“Aku … menghilangkannya.” Aland mencoba beralasan.
“Kalau begitu kau tidak bisa masuk.”Di balik topengnya, raut wajah Aland menjadi gelisah. Ia harus memikirkan cara agar bisa masuk ke dalam. “Mengapa tidak bisa?”“Karena kau tidak memiliki identitas keanggotaan.” Dari nada bicaranya, Aland merasa penjaga di hadapannya itu tak mempercayai dirinya. Atau memang system mereka seperti ini. Tidak mengizinkan anggotanya masuk tanpa tanda anggota yang lengkap. Apakah topeng seperti ini tidak cukup bagi mereka untuk membuatnya bisa masuk ke dalam markas mereka?“Bagaimana dengan ini?” Aland mengeluarkan sapu tangan milik anggota Geng Topeng Hitam itu dari dalam sakunya.Penjaga yang semula menolak mentah-mentah agar ia masuk ke dalam, kini meraih sapu tangan itu untuk dilihatnya dengan teliti. Aland memperhatikannya, penjaga itu membolak-balik sapu tangan itu dan berhenti di ujung kain. Bukan di logo Geng Topeng Hitam, melainkan dAland di balik topengnya baru mengerti atas penjelasan secara tidak langsung oleh orang itu. Ia mengangguk, berpura-pura sebagai orang yang pernah menjalani permainan di ruang-ruang sebelumnya. Ia berpikir, mungkin yang dimaksud orang tersebut adalah beberapa ruangan yang ia lewati di lorong tadi. Dan permainan yang dimaksud adalah permainan kartu biasa yang pernah ia lihat sebelumnya.Aland mengangguk singkat. “Iya, benar. Aku belum pernah melihat permainan ini. Memangnya, permainan apakah ini?” Aland meringis pelan atas kalimat terakhirnya yang berupa pertanaan. Takut-takut jika pertanyaan atas ketidaktahuannya itu bisa menimbulkan kecurigaan.“Permainan ini disebut permainan China Town.”Di balik topengnya, Aland mengernyit saat mendengar jawaban itu. “Permainan China town?” tananya, baru kali ini Aland mendengar nama permainan yang cukup aneh itu.“Iya. Sejenis monopoli versi hardcore (ekstrim). Permainan seki
“Cepat! Orang-orang sedang menunggu!”Orang bertopeng hitam itu sedikit tersentak kala orang di depannya membentak karena dirinya terlalu lama berpikir.“Baik.” Akhirnya orang bertopeng hitam itu menjawab usai sekian lama hanya membungkam mulutnya karena permainan yang menyulitkannya ini. Aland terkejut karena orang itu menerima tawaran orang di depannya.“Apa? Kau serius?” orang-orang yang berdiri di sampingnya juga terkejut dan tertawa.Permainan tahap pertama selesai. Dan orang bertopeng hitam itu benar-benar menerima tawaran untuk menjual tanahnya sebesar 1000 dollar. Namun, uang itu akan dibayar dengan syarat jika dia berhasil memenangkan permainan tahap kedua. Ini sungguh terdengar tidak adil jika dilihat dari sudut pandang Aland.Melihat pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Aland masih memikirkan bagaimana tidak adilnya orang-orang bertopeng putih itu, yang seperti memainkan trik pada orang bertopeng h
“Tapi mereka menyulitkanku. Aku tahu mereka tidak akan mudah membuatku bisa membayar hutang-hutangku.”Aland sudah terlanjur iba dengan kisah Tor. Ia memikirkan berbagai cara untuk bisa membantu Tor. Walaupun mungkin ia akui jalan yang dipilih oleh Tor awalnya memang tidak benar. Tapi dia melakukan ini semua karena kasih sayangnya kepada adiknya dan tak mau kehilangan adiknya. Sama seperti dirinya, ia melakukan semua ini juga demi menemukan kakaknya.Aland menepuk bahu Tor, membuat laki-laki yang tampak frusasti itu memandang matanya. “Kau tenang saja, tor. Untuk permainan tahap kedua ini, biar aku saja yang menggantikanmu. Aku berjanji akan menyapu bersih kemenangan untukmu.”Tor tampak ragu karena Aland baru pertama kali berada di sini dan melihat permainan itu berjalan. “Kau yakin? Kau sudah tahu bagaimana cara mainnya?”Aland mengangguk penuh keyakinan. “Aku sering memainkan permainan monopoli sebelumnya, dan
Tor kembali menatap Aland. “Tapi, aku dengar, malam ini kaisar akan datang dan akan bermain permainan papan bersama kita. Dengar-dengar dia pemain yang begitu hebat, sulit dikalahkan. Jadi, ini kesempatan bagiku untuk bisa mengalahkannya.”“Aku akan mengalahkannya,” ucap Aland yakin, membuat Tor yang mendengarnya merasa lega. “Tapi, ada satu pertanyaan lagi yang mengganggu pikiranku.”“Apa itu?” tanya Tor.“Geng ini bernama Geng Topeng Hitam. Lalu, mengapa anggota inti dari geng ini justru memakai topeng putih?”“Sederhana, mereka ingin melindungi diri mereka saja. Agar orang lain yang tahu, mereka hanya mengira bahwa hanya ada topeng hitam di geng ini.”Penjelasan itu membuat Aland merasa kesal. “Licik sekali! Kalau begitu, orang-orang bertopeng hitam ini awalnya hanyalah korban mereka.” Tor mengangguk atas pernyataan Aland.“Termasuk diriku,” uc
Lalu, apa yang dilakukan Jane di sana? Gadis itu masuk ke loker umum setelah keponakan rektor juga berada di sana pula. Joo segera merapat pada pintu, sedikit mengintip ke dalam. Sebenarnya bisa saja ia masuk dan menyapa Jane. Namun, ia memastikan terlebih dahulu dengan mengintip keadaan di dalam. Dan ternyata, apa yang dilihatnya di luar dugaannya. Fluke dan Jane terlihat saling berbicara di depan sebuah loker. Raut wajah Jane yang tidak membelakanginya terlihat begitu serius kala berbicara. Beberapa saat kemudian, Fluke membuka loker di sampingnya dan mengambil sesuatu di sana. Lalu menerahkannya pada Jane.Wajah gadis itu tampak terkejut kemudian. Fluke lalu berbalik, seperti hendak pergi meninggalkan Jane. Joo lalu segera bersembunyi ketika Fluke keluar dari ruangan loker itu.Joo memandang punggung Fluke yang menjauh. Ia lalu bergegas meliha Jane sekali lagi. Tampak gadis itu memasukkan sesuatu ke dalam salah satu loker tempat Fluke mengambil sesuatu dari sana tad
Jane yang menyadari reaksinya cepat-cepat menormalkan ekspresinya agar Joo tak terlihat curiga. “Tidak-tidak.” Jane menggeleng. “Bagaimana bisa kau membiarkan Aland masuk seorang diri ke sana? Itu sangat berbahaya, bagaimana jika mereka mengetahui penyamaran Aland sebagai penyusup dan melakukan sesuatu kepadanya?"“Dia sendiri yang mau.” Joo membela dirinya karena Jane menyalahkannya. “Kita harus melakukan ini untuk bisa membuktikan bahwa mereka memang ada, Jane.”“Tapi apa yang dilakukan Aland itu berisiko besar, Joo. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?” Jane menunjukkan raut khawatirnya. Bukan hanya khawatir pada satu hal saja, tapi juga hal-hal lainnya yang berhasil memenuhi kepalanya belakangan ini, selepas dirinya terpaksa menerima tawaran sialan dengan Fluke yang mengancamnya.“Kia berdoa saja. Aku yakin Aland pasti bisa melewati semuanya.”Jane juga berharap seperti itu. Na
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Aku ingin tanahmu di sini,” tunjuk Aland pada area terjauh dari kubu lawannya, di mana area itu telah di kelilingi sebagian besar dari pemainnya. “Dan aku akan membayarmu 250 dollar.”Kaisar tampak kebingungan, Ia lama berpikir dan akhirnya menyerahkan tanahnya kepada Aland.Aland menyeringai kembali. Ia lalu menjalankan miliknya ke sisi-sisi yang tidak pernah bisa kaisar duga pergerakannya. Permainan berjalan begitu seru dengan Aland yang beberapa kali memimpin permainan.“Aku ingin tanahku di sini, di sini, dan di sini.” Begitu suara Aland mendominasi ruangan, saat tak ada suara lain selain tanda-tanda kemenangannya. “Aku akan memberimu 10.000. Semua milikmu.”Mungkin Aland lupa sesaat bahwa seseorang yang sedang ditantangnya itu adalah seorang pemimpin geng terlarang ini, dengan memberikan tawaran besar yang tidak akan pernah ia benar-benar lakukan, karena Aland sendiri telah mengetahui trik untuk
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua