Terdengar sahutan dari wartawan lain yang membenarkan dan mendukung praduga kawannya itu. "Benar. Itu masuk akal sekali."Ruangan pun disesaki oleh sahutan-sahutan wartawan bak suara kicauan burung di pagi hari. Suasana mendadak riuh. Belicia kembali bersuara, "Bukan, bukan. Kami bukan spesialis pencetus gimmick. Kalian mitra kami, tentu kalian memiliki rekam jejak kami. Apakah ada di catatan atau rekaman kalian list gimmick mengiringi perjalanan karir kami, khususnya rekan saya Alessandra? Dia sangat berbakat dan mungkin terlahir dengan menyerap pesona magic sang Dewi. Sehingga Tuan Aroon pun memujanya dengan sebutan Nona seribu pesona."Kalimat per kalimat manis yang terlontar dari bibir Belicia sedikitnya meredakan suara-suara sumbang itu. Belicia patut diapresiasi. "Dan ... Tuan Aroon? Saya rasa kalian lebih dari tahu sepak terjang Tuan Aroon selama ini. Sorot kamera dan media cetak tak luput mengiringi perjalanan karir bisnisnya. Sudah berapa banyak prestasi beliau yang kalian
Tuan Aroon mengeratkan lingkaran tangannya. "Jika kau seperti ini, aku khawatir melanggar kesepakatan kita," bisik Tuan Aroon, lalu menggigit sekilas telinga wanitanya. Tiba-tiba Alessandra melepaskan diri, beranjak ke kursi kebesaran prianya dan duduk di sana. Membuat sang mantan casanova itu berdecak.Saat ini Alessandra memang nampak berbeda dan ia menyadarinya. Seperti menemukan sisi lain dari dirinya. Ia tiba-tiba menjadi sosok wanita yang seolah haus belaian. Semenjak acara konferensi pers tadi, tak dipungkiri hatinya menghangat dengan ungkapan pujian yang bertubi-tubi dilontarkan prianya itu. "Anda tidak memberitahu saya kalau Belicia dialihkan ke Glow Make-up," ucap Alessandra memulai obrolan serius. Tuan Aroon berjalan ke arahnya dan duduk di depannya di atas meja kerja. "Aku memang tidak berniat melakukan itu," sahut Tuan Aroon santai. "Lalu?" Alessandra mengerutkan kening tanda bingung dengan ucapan prianya itu. Mana mungkin tidak berniat tetapi mengumumkannya ke publ
Mobil itu melesat cepat meninggalkan parkiran Aroon's Company, juga pemiliknya yang tak henti-hentinya mengumpat. "Awas kau! Setelah ini akan kukirim kau ke tempat yang tak pernah sebelumnya kau pikirkan!""Bodyguard kurang ajar!""Tak tahu diri!"Seorang wanita tiba-tiba hadir, menambah kekesalan pria tampan yang sedang mengumpat itu. "Tuan, saya menunggu Anda dari tadi di ruang sekretaris Anda," ucap wanita itu. "Kau sudah mendapatkan yang kau inginkan. Kenapa lagi harus menemuiku?" raut Tuan Aroon nampak murka sisa dari kekesalan sebelumnya. "Maaf jika tadi saya lancang. Saya hanya ingin membuat citra Anda tidak dianggap buruk karena memutus kontrak saya," ucap Belicia mencoba beralasan. "Jika bukan karena Alessandra, sudah habis kau!" maki Tuan Aroon seraya masuk ke dalam gedung. Ia merasa muak jika harus berlama-lama dengan wanita satu spesies dengan Sabrina itu. Ditambah sisa kekesalannya pada bodyguard itu membuat ia ingin melahap siapa saja yang berada di hadapannya. Bel
Alessandra menangkap raut berbeda dari wajah tampan bodyguard-nya."Kau sedang tidak enak badan?" tanyanya dengan menatap intens pria yang berada di balik kemudi itu. Mervile merespons dengan satu gelengan, membuat Alessandra mengerutkan kening tanda heran."Kau ada masalah? tanyanya lagi, merasa ada sesuatu yang terjadi dengan bodyguard itu. Mervile yang ada kalanya banyak bertanya bahkan berbicara cerewet kini nampak diam seribu bahasa. Pandangannya tajam lurus ke depan, bibirnya datar tanpa lengkungan. Alessandra menghela napas panjang seraya menggeleng mendapati sikap bodyguard-nya itu. "Mervile, berhubung kau yang datang ke acara talkshow beberapa waktu lalu, maka ambillah gajimu. Semua pendapatan dari jerih payahmu berkelana di stasiun televisi waktu itu adalah milikmu," ucap Alessandra yang berpikir perubahan Mervile karena adanya masalah finansial. Ia merasa Mervile mengalami kesulitan karena hukuman yang ia layangkan. Pria itu merespons hanya dengan anggukan ringan bahka
AROON'S COMPANY08.15 malam. Tuan Aroon baru saja sampai di akhir kata dalam pidato penyambutannya malam ini. Dengan sedikit berbasa-basi dan banyak memuja sang wanita pujaan hati dalam narasinya. Membuat segelintir orang seolah jengah dengan sikap berlebihan bos besar itu meskipun hanya bisa menyimpannya dalam dada. Tak terkecuali Revano yang saat ini tengah duduk dalam lingkaran para pebisnis tanah air. "Kau menikmati party ini, Revano?" Tuan Aroon bergabung di meja Revano dan beberapa pengusaha lainnya. Revano mengedikkan bahu. "Aku selalu menikmati di mana banyak santapan hidangan yang membuatku semakin lapar," jawab Revano dengan mengangkat satu sudut bibirnya. Membuat orang satu lingkaran itu tertawa tak terkecuali sang penanya. "Indikasi bagus. Itu artinya kegagahanmu masih bertengger." Tuan Aroon menyahut seraya mengulas senyum khasnya. "Siapa yang tidak tahu Revano. Di mana ada wanita-wanita cantik pasti di sana ada dirinya." Seseorang menepuk pundak Revano dengan tertaw
Wanita yang tengah membuat mantan bosnya mendadak bisu, akhirnya benar-benar berdiri. Ia hendak berbalik meninggalkan pria tua pendiri Top Stories tersebut. Namun, niatnya urung karena tiba-tiba saja Sabrina sudah berada di hadapannya. Double kill. Mendadak otak wanita cantik itu menginstruksikan untuk melakukan double kill. Dan tentu saja jiwa dan raga seorang Alessandra dengan suka rela bersedia melakukannya. Sabrina tampak resah, terlihat dari raut wajah dan jemari yang memilin dress-nya. Ia sedang berusaha semampunya untuk menghindari Alessandra semenjak malam party, di mana Alessandra mengungkapkan kebenaran padanya kala itu. Namun, kemampuannya sampai hanya pada batas malam ini saja. malam ini takdir mempertemukan mereka berdua. Tak ingin membuang waktu lama, Alessandra menyunggingkan senyum paling manis, kemudian ia berkata pada Sabrina, "Selamat malam, selamat menikmati pesta yang dikhususkan untukku malam ini."Sabrina nampak gugup, namun ia tak ingin menunjukkannya di d
Tuan Aroon memandang wanitanya yang melenggang dengan tersenyum bangga. Kemudian ia mendekat pada Revano dan menepuk pundak pria tua itu. "Good luck, Bung," ucapnya dengan tersenyum penuh arti lalu pergi begitu saja. Revano tahu itu adalah sindiran sekaligus hinaan untuknya. Ia memerhatikan pundak pria yang melenggang itu dengan penuh amarah. Sementara ia memutar bola matanya malas tatkala wanita di depannya semakin mendekat ke arahnya dengan tatapan seakan menunggu jawaban kebenaran atas perkataan Alessandra. "Apa benar yang dikatakan wanita sombong itu, Bos?" Sabrina tak membuang waktu lama untuk bertanya to the point. Meskipun ia tahu desas-desus kabar itu dulu, namun ia menganggapnya hanyalah rumor belaka. Ia sungguh tak terima jika itu adalah kebenaran, karena itu artinya ia hanya menjadi barang cadangan. Revano mengedikkan bahu. "Siapa yang tak tertarik dengan pesonanya? Munafik jika aku tak mengakuinya," jawabnya yang seketika menohok ulu hati Sabrina. Sabrina tak bisa meny
Pertarungan dua pria lintas generasi pun tak bisa dielakkan. Keduanya kini sama-sama berada di luar mobil, saling baku hantam--bertarung demi merebutkan posisi penyelamat sang wanita.Mervile akhirnya muncul sebagai pemenang. Ia berhasil melumpuhkan Tuan Aroon, meski dengan mengerahkan seluruh tenaga. Kendaraannya melesat membelah jalanan kota Roma, membawa sang nona yang masih tak sadarkan diri. Sementara pria lainnya sedang berjuang bangkit dari pasca adu jotos yang membuat tenaganya nyaris tak tersisa. Pria itu segera bergegas meninggalkan tempat tatkala kawanan wartawan komplit dengan kameramen--yang berjarak 5 meter darinya mendekat ke arahnya. Beruntung, Morgan sang asisten segera tiba dan langsung memapah sang majikan masuk ke dalam mobil. Morgan memang selalu bisa diandalkan, datang tepat waktu. "Berengsek! Ke mana bodyguard sialan itu membawa Alessandra!" umpat Tuan Aroon. Ia nampak sangat marah. "Di rumah sakit pusat kota, Tuan. Orang kita membuntuti mobil mereka semenjak
Bali, Indonesia. “Hei, kau mencuri ciuman dariku, Tuan Muda,” protes Alessandra sembari mencipratkan air ke wajah Axel. Suaminya yang tampan itu justru menyeringai tanpa rasa bersalah lalu berenang ke tepi kolam. “Aku cemburu pada laut,” sahut Axel, lalu sorot matanya yang tajam tetapi teduh itu terarah pada hamparan laut biru sepanjang matanya memandang. Kolam tempat mereka berenang sekarang menjorok langsung ke laut biru yang menawarkan panorama indah memanjakan mata nan jiwa. Fasilitas dari villa yang mereka tempati selama bulan madu kedua—begitu mereka menyebutnya. “Beberapa menit yang lama pandanganmu tak teralihkan darinya, matamu memandang penuh ketakjuban seolah kau rela menukarkan jiwamu dengannya.”Alessandra mengulum senyumnya. “Kau lebih seperti mendeskripsikan perasaanku padamu, Tuan Muda.” Alessandra mendekati Axel, menciptakan riak seiring tubuhnya bergerak. Axel bersiaga menyambutnya dengan segenap partikel dalam tubuhnya yang bersorak gembira. Mengalungkan lengan
Beberapa hari setelah insiden pembunuhan di hotel. Seorang sipir mengantarkan seorang wanita dengan mata sembab, tatapannya layu dan ia berjalan bak tanpa nyawa menuju tempat pertemuan dengan tersangka kriminal. Apa salahnya pada Revano sehingga pria itu menghukumnya? Padahal, Rheea telah banyak membantu pria itu. Rekaman kecelakaan Marchelle beberapa waktu lalu yang diterima Revano, itu salah satu bantuannya. Rekaman itu milik suami Rheea yang meninggal beberapa tahun lalu. Suami Rheea satu di antara rival Aroon. Mereka terlibat pertarungan sengit dalam bisnis. Suatu hari yang beruntung, suaminya berhasil mendapat kelemahan pria itu. Setelah beberapa saat dipersilakan menunggu, ia melihat seorang pria berambut putih dengan tangan diborgol diarahkan duduk di depannya. “Apa yang salah, Revano?” Rheea, dengan suaranya yang lemah menuntut jawaban pembunuh putranya. “Aku lepas kendali,” sahut Revano, menyesal. “Rheea, aku pantas mendapat murkamu.”Rheea tersenyum kecut. “Tahukah kau b
Cahaya matahari pagi menjadi alarm bangun dari lelapnya bagi dua insan yang kelelahan akibat aktivitas panas semalam. Mengerjapkan mata, Alessandra terkejut dengan ceruk leher yang berjarak hanya beberapa senti dari hidungnya. Lalu ia mendongak dan saat itu pula tatapannya bertemu dengan mata biru yang lebih dulu memperhatikannya dalam diam. “Selamat pagi,” ujar Axel dengan senyum tersungging di bibirnya. “Nyenyak?” Alessandra mengangguk canggung. Setelah apa yang terjadi semalam, masih pantaskah ia merasa canggung? “Alessa, aku berutang banyak penjelasan padamu. Maukah kau mendengarnya?” Axel memulai pembahasan setelah mencium kening wanita yang ia dekap posesif. Alessandra sudah akan menjawab sebelum perutnya merasakan gejolak tak nyaman. Dengan segera tangannya mendorong dada Axel dan beranjak dari kasur dengan suara khas perempuan hamil. Ia diserang mual hebat. Ia berlari melintasi ruangan menuju wastafel. Ia memuntahkan cairan bening dari dalam perutnya. Axel mengejarnya de
“Tidak ada pilihan lain,” ucap Alessandra saat melihat mobilnya yang merupakan hadiah dari Tuan Aroon dulu. Tak ingin membahayakan janinnya, ia mengekang sifat egoisnya yang ingin pergi tanpa dibayang-bayangi apa pun tentang Tuan Aroon. Selain mobil hadiah dari pria itu, ia tak memiliki kendaraan lain. Tak mungkin ia berjalan kaki, bukan? Alessandra sudah berada di balik kemudi, menghidupkan mesin. Lalu menjalankan kendaraan itu, meninggalkan rumah yang beberapa waktu ini telah menampungnya bak nyonya besar. Beberapa saat kemudian ia telah sampai di tempat yang membuatnya meneteskan air mata. Ia cukup tegar beberapa waktu lalu tak menangis saat mendapati fakta pahit itu. Namun, saat melihat bangunan cafe yang diwariskan ayahnya, air mata itu dengan sendirinya mengucur. “Aku sangat merindukanmu, Ayah.”Ia segera turun dan menghambur ke dalam bangunan. Malam ini ia akan bermalam di cafe. Tersedia kamar karyawan untuk istirahat dan malam ini ia akan menggunakannya. “Maafkan Mama, Sayan
Mata Alessandra memeriksa ponselnya secara berkala. Hampir tengah malam, tetapi Tuan Aroon belum pulang. Pria yang ia panggil daddy itu berkata akan pergi bermain golf bersama beberapa rekannya. Tetapi itu sore tadi, dan sekarang? Di mana pria itu? Ia pun sudah menelepon beberapa kali, tetapi tak dapat jawaban. Untuk mengalihkan pikiran negatif dan mengusir rasa bosan karena menunggu, Alessandra memutuskan membaca buku. Hanya perlu melintasi beberapa ruangan untuk mencapai ruang perpustakaan pribadi Tuan Aroon. Tangannya mencari saklar, menyalakan lampu. Pemandangan rak-rak tinggi berbahan kayu mahoni menjulang dengan buku-buku menyambut penglihatannya. Ia bergerak ke sisi kiri lalu meraih satu bacaan buku. Ia ingin relaks, novel komedi menjadi pilihannya. Lalu ia membawa serta novel itu ke sofa, duduk dan membacanya dengan santai. “Lain waktu, kubacakan dongeng Cinderella untukmu, Sayang,” katanya, menunduk pada perutnya yang masih rata. “Kau pasti akan menyukai dongeng tentang k
“Mobil sialan!” Axel memukul keras setir, mengumpat kesal saat mobil yang dikemudikannya itu mati tiba-tiba. Padahal, ia harus menghadiri acara grand opening hotel rekannya. Dia mengedarkan pandangan di sekelilingnya, pepohonan lebat menjulang di kanan-kirinya. Dia masih berada di wilayah leluhurnya. Hutan ini milik keluarganya dan rumahnya berdiri megah di tengah hutan ini. Tangannya terulur membuka pintu. Saat sebelah kakinya menjejak tanah, tiba-tiba tubuhnya diseret lalu pukulan bertubi-tubi dialamatkan ke wajahnya. Tubuh Axel terjengkang ke belakang, pukulan beralih ke perutnya. Darah muncrat dari hidungnya. Aroma darah segar tercium di udara. Perutnya terasa nyeri. “Kau pikir, kau akan selamat dariku, heh?“ Tuan Aroon menjulang di depannya dengan tatapan bak serigala. Hasratnya menghabisi Axel bangkit setelah mendapat laporan dari orang-orangnya. Tak sia-sia waktu berjam-jam ia gunakan menunggu di balik pepohonan setelah memasang jebakan. Akhirnya dia menyeringai saat ban it
Alessandra yang masih terpejam dan dibalut selimut tebal merasakan cahaya hangat menerpa wajahnya, kemudian ia pun menghalau dengan telapak tangannya sambil bermonolog, "Apa ini sudah pagi?""Ini sudah tengah hari, Baby. Jam dua belas siang."Mendengar suara orang yang beberapa hari ini hanya dapat ia dengar dari telepon itu pun membuat Alessandra seketika membuka mata. "Daddy?"Alessandra melihat Tuan Aroon memeluknya dan tersenyum padanya. Pantas saja ia merasakan selimutnya semakin tebal dan hangat. Apa mungkin Tuan Aroon memeluknya semalaman? pikirnya. "Kapan Daddy datang?" "12 malam, Babe." Tuan Aroon kian mengeratkan pelukannya sambil menghirup aroma yang beberapa hari ini ia rindukan. "Ish. Kenapa Daddy tidak membangunkanku semalam?" "Ketika aku membuka pintu kamar ini, fokus mataku langsung tertuju padamu yang sudah terlelap. Dalam keadaan tidur pun kau terlihat cantik, Babe." Tuan Aroon kini mempertemukan wajah keduanya saling berhadapan. Tangannya membelai wajah wanita h
Alessandra sungguh tidak mengira bahwa orang yang mengantarkannya hingga sampai rumah sakit adalah sopir gadungan. Terlebih orang itu adalah Axel, orang yang paling ia hindari selama ini.'Bagaimana bisa, huh! Orang itu memang banyak akal.' Alessandra bermonolog dalam batinnya. Alessandra kini melihat Axel menghadapnya dengan memamerkan senyum sambil menaikturunkan satu alisnya. "Kau memang tak pernah berubah." Alessandra berkata dengan nada ketus. "Tepat sekali! Aku memang selalu menempatkanmu di hatiku, tak akan ada yang berubah." Alessandra membuang muka. Tak ingin mendengar yang ia anggap omong kosong itu. "Penipu," gerutunya sembari mengarahkan pandangannya pada luar jendela. Axel kemudian memakaikan topi pada kepala Alessandra dan memakaikan masker. "Hari ini sepertinya rumah sakit terlihat banyak pengunjung," ucapnya. Axel kemudian terlihat keluar dari mobil setelah menutupi sebagian wajah tampannya dengan masker, ia lalu membukakan pintu mobil untuk Alessandra, hingga se
Pagi ini sudah lebih dari sepuluh menit Alessandra mengalami mual hebat akibat kehamilannya. Di saat seperti ini biasanya ada Tuan Aroon di sisinya yang selalu siaga. Namun, pagi ini pria itu tak ada di dekatnya. Sudah semenjak dua hari ini ia sedang berada di luar kota untuk mengecek ketersediaan bahan baku kosmetik. Hal yang tak bisa ia wakilkan pada siapapun. "Ugh. Begini rasanya jadi wanita hamil," lirihnya sambil melihat perutnya yang masih datar setelah menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang. Tak terasa ia kini mengarahkan tangannya pada perut. Ia lalu mengusapnya dengan lembut. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan semenjak ia dinyatakan berbadan dua. "Kau benar hadir di sini?" ucapnya sambil terus mengelus. Matanya terlihat berkaca-kaca. Ia masih terus mengelus perutnya. "Maaf, baru menyapamu," ucapnya lagi. Kini matanya tak hanya berkaca-kaca, namun mata itu telah meneteskan airnya."Aku bahagia kau hadir. Sangat bahagia. Kau mengobati rasa kehilanganku terhadap seseor