Pada akhirnya, mereka hanya akan menjadi kisah masa lalu, dengan sisa-sisa kenangan yang tertinggal di sudut kamar. Foto pernikahan mereka tidak berpindah, begitupun baby walker milik Zian yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Semua dibiarkan pada tempatnya, seolah sisa-sisa kenangan itu sebagai teman di malam sunyi yang sepi.
Jam sepuluh malam, pria itu berbaring akan tidur, namun niatnya ditanggalkan. Dia meraih gawai pada nakas menulis pesan pada orang yang baru satu bulan dia lepaskan. Baru satu bulan dan dia ternyata tidak sanggup untuk tidak melihatnya. Devan harus memastikan Raina dalam keadaan baik-baik saja.
"Selamat malam! Raina, gimana kabarmu dan Zian? Gimana juga kabar mamah dan papahmu? Zian di rumah kakek neneknya pasti betah, ya?"
Devan menulis pesan di papan smart phone, hingga beberapa menit dia berdiskusi dengan dirinya sendiri untuk mengirim pesan atau tidak. Dan a
Devan kembali ke tempat itu. Tempat di mana Raina mengajak Zian bermain. Datang ke sana, adalah satu-satunya cara agar Devan mengetahui kabar Raina, karena jika datang langsung ke rumah wanita itu, dia tidak siap untuk bertemu Ayahnya Raina. Mungkin, dia hanya bersedia bertemu dengan ayah mertuanya jika saat sidang perceraian nanti.Devan terlalu percaya diri Raina akan datang setiap akhir pekan, tapi ternyata tidak. Sudah beberapa jam Devan duduk di bangku taman Senopati, dan ternyata Raina tidak ada.Begitu pun minggu berikutnya. Sudah 3 kali setiap minggu Devan ke tempat yang sama, dan Raina masih tidak ada.Saat perjalanan pulang dari taman Senopati yang sia-sia, Devan menoleh ke arah rumah Raina saat mengemudi. Sebenarnya, untuk ke taman Senopati dia akan selalu melewati rumah itu. Namun, tidak ada niat di hati Devan untuk mampir walau sebentar.20 menit kemudian dia tiba d
Rachel menutup pintu dengan kencang, menimbulkan getaran yang lumayan mengganggu pendengaran Devan. Devan ingin mengumpat pada orang yang sudah dengan lancang mengusirnya, tapi yang dia hadapi adalah seorang wanita. Devan menahan diri dari emosi, terlebih Rachel masih ibu mertuanya karena Devan masih belum mengurus perceraian dengan Raina. Devan memutar badan, berjalan lunglai hingga menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Dia bersandar pada mobil, masih enggan menaikinya. Dia masih butuh waktu untuk berpikir, apakah Rachel berbohong atau jujur tentang keberadaan Raina. Lagipula, mau ke mana lagi Raina jika bukan ke rumah orang tuanya. Dan lagi-lagi, Devan merasakan sesak di dadanya. Rasa cemburu mengubur akal sehatnya. Entah keyakinan dari mana, hingga dia bisa berpikir Raina berada di kediaman Dhaka. Pikirannya terbayang-bayang bahwa Raina dalam dekapan pria itu. Devan membuka aplikasi W******p, dia membuka kembali pesan dari Arka. Hampir saja, Deva
Ada satu hal yang membuat Devan dan Dhaka memiliki sifat yang berbeda meskipun mereka adalah kakak beradik. Yaitu, kisah keluarga mereka. Masa lalu Petra sebagai ayah dari kedua anak itu. Petra merasa tertipu, dia salah menikahi seorang wanita, Lusi ternyata seorang wanita penghibur yang diam-diam masih bertemu pria lain di belakangnya. Petra tidak segan membawa anak mereka Dhaka pergi bersamanya. Petra berpikir, bahwa Dhaka lebih baik hidup terpisah dengan ibunya yang memiliki pergaulan bebas. Saat itu Dhaka masih kecil, dia tidak mengerti mengapa Petra meninggalkan Lusi. Dhaka bertanya pada ayahnya, tapi Petra tidak pernah memberi jawaban yang pasti. Jawaban yang tidak bisa memuaskan hati Dhaka. "Ayah, Aka pengen ketemu sama mama." Dhaka mengguncang lengan Petra, merajuk minta keinginannya dipenuhi. Petra yang sedang menatap layar laptop, menunda kegiatannya dia mengelus kepala anaknya yang masih balita. "Nanti kita ketemu mamah mu pas lebaran
Devan pergi ke rumah Raina, tidak lebih hanya untuk mengajaknya pura-pura baikan di hadapan Petra. Akan tetapi ternyata wanita itu tidak ada di rumah orang tuanya. Bahkan di rumah Dhaka sekali pun. Mendadak Devan gelisah. Seharian dia memikirkan Raina. Devan menghempaskan diri di sofa setibanya di rumah. Jemarinya menutupi mata yang sedang terpejam. Pikirannya kacau karena dirinya tidak tahu di mana Raina berada. Dia sudah menghubungi beberapa teman lama Raina, tetapi tidak ada yang tahu. Arka yang saat itu sedang bersama Devan ikut duduk, dia menepuk-nepuk bahu Devan. "Kita nanti cari ke tempat teman Raina yang lain." "Gua gak kenal teman-teman Raina, selain yang tadi kita temui." "Iya, nanti gua ba
Raina menggunakan uang yang diberikan Devan waktu itu untuk memulai bisnis waralaba, membeli satu gerobak ice bland dengan merk yang sudah ditentukan oleh orang yang diajak kerja sama. Raina akhirnya merasakan juga, bekerja sambil membawa balita dalam pelukannya. Mau bagaimana lagi, dia sekarang hidup sendiri. Mungkin kalau orang lain, saat bekerja bisa titip balita pada Nenek dan Kakek anaknya, tapi Raina tidak bisa."Awas, Rain! Hati-hati nanti minumannya netes ke kepala Zian." Naya muncul dari belakang. Menyapa Raina.Raina menoleh. "Ya enggak lah, aku hati-hati, kok.""Ya, syukur, deh. Akhirnya kamu terbiasa juga."Naya berlalu, sambil membawa bahan baku fried chicken, yang akan dia gunakan di stand tempat dia jualan. Sementara, Raina melanjutkan pekerjaannya.Di sebrang tempat Raina jualan, ada seorang pria yang menatap ke arah Raina dari
Devan menatap pria muda yang sedang membuka pintu mobil untuk Raina dan Naya, pemuda itu juga balas menatap Devan tapi tidak lama. Devan mengenalnya. Itu adalah Yoshi Altahir, anak seorang komposer handal di Indonesia. Belakangan, sering mengajak musisi lokal yang handal untuk kolaborasi di Chanel YouTube-nya. Dia juga teman SMA Raina, dulu.Devan memanggil Raina, wanita itu menoleh pada Devan, tersenyum lalu mengangguk memberi salam dari kejauhan. Akan tetapi tidak lama pula, dia kembali menaiki mobil Yoshi meninggalkan Devan yang mematung."Raina, tunggu!" seru Devan penuh harap.Sementara, Yoshi pura-pura tidak melihat Devan, meskipun Devan sudah mendekat, bahkan menempelkan jidad ke kaca mobil. Dia tetap melaju pelan membuat yang mengintip di kaca tadi secara otomatis memundurkan langkah, sambil mengumpat."Agh ... sialan si Yoshi Bang**t! Pasti sengaja giniin gua." Devan ha
Kembali pada Devan ataupun tidak sama saja bagi Raina, sama-sama sakit. Dia tahu setiap malam dirinya tidak tidur dengan baik karena rindu. Namun jika kembali, sama saja menyerahkan diri pada pria yang gagal move on dari mantan. Harus berbesar hati jika Devan tiba-tiba merindu masa lalunya kembali. "Jujur waktu itu, aku bisa mau anterin dia pulang karena lagi galau sama masalah kita. Terlebih, dia juga kenal sama Dhaka, aku diam-diam ingin cari info tentang adikku itu." Raina percaya tak percaya dengan ucapan Devan. Dia hanya menatap dengan lekat pada Devan tanpa menanggapi apa pun. "Tapi, aku gak berani ngapa-ngapain sama Kirana. Justru merasa semua ini hanya pelarian aja. Sumpah! Yang aku butuhkan saat ini adalah ... kamu." Devan frustasi saat melihat reaksi Raina malah memalingkan muka, seolah penjelasan apapun yang keluar dari mulutnya tak berarti apa-apa. "Kirana cerita banyak hal padaku tentang kalian. Selain itu, perkataan Kirana
Devan mengusap puncak kepala Raina saat wajah Raina pucat karena ulah Devan. Raina merasa tak percaya pria itu sudah berhasil menjahili dirinya. "Gak lucu!" ucap Raina saat melihat Devan cekikikan."Sorry! Lagian aku masih punya norma kesopanan, Rain." Devan masih terkekeh melihat wajah merona Raina.Akhirnya ada pembeli, Raina merasa lega karena Devan pasti memilih pergi bermain dengan Zian di taman."Rain, aku minta ijin pinjam Zian, ya!"Silakan aja, tapi jangan jauh-jauh, ya!""Oke."Raina melanjutkan pekerjaannya, hari libur memang malah membuat jumlah pembeli, menjadi bertambah dua kali lipat. Beruntung, ada Devan yang membawa Zian bermain.Raina melihat dari kejauhan, Devan sedang mengajarkan Zian berjalan dan Zian mampu melakukannya sendiri s
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat