wanita bernama Kirania itu melangkah menuju ruang tamu. “Lagian pamali ketemu di malam pernika
Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.“Vin? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.“Kamu siapa?” Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.“Aku Stela, istri kamu,” jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.“Ist