44.
Kate bisa merasakan wajah Ken semakin mendekat ke arahnya.Semakin dekat, hingga suara ponsel Kate di atas meja berbunyi menyadarkan Kate seketika.Gadis itu refleks mendorong Ken menjauh darinya, membuat laki-laki itu terkejut menatapnya.Tiba-tiba rasa canggung mendera keduanya. Sama seperti Kate, lidah Ken juga kelu.
Kate meraih ponselnya yang berdering di atas meja dengan gugup. “Ada telfon,” katanya singkat pada Ken, gadis itu berdiri dan meninggalkan Ken yang sama gugupnya.
****
Kate menormalkan detak jantungnya yang memburu karena ulah Ken. Wajah Ken yang mendekat padanya masih terbayang jelas di ingatan Kate. Ia bersyukur karena masih waras dengan tidak membiarkan Ken begitu saja. Kate takut tidak bisa mengendalikan perasaannya, ia sangat takut hanya dirinya yang mencintai Ken, sementara laki-laki itu tidak mencintainya.
Kate menatap layar ponselnya yang menampilan deretan nomor asing. Sebuah panggilan tak terjawab tertera di layar. K
45.“Aku setuju.” Jawab Joo.“Aku juga setuju.” Ken menimpali. Namun, dari raut wajahnya Aland tampak keberatan dengan ide Romeo.“Apa kau yakin kita akan melakukan ini? Bagiku ini cukup berisiko masuk ke dalam markas mereka, kita tidak tahu seberapa bahayanya mereka. Kita juga bahkan belum tahu apa saja yang terjadi di dalam sana. Aku tidak ingin membahayakan kalian lagi karena diriku,” ucap Aland tidak enak.“Kau terlalu mengkhawatirkan hal yang bahkan beum pernah terjadi, Aland. Sebaiknya kau singkirkan kekhwatiranmu itu, tidak akan terjadi apa-apa selama kita belum mencobanya,” ucap Romeo pada Aland.“Mungkin Romeo memang benar. Tapi kalian tahu sendiri, ‘kan, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika ada di antara kalian yang terluka karenaku.” Aland menambahi.“Jangan khawatir. Kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak pernah mencobanya.” Joo merang
“Katakan, mengapa kau melakukan ini padaku? Apa kau masih menyimpan sakit hati padaku?” Jane mengingat jika hubungan mereka berakhir memag bukan karena hal yang baik. Fluke terus curiga karena sifat hangat Jane kepada semua orang, hingga suatu hari Fluke menuduhnya berselingkuh dengan teman dekat Jane. Saat itulah hubungan mereka berakhir dan Fluke sangat memebencinya. “Sakit hati? Tidak sama sekali.” Fluke mendekati Jane membuat gadis itu terpaksa mundur karenanya. “Jangan berpikir bahwa aku masih mengharapkanmu.” “Aku melakukan ini karena aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Apa maksudmu?” Jane sempat sempat berhenti namun lak-laki itu tetap berjalan ke arahnya. “Berhenti, Fluke!” bukannya berhenti, Fluke justru membuat Jane terpojok di dinding. “Asal kau tahu, aku sudah tahu sebenarnya apa yang kau lakukan dengan teman-temanmu yag berbeda fakultas itu.” Jane sontak mendongak terkejut dengan pernyataan Fluke. Seakan tah
Sontak mata Jane membulat karena itu. Gadis itu menggeleng dengan panik. “Tidak-tidak, apa yang telah kau lakukan?!” Jane menarik kerah Fluke, ia benar-benar tak percaya Fluke melakukan semua ini padanya.Fluke dengan wajah santainya menjawab. “Aku hanya memotret diri kita berdua. Aku tidak melakukan apa pun padamu, kecuali jika kau menginginkannya maka akan kuturuti—”Jane mendorong Fluke menjauh darinya, laki-laki iu justru tersenum puas melihat wajah panik Jane.“Apa yang akan kau lakukan pada foto itu! Hapus sekarang juga!” Jane mencoba merebut kamera milik Fluke dari tangan laki-laki itu. Namun, dengan mudah Fluke menjauhkannya dari Jane.“Tidak semudah itu, Jane.” Fluke mengatakannya membuat Jane yang kesulitan menjangkau kamera milik Fluke berhenti dengan wajah penuh kekhawatiran.“Jika kau ingin foto ini tidak diketahui oleh seluruh orang di kampus, maka kau harus setuju dengan per
Sudah cukup lama Aland, Romeo serta Joo menunggu di balik pagar berkawat. Romeo sempat menatap ke sekeliling mereka, khawatir jika mereka memasang cctv. Namun, ia merasa lega karena tak menemukan kamera pengintai di mana pun.Lama mereka menunggu, tak ada siapa pun yang datang, Joo yang tak mengerti apa yang mereka rencanakan mulai kesal menunggu. “Apa yang kalian tunggu sebenarnya? Kita bisa saja masuk ke sana sekarang, apa yang kita tunggu di sini?”Joo hendak bangkit dan nekad masuk ke sana, ketika seseorang mengenekan topeng datang dan Romeo menariknya kembali untuk duduk dan mengintai orang itu.“Diamlah, target sudah datang.”Mereka kembali bersembunyi ketika orang itu menatap curiga ke sekelilingnya—baik Romeo, Aland serta Joo merasa orang itu curiga ada orang lain di sini.Aland, Romeo serta Joo saling menatap satu sama lain. “Keluar sekarang,” ucap Aland, sontak semua orang keluar dari persembunyia
Suasana di antara mereka terlalu canggung bagi Ken. Ken memikirkan sesuatu agar suasana bisa cair di antara mereka.Mendekati perempuan yang tengah memanggang sosis itu. Ken melihat teman-teman yang berada di belakang Kate tengah sibuk memasang berbagai perlengkapan mereka.“Kau sedang apa?” tanya Ken.“Kau tidak lihat aku sedang memanggang sosis?” Kate yang merasa kesal melihat kedatangan Ken bersama Jane menjawab pertanyaan Ken dengan nada kesal.“Sejak kapan semua ini dipersiapkan, Kate? Kemarin sepertinya semuanya masih sepi. Tapi tiba-tiba hari ini sudah ada persiapan saja,” celetuk Ken iba-tiba.Kate mendelik singkat ke arah Ken. “Bukankah kemarin kau di rumah dan tidak pergi ke mana-mana?”Ken terdiam. Merasa malu akan sindiran Kate. Seorang teman perempuan datang membantu Kate—lalu melihat Ken ternyata di sana bersama mereka.“Kate,
BAB SELANJUTNYA Karena merasa tak nyaman dengan kedekatan Jane dengan Ken, Kate pamit pergi kepada teman-temannya untuk pergi ke toilet—namun nyatanya dia hanya memandang pantulan dirinya di depan toilet. Kate sengaja meninggalkan kedai untuk mengalihkan pikirannya dari kedekatan Ken dan Jane. Ia tak ingin terlihat sedang cemburu jika berada di sana lama-lama.Sikap Ken berhasil membuatnya merasa kesal jika mengingat laki-laki itu tampak hendak menciumnya kemarin, dan saat ini dia kembali bercanda dengan Jane di depan matanya. Kate tak habis pikir laki-laki macam apa Ken itu, mudah sekali membuatnya jatuh cinta dan patah hati dalam waktu sekejap. Bunyi notifikasi ponsel mengalihkan perhatian Kate. Sebuah nomor asing tertera di layar. Kate mengernit ketika membuka pesan yang masuk dari nomor itu. Kate tersenyum aneh kepada dirinya sendiri yang mengabaikan nomor ketua komite popular di kampusnya, padahal jika jika mahasiswi lain yang berhasil mendapatkan nom
“Aku … menghilangkannya.” Aland mencoba beralasan. “Kalau begitu kau tidak bisa masuk.” Di balik topengnya, raut wajah Aland menjadi gelisah. Ia harus memikirkan cara agar bisa masuk ke dalam. “Mengapa tidak bisa?” “Karena kau tidak memiliki identitas keanggotaan.” Dari nada bicaranya, Aland merasa penjaga di hadapannya itu tak mempercayai dirinya. Atau memang system mereka seperti ini. Tidak mengizinkan anggotanya masuk tanpa tanda anggota yang lengkap. Apakah topeng seperti ini tidak cukup bagi mereka untuk membuatnya bisa masuk ke dalam markas mereka? “Bagaimana dengan ini?” Aland mengeluarkan sapu tangan milik anggota Geng Topeng Hitam itu dari dalam sakunya. Penjaga yang semula menolak mentah-mentah agar ia masuk ke dalam, kini meraih sapu tangan itu untuk dilihatnya dengan teliti. Aland memperhatikannya, penjaga itu membolak-balik sapu tangan itu dan berhenti di ujung kain. Bukan di logo Geng Topeng Hitam, melainkan d
Aland di balik topengnya baru mengerti atas penjelasan secara tidak langsung oleh orang itu. Ia mengangguk, berpura-pura sebagai orang yang pernah menjalani permainan di ruang-ruang sebelumnya. Ia berpikir, mungkin yang dimaksud orang tersebut adalah beberapa ruangan yang ia lewati di lorong tadi. Dan permainan yang dimaksud adalah permainan kartu biasa yang pernah ia lihat sebelumnya.Aland mengangguk singkat. “Iya, benar. Aku belum pernah melihat permainan ini. Memangnya, permainan apakah ini?” Aland meringis pelan atas kalimat terakhirnya yang berupa pertanaan. Takut-takut jika pertanyaan atas ketidaktahuannya itu bisa menimbulkan kecurigaan.“Permainan ini disebut permainan China Town.”Di balik topengnya, Aland mengernyit saat mendengar jawaban itu. “Permainan China town?” tananya, baru kali ini Aland mendengar nama permainan yang cukup aneh itu.“Iya. Sejenis monopoli versi hardcore (ekstrim). Permainan seki
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua