Seorang psikiater muda sedang duduk di sebuah ruangan konsultasi rumah sakit Pondok Mekar Jakarta. Dia sedang melayani pemeriksaan pasien yang membutuhkan penanganan masalah kejiwaan.
“Ini resep yang harus Anda minum untuk mengurangi halusinasi yang dialami, Bu.” Psikiater itu menyerahkan satu lembar resep untuk mengobati Skizofrenia yang diderita oleh pasien tersebut.
“Terima kasih, Dokter,” ucap pasien itu sebelum meninggalkan ruangan.
“Sama-sama, Bu.” Dia berdiri sambil tersenyum singkat.
Setelah pasien meninggalkan ruangan, dia mengembuskan napas lega. Psikiater berambut pendek itu menghempaskan tubuh di kursi kerja, lalu menyandarkan punggung.
“Pasien terakhir, ‘kan?” tanya Psikiater itu kepada perawat yang membantunya.
Perawat menganggukkan kepala dan menaikkan alisnya. “Anda benar Dokter Auristela Indira.”
Auristela menyipitkan mata, mengambil tissue dan meremasnya lalu dilemparkan ke arah perawat itu. “Sok-sok formal, gue getok kepala lo.”
“Ih, Dokter serem amat.” Perawat bernama Santi pura-pura bergidik.
“Emang udah serem dari dulu, ‘kan? Baru nyadar?” balas Stela mendelik dengan mata cokelat terangnya.
Stela berdiri sambil membentangkan tangan, lalu menggerakkan tubuh ke kiri dan kanan.
“Pegel?” tebak Santi.
“Ho-oh. Gimana nggak pegel? Pasien banyak banget dari tadi.” Stela memutar bola mata.
Di zaman sekarang ini, semakin banyak orang-orang yang memerlukan ‘sentuhan tangan’ dari psikiater. Entah hanya sekedar ingin ‘curhat’ berbayar atau memang mengalami masalah dengan kejiwaan mereka.
“Duitnya juga kenceng, ‘kan?” cibir Santi.
Stela tersenyum lebar, sehingga bibir tipisnya semakin menipis.
Kriing!
Telepon di ruangannya berdering.
“Halo, Auristela di sini,” sapa Stela setelah mengangkat telepon.
“Bisa ke ruangan saya sebentar?” balas suara serak dan berat di ujung telepon.
“Sekarang, Dok?” ujar Stela sambil menggulung tali telepon dengan jari telunjuk.
“Tahun depan, Dokter Stela. Ya sekarang dong!”
Stela nyengir kuda memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi, membuat pipi chubby-nya semakin melebar.
“Segera ke sana, Dok.” Dia meletakkan gagang telepon, lalu bersiap menemui kepala psikiatri.
“Gue tinggal bentar ya? Mau ketemu Dokter Adam dulu.”
“Ngapain?” Santi tampak penasaran. Tidak biasanya kepala psikiatri itu meminta Stela datang keruangan, kecuali untuk hal-hal yang urgent.
Stela mengangkat bahu dan melengkungkan bibir ke bawah. “Nggak tahu.”
Gadis itu melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruangan. Dia bergegas ke ruangan kepala psikiatri yang terletak di ujung koridor lantai yang sama.
Tap-tap
Langkah kakinya terus bergerak ke ujung koridor, kemudian berhenti tepat di depan pintu berwarna hitam. Stela mengatur napas yang menjadi sedikit sesak setelah berjalan cepat barusan.
Tok-tok
Dia mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan tersebut.
“Masuk.” Terdengar suara yang sama dengan di telepon tadi, serak dan berat.
Ceklek!
“Siang menjelang sore, Dok,” sapanya setelah membuka pintu.
Gadis itu kemudian melangkah pelan dengan menyimpan pertanyaan di pikiran. Lebih tepatnya penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Dokter Adam. Kedua tangannya menyatu saling bergenggaman di depan tubuh saat berdiri di depan kepala psikiatri.
Dokter Adam menoleh ke arah Stela, lalu mengulurkan tangan mempersilakan gadis itu duduk di kursi yang ada di depan. Pria berkepala plontos itu memandanginya dengan saksama. Mata hitam pekat milik Dokter Adam mematut lama dirinya, melihat dari atas ke bawah hingga kembali lagi ke atas.
Stela duduk dengan pelan di kursi yang terasa empuk dan nyaman. Dia menatap bingung dengan kening berkerut. Gadis itu menyipitkan mata, lalu memajukan sedikit wajah ke depan dengan kedua alis terangkat ke atas.
“Ada yang aneh dengan saya, Dok?” cicit Stela sambil menyatukan kedua ujung jari telunjuk di depan wajahnya.
Dokter Adam menggelengkan kepala, lantas melepaskan kacamata yang bertengger di hidung. “Kamu sudah berapa lama kerja di sini?”
“Satu tahun, Dok. Masih baru.” Stela menyengir aneh, lagi-lagi memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi. Tampak sebuah lubang kecil memanjang di pipinya.
Dokter mengambil sebuah berkas dari dalam laci. Dalam hitungan detik, berkas tersebut sudah berada di atas meja. Dia menggesernya tepat ke depan Stela.
“Minggu depan kamu tidak perlu lagi datang ke rumah sakit!” seru Dokter Adam setelah menyerahkan berkas tersebut.
Deg!
Mata bulat Stela membesar seketika. Lubang hidungnya terlihat kembang kempis merespon rasa terkejut. Kedua tangan meremas ujung jas putih yang dikenakannya.
“Sa-saya dipecat, Dok?” gagap Stela dengan pandangan tidak tenang, napas keluar tak beraturan dari hidung dan mulut secara bersamaan.
“Baca dulu, baru komentar,” ucap Dokter Adam menaikkan sedikit kepala ke atas dengan pandangan ke arah berkas tersebut.
Tangan Stela gemetar ketika meraih berkas yang diletakkan oleh Dokter Adam di atas meja. Dia membuka berkas itu dengan cepat. Terlihat data pasien di dalamnya. Matanya bergerak membaca data itu secara urut dari atas ke bawah.
Pandangannya kembali naik melihat ke arah Dokter Adam, setelah membaca data yang diberikan. Stela kembali menunjukkan tatapan bingung. Keningnya berkerut dengan kedua alis nyaris beradu.
“Sumpah, Dokter. Saya nggak ngerti.” Stela menggeleng lesu sambil melengkungkan bibir ke bawah.
Dokter Adam mengembuskan napas keras, bibirnya mengerucut dengan tangan mengusap keras dagu. Dia tak habis pikir ada psikiater seperti Stela yang tidak bisa menganalisa maksud perkataannya. Pria paruh baya itu menumpukan kedua tangan di atas meja, kembali melihat lekat psikiater muda yang duduk di depannya.
“Kamu akan dibebastugaskan dari rumah sakit.”
“Tuh ‘kan bener, saya dipecat,” ujar Stela lesu dengan tatapan sendu. Bibirnya memberikan gerakan kecil. Dagunya mulai bergetar seakan ingin menangis.
“Dokter Stela. Dengarkan dulu perkataan saya. Ini belum selesai bicara loh!” tegas Dokter Adam dengan memberikan tekanan di ujung kalimat.
Stela mengusap wajah, menyelipkan rambut di belakang telinga, lalu memfokuskan pikiran dan mendengarkan apa yang akan dikatakan kepala psikiatri itu.
“Saya akan mendengarkannya, Dok.”
“Kamu dibebastugaskan dari pekerjaan di rumah sakit dan diberikan tugas baru.”
Stela membuka sedikit mulutnya. Embusan napas lega meluncur begitu saja setelah mendengarkan kalimat terakhir Dokter Adam.
“Tugas baru kamu sekarang adalah menjadi psikiater pribadi pasien itu.” Dokter Adam mengarahkan telunjuk ke berkas yang ada di tangan Stela.
Perlahan mata bulat Stela kembali melebar, dagunya seakan jatuh ke bawah sehingga bibirnya membulat.
“Jadi psikiater pribadi penderita Anterograde Amnesia, Dok?” Stela memastikan setelah menelan saliva.
“Pintar. Akhirnya kamu ngerti juga maksud saya. Tidak hanya menderita Anterograde Amnesia, dia juga mengalami trauma karena sebuah kejadian tragis.”
“Why me?” keluh Stela dengan kepala miring lesu ke kanan.
“Tidak suka?”
Stela kembali menegakkan kepala dan menggeleng dengan cepat. “Maksud saya. Kenapa bukan yang sudah berpengalaman aja, Dokter? Menangani pasien Anterograde Amnesia butuh keterampilan psikiater senior.”
“Kamu ingin saya menugaskan Dokter Herman atau Dokter Ridwan? Energi mereka tidak cukup menangani pasien yang menderita Anterograde Amnesia, Stela. Di rumah sakit ini hanya ada tiga psikiater, kamu yang paling muda.” Dokter Adam mengarahkan telunjuk ke wajah Stela.
Dokter Adam kembali memasang kacamata, kemudian membaca daftar riwayat hidup Stela.
“Selain itu kamu juga memiliki kemampuan analisa saraf otak yang sangat baik. Kamu juga bisa berkonsultasi dengan spesialis saraf yang menanganinya. Dan … keluarga Oliver meminta seorang psikiater yang memiliki kemampuan bela diri. Taekwondo sabuk hitam. Kamu memenuhi semua persyaratannya,” papar Dokter Adam dengan menaikkan sebelah alis.
“Tapi Dokter ....” Stela memberikan tatapan memelas, berharap Dokter Adam berubah pikiran.
Dokter Adam menurunkan kacamata ke ujung hidung. “Kamu mau benar-benar dipecat? Ini bukan hanya keputusan saya, Stela. Tapi pihak manajemen. Pasien itu bukan orang sembarangan. Beliau seorang pengusaha di bidang pertelevisian. Kamu ingin rumah sakit kita diberitakan karena menolak pasien VIP?”
Stela menggelengkan kepala dengan cepat. “Harus banget ya, Dok?”
“Ya Allah, Stela!” Dokter Adam terlihat geram. Giginya beradu dengan rahang mengeras. Mata hitam itu membesar.
Stela menunduk lesu dengan kepala sedikit miring ke kanan. Sudah tidak ada lagi pilihan selain menerima tawaran tersebut. Tidak! Lebih tepatnya ini bukanlah tawaran, tapi perintah. Jika berani melawan atau menentang, bersiaplah untuk ditendang dari rumah sakit.
Stela tidak boleh kehilangan pekerjaan, jika tidak Ayahnya akan menyuruh gadis itu pulang ke kampung halaman di Bukittinggi. Bukan hanya itu, dia juga harus membantu sang Ayah melunasi pinjaman untuk biaya kuliah spesialisnya.
“Nggak dikasih waktu buat berpikir dulu, Dok?” Stela menatap penuh harap dengan kedua tangan menyatu di depan dada.
“Ini bukan tawaran, Stela, tapi perintah! Kamu harus melakukannya, jika tidak ....” Dokter Adam menaikkan sebelah alis ke atas, lalu mengarahkan jari telunjuk bawah dagu seakan menggorok leher sendiri.
Stela menundukkan kepala lemas. Ujung dagu nyaris beradu dengan dada bagian atas, membuat leher yang tidak terlalu tinggi itu semakin menghilang. Rambut pendek sebahu turun menutupi wajahnya.
“Besok kamu harus pergi ke rumah keluarga Oliver. Alamatnya ada di sana. Akan ada surat perjanjian yang harus ditandatangani sebelum mulai bekerja.” Dokter Adam menambahkan, setelah tidak melihat tanda penolakan lagi di wajah Stela.
“Siapa yang akan gantikan Saya nanti, Dok? ‘Kan tinggal dua tuh dokter spesialis jiwa.” Stela mengangkat kepalanya pelan, masih berusaha mencari celah agar bisa memberikan alasan untuk menolak tawaran tersebut.
Dokter Adam memundurkan tubuh bersandar di kursi, lalu memangku tangan.
“Sudah ada dokter tambahan dari Puri Mekar. Kamu tidak perlu khawatir.” Dokter Adam tersenyum tipis, karena bisa mementahkan alasan Stela.
“Jangan lupa datang pukul 08.00 WIB ke rumah keluarga Oliver. Selamat bekerja, Dokter Stela,” pungkas Dokter Adam menahan senyuman.
Stela mengambil berkas dari atas meja, kemudian berdiri. Dia membungkukkan sedikit tubuh dengan tangan kanan memegang data pasien bernama Vincent Oliver. Gadis itu meninggalkan ruangan Kepala Psikiatri dengan langkah gontai.
Auristela terlihat memejamkan mata dengan wajah mengerucut sambil merengek ketika berada di luar ruangan. Dia menempelkan kening dengan pelan ke dinding, memundurkan lalu menempelkannya lagi berkali-kali. Tak hanya itu, ia menggerutu tidak jelas.
Puas melepaskan rasa kesal, Stela segera merapikan rambut, mengangkat dagu dan menegapkan tubuh. Dia kembali berjalan ke ruangan praktik seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah berada di ruangan, wajahnya kembali mengerucut. Stela merengek pelan sambil menghentakkan kaki. Napasnya terdengar tidak beraturan.
“Itu wajah kenapa, Stela?” tanya Santi bingung melihat perubahan wajah Stela, setelah kembali dari ruangan Dokter Adam.
Stela melempar berkas yang diberikan Dokter Adam ke atas meja.
Kening Santi berkerut tak paham. Dia mengambil berkas itu dan membacanya. Mata bulatnya melebar saat melihat foto Vincent.
“Ya ampun Tuhan. Ganteng banget!” serunya dengan wajah berbinar.
Stela mendengkus kesal. “Baca riwayat penyakitnya, Santi! Bukan fotonya.”
Netra Santi sekarang menyipit ketika membaca daftar riwayat kesehatan Vincent Oliver.
“Anterograde Amnesia?” Santi mengedipkan mata berkali-kali dengan bibir membulat.
“Bingo! Dan gue dibebastugaskan dari rumah sakit, beralih menjadi psikiater pribadinya.” Stela merengek lagi setelah menyelesaikan kalimatnya.
“Coba lo bayangin gimana susahnya menangani pasien yang ingatannya hanya bertahan satu hari. Gue bakal jadi diari buat dia, San.” Stela menghentakkan kaki ke lantai yang tertutup karpet tebal.
“Hancur karir gue. Hancur hidup gue. Huuaa-aa ....” Dia merengek seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh Mamanya.
“Ya paling nggak hidup lo lebih berwarna, bisa lihatin cowok ganteng tiap hari, Stel.”
“Trus?”
“Kali aja dia jodoh lo, ‘kan? Kalian nikah dan punya anak cakep-cakep. Yah, sekalian perbaiki keturunan gitu. Blasteran loh, Stela!”
“Gila lo! Iya kali nikah sama orang yang akan ngelupain gue lagi besoknya?” Bola mata Stela berputar.
Santi tertawa cekikikan melihat ekspresi wajah sahabat dan juga rekan kerjanya itu. Sementara Stela merebahkan kepala di atas meja dengan lesu sambil sesekali meniup rambut. Bagaimana hari-hari yang akan dijalankan setelah beralih profesi menjadi psikiater seorang pria campuran Jawa-Perancis tersebut? Ganteng sih, tapi menderita Anterograde Amnesia.
Bersambung....
Pagi hari pukul 07.30 WIB, Stela telah berdiri di depan pagar rumah keluarga Oliver. Sebuah kediaman mewah berukuran besar. Mata atraktif berwarna cokelat itu tampak melebar saat melihat bangunan berwarna perpaduan peach dan putih tersebut.“Waah, rumahnya gede banget,” cetus Stela takjub saat berdiri di luar pagar.Dia memperhatikan pagar batu yang cukup tinggi. Di bagian atasnya terdapat teralis berbentuk runcing. Berbagai jenis tanaman seperti Kadaka, Pohon Palem hias dan Pucuk Merah tumbuh dengan terawat di luar pagar berwarna senada dengan rumah.Setelah menghela napas panjang, ia memencet bel yang berada di samping pagar berwarna hitam. Tak lama, seorang penjaga membuka pintu kecil di pagar tinggi itu.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria mengenakan pakaian berwarna hitam.“Saya Auristela Indira, psikiater dari rumah sakit Pondok Mekar.” Stela memperlihatkan kartu tanda pengenal dar
Beberapa jam kemudian Stela kembali ke rumah keluarga Oliver bersama dengan Candra, asisten Vincent. Pria bertubuh tinggi itu mengantarkannya ke kamar yang akan ditempati. Kamar yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Vincent.“Ini kamar yang akan Anda tempati, Dokter Stela,” ucap Candra setelah menghentikan langkah di depan kamar.“Makasih ya,” ucap Stela, “nama kamu Candra, ‘kan?”Candra tersenyum singkat sambil menganggukkan kepala. “Maaf tadi belum memperkenalkan diri dengan baik. Nama saya Candra Haidar, asisten pribadi Pak Vincent Oliver.”Stela tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. “Auristela Indira. Pakai bahasa non formal aja. Rasanya aneh ngomong formal sama orang yang hampir seusia.”Gadis itu memperkirakan usia Candra selisih dua tahun di atasnya. Sekitar 28 tahun.Candra menyambut uluran tangan Stela. “Baiklah, Stela. Kalau mau istirahat,
Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polis
Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.“Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.“Lupo, Da (Lupa, Kak).”“Apa yang lupa?”“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”&l
Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”“Kontrak?”Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”“Sebentar. Pasienny
Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil
Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi
Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.
Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy
Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S
Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger
Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening
Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq
Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi
Flashback OffSatu minggu kemudianSepasang mata elang tampak mengerjap pelan saat matahari merambat melalui celah tirai kamar berukuran besar. Vincent menaikkan tangan kanan menghalangi sinar mentari yang menyapa wajahnya. Dia meregangkan tubuh, sebelum beranjak ke posisi duduk.Desahan pelan keluar dari sela bibir, karena selama satu minggu ini hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan berarti. Hari ini dia telah memutuskan untuk membuka kembali file investigasi tentang siapa Bastian sebenarnya. Setelah hal itu terkuak, maka akan mudah baginya menyeret pria itu ke penjara dengan kasus pembunuhan Kirania.Tidak ada kesedihan sedikitpun terpancar di wajahnya saat ini. Pengkhianatan wanita itu telah memangkas habis rasa cinta yang pernah tertanam di dalam dirinya. Meski begitu, kejahatan yang dilakukan oleh Bastian harus mendapat balasan.Vincent mengambil ponsel dari atas nakas, kemudian menghubungi Candra.“Halo, C
Flashback ONSeorang pria tampak berdiri di depan flat apartemen. Sebuah senyuman terukir di wajahnya menanti pintu dibuka dari dalam. Tak perlu menunggu lama, pintu itupun tersingkap.Mata elangnya segera menangkap sesosok wanita cantik berwajah mungil dengan mata hitam pekat kecil. Sepasang gigi berukuran besar dan panjang di bagian tengah terlihat saat senyuman terulas di paras cantiknya. Sesaat kemudian wanita berambut panjang tergerai indah itu berkacak pinggang.“Udah dibilang jangan datang, masih datang juga,” protesnya tanpa diiringi raut wajah kesal. Wanita itu malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Habis rindu, nggak tahan ingin bertemu dengan calon istri,” goda Vincent sambil melangkah memasuki flat.“Besok masih bisa ketemu, Pin-pin. Bandel banget dibilangin.” Wanita bernama Kirania itu melangkah menuju ruang tamu. “Lagian pamali ketemu di malam pernika
Stela meringis kesakitan terjatuh dari tempat tidur. Dia kembali berdiri saat mendengar Vincent meneriakkan nama Kirania. Hatinya terasa tersayat ketika nama itu keluar dari bibir suaminya begitu terbangun setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri.Perawat segera menelepon dokter Donny begitu melihat Vincent sadar.“Vin? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Stela panik saat melihat Vincent mencengkram kepalanya kuat.Dia membelai wajah Vincent sambil menatap netra yang sangat dirindukan. Sesaat Stela tersentak tidak mendapati sorot cinta yang diperlihatkan oleh pria itu kepadanya. Hanya tatapan dingin, seolah tidak mengenal siapa dirinya.“Kamu siapa?” Vincent bertanya setelah menepis tangan Stela yang berada di wajahnya.Pertanyaan itu bagaikan jarum yang menusuk relung hati, terasa perih namun tak terlihat bekasnya.“Aku Stela, istri kamu,” jawab Stela dengan pandangan tidak tenang.“Ist