Devan menatap pria muda yang sedang membuka pintu mobil untuk Raina dan Naya, pemuda itu juga balas menatap Devan tapi tidak lama. Devan mengenalnya. Itu adalah Yoshi Altahir, anak seorang komposer handal di Indonesia. Belakangan, sering mengajak musisi lokal yang handal untuk kolaborasi di Chanel YouTube-nya. Dia juga teman SMA Raina, dulu.
Devan memanggil Raina, wanita itu menoleh pada Devan, tersenyum lalu mengangguk memberi salam dari kejauhan. Akan tetapi tidak lama pula, dia kembali menaiki mobil Yoshi meninggalkan Devan yang mematung.
"Raina, tunggu!" seru Devan penuh harap.
Sementara, Yoshi pura-pura tidak melihat Devan, meskipun Devan sudah mendekat, bahkan menempelkan jidad ke kaca mobil. Dia tetap melaju pelan membuat yang mengintip di kaca tadi secara otomatis memundurkan langkah, sambil mengumpat.
"Agh ... sialan si Yoshi Bang**t! Pasti sengaja giniin gua." Devan ha
Kembali pada Devan ataupun tidak sama saja bagi Raina, sama-sama sakit. Dia tahu setiap malam dirinya tidak tidur dengan baik karena rindu. Namun jika kembali, sama saja menyerahkan diri pada pria yang gagal move on dari mantan. Harus berbesar hati jika Devan tiba-tiba merindu masa lalunya kembali. "Jujur waktu itu, aku bisa mau anterin dia pulang karena lagi galau sama masalah kita. Terlebih, dia juga kenal sama Dhaka, aku diam-diam ingin cari info tentang adikku itu." Raina percaya tak percaya dengan ucapan Devan. Dia hanya menatap dengan lekat pada Devan tanpa menanggapi apa pun. "Tapi, aku gak berani ngapa-ngapain sama Kirana. Justru merasa semua ini hanya pelarian aja. Sumpah! Yang aku butuhkan saat ini adalah ... kamu." Devan frustasi saat melihat reaksi Raina malah memalingkan muka, seolah penjelasan apapun yang keluar dari mulutnya tak berarti apa-apa. "Kirana cerita banyak hal padaku tentang kalian. Selain itu, perkataan Kirana
Devan mengusap puncak kepala Raina saat wajah Raina pucat karena ulah Devan. Raina merasa tak percaya pria itu sudah berhasil menjahili dirinya. "Gak lucu!" ucap Raina saat melihat Devan cekikikan."Sorry! Lagian aku masih punya norma kesopanan, Rain." Devan masih terkekeh melihat wajah merona Raina.Akhirnya ada pembeli, Raina merasa lega karena Devan pasti memilih pergi bermain dengan Zian di taman."Rain, aku minta ijin pinjam Zian, ya!"Silakan aja, tapi jangan jauh-jauh, ya!""Oke."Raina melanjutkan pekerjaannya, hari libur memang malah membuat jumlah pembeli, menjadi bertambah dua kali lipat. Beruntung, ada Devan yang membawa Zian bermain.Raina melihat dari kejauhan, Devan sedang mengajarkan Zian berjalan dan Zian mampu melakukannya sendiri s
Banyak kenangan di rumah ini. Raina pertama kali tinggal di sini dalam keadaan menanggung malu karena hamil. Lebih dari pada itu dia tak bisa pulang ke rumah orang tua angkatnya karena sudah tak diinginkan. Bertemu Devan yang selalu menatap dia dingin, pria itu berbaik hati tapi bukan karena ketulusan. Dalam situasi kebingungan tentang kehidupan, April memberikan uluran tangan dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Raina awalnya ragu dan menganggap April adalah ibu mertua biasa. Tapi rupanya, dia mendapatkan kasih sayang yang tak pernah dirasakannya dulu saat tinggal dengan orang tua angkatnya. Raina mengakhiri lamunan saat mendengar suara April yang mengajak Zian bernyanyi bersama. April terlihat bahagia saat bersama Zian. Maklum, Zian cucu pertama d
Raina bangun dari tidurnya, dia melihat ke samping Devan sudah tak ada di sisinya. Suara shower dari dalam kamar mandi membuat Raina tahu pria itu sedang mandi. Dia duduk di kasur sambil melamun. Dirinya tak percaya semalam sudah menghabiskan malam bersama Devan lagi. Degup jantungnya berdetak tak beraturan. Semua yang dilalui semalam adalah keindahan dan kehangatan.Pintu kamar mandi terbuka, Raina melihat Devan keluar dengan berbalut handuk Devan tersenyum ke arah Raina yang baru bangun dengan rambut masih acak-acakan. Raina berusaha merapikan rambutnya, menyisir dengan jari saat berhadapan dengan Devan."Raina, giliran kamu mandi. Aku tunggu kamu buat Shalat bareng."Raina mengangguk dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia tak mau membuat Devan lama menunggu terlebih sudah sangat lama dirinya tak shalat di-imami oleh Devan.Raina berdiri dibawah guyuran shower. Perasaan luar bi
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat