Mendengar itu, seketika Mervile meraih tangan Alessandra lalu mencium punggungnya. "Kau cintaku dan aku cintamu, bagaimana bisa kau menghendaki jarak di antara kita, Amore? Kumohon jangan lakukan ini pada cinta kita."Seketika Alessandra memalingkan muka seraya menarik tangannya, namun Mervile tak melepaskan tangan lemah itu. Mervile mempertahankan tangan itu dalam genggamannya dan ia patri di dada. "Lepas, Mervile. Jika kau terus bersikeras, maka sekarang juga aku akan berkemas." Alessandra sudah menggerakkan badannya untuk bangkit. "Oke, oke." Mervile tak ingin terjadi hal buruk pada Alessandra, maka ia segera memutuskan mengalah kendati itu artinya ia menerima perintah Alessandra untuk pergi dari sisi sang kekasih. Seketika itu pula Alessandra kembali merebahkan tubuhnya, yang sebenarnya terasa lemah ia rasakan. Mervile kemudian menghela napas berat lalu berkata tepat di hadapan wajah Alessandra seraya tangannya membelai sayang rambut yang tampak kusut itu, "Aku akan pergi, tapi
Sekuat tenaga Alessandra mencoba menghapus bayang-bayang pria yang ia cinta sekaligus ia benci, maka sekuat itu pula bayangan itu terus berkeliaran di benaknya. Tiap kali kelopak matanya terbuka, pandangan matanya langsung disambut sejuta siluet samar yang tampak indah sekaligus menggerus hatinya. Kala mata sayu itu menelisik tiap inci kamarnya dan seketika itu pula memorinya menggambar jelas tiap adegan indah yang singgah di sana.Hatinya terasa sesak. "Kau bilang itu pertama dan terakhir kalinya kau menyakitiku. Tapi lihat, secepat itu kau sudah mengingkarinya."Baru kemarin ia rasakan bunga-bunga di hatinya bermekaran sempurna dan hari ini bunga setaman itu kuncup tiba-tiba bak debu yang seketika hilang diterbangkan angin begitu saja. Ironis! Pria yang masih ia sebut nama palsunya itu seolah membawanya berdiri di tepi tebing di mana ia dipameri keindahan rumpun-rumpun anggrek yang menggelantung dengan bunganya yang berpendar, namun ketika ia semakin menurunkan pandangan seketika ia
Revano tampak memejamkan mata sembari tangan rapuhnya memijat sebelah pelipis. Bos Top Stories itu sedang dilanda gundah gulana. Beberapa menit lalu ia telah mengadakan meeting bersama dewan direksi membahas permasalahan krusial perusahaan. Beberapa investor telah menarik sahamnya padahal kondisi perusahaan sedang pailit, terdeteksi ada 2 utang yang sudah jatuh tempo. Tak berselang lama dering telepon di atas meja menyela keheningan atas pikiran mengembaranya pada nasib perusahaan. "Tuan, ada orang dari Aroon's Company ingin bertemu Anda." Sang resepsionis berkata dengan sopan. Revano mengernyit namun kemudian memerintahkan resepsionis itu untuk mempersilakan sang tamu tak diundang masuk ke dalam ruangannya. Tak berselang lama mata Revano tertuju pada pintu yang mulai dibuka dan menampilkan sosok tampan pria muda berjas putih gading dipadu celana bahan warna senada. "Selamat siang, Tuan Revano," sapa Morgan dengan sopan, tak terdengar seperti seorang yang telah membuat orang di de
"Top Stories?" ulang wanita itu segera. "Apa maksud Anda? Anda bekerja sama dengan mereka dengan menjalankan tugas sebagai perantara supaya saya kembali ke perusahaan terkutuk itu? Cih! Saya tidak tertarik sedikitpun!"Tuan Aroon terkekeh geli. "Aku tidak bekerja atas perintah seseorang, Alessandra. Aku memerintah bukan diperintah.""Lantas?!""Aroon's Company telah mengakuisisi Top Stories." Semburat kesombongan mengiringi senyum mengembang di wajah tegas seorang pimpinan perusahaan itu. Sekilas bibir mungil wanita itu tak mengatup oleh sebab respons terkejutnya. "Aroon's Company dan Top Stories ....""Iya, Alessandra. Aroon's Company telah mengakuisisi 100 persen saham di Top Stories beserta propertinya."Alesandra tampak berkutat dengan benaknya mendengar berita mengejutkan ini. "Bagaimana? Kau berminat bergabung bersama kami?" tanya Tuan Aroon sekali lagi. Terpampang raut keraguan di wajah Alessandra. Menangkap hal itu, Tuan Aroon kembali berbicara meyakinkan supaya sang model
Konferensi pers atas tergabungnya dua perusahaan besar berbeda bidang, yakni Aroon's Company dan Top Stories sudah usai satu jam yang lalu. Konferensi itu berlangsung selama satu jam di gedung khusus Top Stories. Tuan Aroon, Revano dan juga Alessandra duduk sejajar dengan mikropon yang berbaris tak beraturan di depan mereka. Tak hanya mengumumkan bersatunya dua perusahaan besar itu, namun bergabungnya kembali seorang supermodel besutan Top Stories yang beberapa waktu lalu dibuang pun masuk ke dalam poin pengumuman penting dalam konferensi pagi tadi. Suara ketukan high heels yang kian mendekat mengaburkan lamunan seorang wanita cantik. Ia lantas menolehkan pandangan pada sosok yang lebih cantik di depannya. "Aku sedang tidak ingin bermain-main. Jadi simpan saja energimu," ucapnya ketika menyatukan pandangan keduanya. Sabrina tetap duduk tenang dengan kaki menyilang anggun meski tak dipungkiri hatinya gusar selaras dengan tatapan nyalangnya. Alessandra menerbitkan seringai lebar menda
"Omong kosong! Kalian menipuku!"Surat itu melayang di depan wajah sang notaris. Alessandra sungguh tak percaya dengan omong kosong yang dibawa kedua pria paruh baya tersebut. Ia meradang tak terima lantas berlari keluar dari bangunan minimalis tersebut. "Sudah saya katakan dia tak akan percaya dengan omong kosong Anda, Tuan Aroon," ucap pria itu yang merasa menyesal karena telah mengkhianati sang tuan yang sudah mendiang. "Kau sudah menyelesaikan tugasmu, selebihnya biar aku yang urus. Kau boleh pergi sekarang," sahut Tuan Aroon tampak tenang lalu berdiri hendak menyusul wanita pujaan. "Alessandra!" "Lepaskan!" Alessandra menepis tangan kekar yang sudah memegang pergelangan tangannya. "Kau ke sini bersamaku, maka pulang pun harus denganku." "Sayangnya saya sangat tidak ingin satu kendaraan dengan penipu," sergah Alessandra seketika. "Oke, aku memaklumi ketidakpercayaanmu padaku. Oke, Alessandra. Aku menerima itu namun setelah kau mengetahui satu fakta lagi," ucap Tuan Aroon pe
Terpancar rona bahagia di garis-garis tegas yang membentuk wajah pria paruh baya. Rona itu begitu kuat memancar selaras dengan relung hatinya yang dipenuhi semarak kebahagiaan bak semarak kembang api di malam pergantian tahun baru dengan percikan apinya yang berpendar-pendar--riang, penuh suka cita, dan dipenuhi teriakan kebahagiaan. Jauh dari kata sepi dan kegalauan. Sudah setengah jam berlalu ia dan Alessandra meninggalkan apartemen dan sekarang mereka baru sampai di kediaman megahnya yang bak istana. Karpet motif klasik siap menyambut tumit berbingkai high heels warna krem untuk mengetukkan ujung heels-nya pada bulu-bulu halus berkualitas itu, namun ..."Ah, Tuan Aroon," pekik Alessandra kala tubuhnya terasa melayang oleh sebab tangan kekar yang tiba-tiba merengkuhnya lalu membawanya ala bridal style. Tuan Aroon merespons keterkejutan sang wanita dengan senyuman sembari kakinya terus mengayun membawa ia dan wanita dalam gendongannya menuju ruang tujuan. Ada beberapa wanita berdir
Wajah Tuan Aroon tak elaknya menjadi objek kepalan kuat tangan Axel. Axel mendaratkan pukulan pada wajah tegas itu dengan membabibuta hingga sudut bibir Tuan Aroon mengucurkan darah segar. Seolah setia menikmati kesenangan atas kegusaran dan kegeraman Axel, pria paruh baya itu terlihat setia membiarkan wajah tegasnya menjadi objek kemarahan Axel. Hingga akhirnya Axel terlihat membeku ketika suara feminim meneriakkan namanya. "Axel. Tuan Muda Axel Omero," teriak Alessandra yang terlihat menuruni anak tangga. "Atas dasar apa kau membuat keributan di kediaman orang? Beginikah cara anggota keluarga Omero bertamu?"Sontak, Axel langsung mencari asal suara wanita yang menjadi alasan ia mengarahkan kakinya ke kediaman rivalnya itu. "Amore," panggil Axel dengan suara rendah seraya hendak melaju ke arah sang wanita berada, namun isyarat tangan Alessandra yang menyuruhnya untuk diam di tempat sukses menghentikan niatnya. Sementara Tuan Aroon terlihat mengulas senyum samar mendapati kehadiran
Bali, Indonesia. “Hei, kau mencuri ciuman dariku, Tuan Muda,” protes Alessandra sembari mencipratkan air ke wajah Axel. Suaminya yang tampan itu justru menyeringai tanpa rasa bersalah lalu berenang ke tepi kolam. “Aku cemburu pada laut,” sahut Axel, lalu sorot matanya yang tajam tetapi teduh itu terarah pada hamparan laut biru sepanjang matanya memandang. Kolam tempat mereka berenang sekarang menjorok langsung ke laut biru yang menawarkan panorama indah memanjakan mata nan jiwa. Fasilitas dari villa yang mereka tempati selama bulan madu kedua—begitu mereka menyebutnya. “Beberapa menit yang lama pandanganmu tak teralihkan darinya, matamu memandang penuh ketakjuban seolah kau rela menukarkan jiwamu dengannya.”Alessandra mengulum senyumnya. “Kau lebih seperti mendeskripsikan perasaanku padamu, Tuan Muda.” Alessandra mendekati Axel, menciptakan riak seiring tubuhnya bergerak. Axel bersiaga menyambutnya dengan segenap partikel dalam tubuhnya yang bersorak gembira. Mengalungkan lengan
Beberapa hari setelah insiden pembunuhan di hotel. Seorang sipir mengantarkan seorang wanita dengan mata sembab, tatapannya layu dan ia berjalan bak tanpa nyawa menuju tempat pertemuan dengan tersangka kriminal. Apa salahnya pada Revano sehingga pria itu menghukumnya? Padahal, Rheea telah banyak membantu pria itu. Rekaman kecelakaan Marchelle beberapa waktu lalu yang diterima Revano, itu salah satu bantuannya. Rekaman itu milik suami Rheea yang meninggal beberapa tahun lalu. Suami Rheea satu di antara rival Aroon. Mereka terlibat pertarungan sengit dalam bisnis. Suatu hari yang beruntung, suaminya berhasil mendapat kelemahan pria itu. Setelah beberapa saat dipersilakan menunggu, ia melihat seorang pria berambut putih dengan tangan diborgol diarahkan duduk di depannya. “Apa yang salah, Revano?” Rheea, dengan suaranya yang lemah menuntut jawaban pembunuh putranya. “Aku lepas kendali,” sahut Revano, menyesal. “Rheea, aku pantas mendapat murkamu.”Rheea tersenyum kecut. “Tahukah kau b
Cahaya matahari pagi menjadi alarm bangun dari lelapnya bagi dua insan yang kelelahan akibat aktivitas panas semalam. Mengerjapkan mata, Alessandra terkejut dengan ceruk leher yang berjarak hanya beberapa senti dari hidungnya. Lalu ia mendongak dan saat itu pula tatapannya bertemu dengan mata biru yang lebih dulu memperhatikannya dalam diam. “Selamat pagi,” ujar Axel dengan senyum tersungging di bibirnya. “Nyenyak?” Alessandra mengangguk canggung. Setelah apa yang terjadi semalam, masih pantaskah ia merasa canggung? “Alessa, aku berutang banyak penjelasan padamu. Maukah kau mendengarnya?” Axel memulai pembahasan setelah mencium kening wanita yang ia dekap posesif. Alessandra sudah akan menjawab sebelum perutnya merasakan gejolak tak nyaman. Dengan segera tangannya mendorong dada Axel dan beranjak dari kasur dengan suara khas perempuan hamil. Ia diserang mual hebat. Ia berlari melintasi ruangan menuju wastafel. Ia memuntahkan cairan bening dari dalam perutnya. Axel mengejarnya de
“Tidak ada pilihan lain,” ucap Alessandra saat melihat mobilnya yang merupakan hadiah dari Tuan Aroon dulu. Tak ingin membahayakan janinnya, ia mengekang sifat egoisnya yang ingin pergi tanpa dibayang-bayangi apa pun tentang Tuan Aroon. Selain mobil hadiah dari pria itu, ia tak memiliki kendaraan lain. Tak mungkin ia berjalan kaki, bukan? Alessandra sudah berada di balik kemudi, menghidupkan mesin. Lalu menjalankan kendaraan itu, meninggalkan rumah yang beberapa waktu ini telah menampungnya bak nyonya besar. Beberapa saat kemudian ia telah sampai di tempat yang membuatnya meneteskan air mata. Ia cukup tegar beberapa waktu lalu tak menangis saat mendapati fakta pahit itu. Namun, saat melihat bangunan cafe yang diwariskan ayahnya, air mata itu dengan sendirinya mengucur. “Aku sangat merindukanmu, Ayah.”Ia segera turun dan menghambur ke dalam bangunan. Malam ini ia akan bermalam di cafe. Tersedia kamar karyawan untuk istirahat dan malam ini ia akan menggunakannya. “Maafkan Mama, Sayan
Mata Alessandra memeriksa ponselnya secara berkala. Hampir tengah malam, tetapi Tuan Aroon belum pulang. Pria yang ia panggil daddy itu berkata akan pergi bermain golf bersama beberapa rekannya. Tetapi itu sore tadi, dan sekarang? Di mana pria itu? Ia pun sudah menelepon beberapa kali, tetapi tak dapat jawaban. Untuk mengalihkan pikiran negatif dan mengusir rasa bosan karena menunggu, Alessandra memutuskan membaca buku. Hanya perlu melintasi beberapa ruangan untuk mencapai ruang perpustakaan pribadi Tuan Aroon. Tangannya mencari saklar, menyalakan lampu. Pemandangan rak-rak tinggi berbahan kayu mahoni menjulang dengan buku-buku menyambut penglihatannya. Ia bergerak ke sisi kiri lalu meraih satu bacaan buku. Ia ingin relaks, novel komedi menjadi pilihannya. Lalu ia membawa serta novel itu ke sofa, duduk dan membacanya dengan santai. “Lain waktu, kubacakan dongeng Cinderella untukmu, Sayang,” katanya, menunduk pada perutnya yang masih rata. “Kau pasti akan menyukai dongeng tentang k
“Mobil sialan!” Axel memukul keras setir, mengumpat kesal saat mobil yang dikemudikannya itu mati tiba-tiba. Padahal, ia harus menghadiri acara grand opening hotel rekannya. Dia mengedarkan pandangan di sekelilingnya, pepohonan lebat menjulang di kanan-kirinya. Dia masih berada di wilayah leluhurnya. Hutan ini milik keluarganya dan rumahnya berdiri megah di tengah hutan ini. Tangannya terulur membuka pintu. Saat sebelah kakinya menjejak tanah, tiba-tiba tubuhnya diseret lalu pukulan bertubi-tubi dialamatkan ke wajahnya. Tubuh Axel terjengkang ke belakang, pukulan beralih ke perutnya. Darah muncrat dari hidungnya. Aroma darah segar tercium di udara. Perutnya terasa nyeri. “Kau pikir, kau akan selamat dariku, heh?“ Tuan Aroon menjulang di depannya dengan tatapan bak serigala. Hasratnya menghabisi Axel bangkit setelah mendapat laporan dari orang-orangnya. Tak sia-sia waktu berjam-jam ia gunakan menunggu di balik pepohonan setelah memasang jebakan. Akhirnya dia menyeringai saat ban it
Alessandra yang masih terpejam dan dibalut selimut tebal merasakan cahaya hangat menerpa wajahnya, kemudian ia pun menghalau dengan telapak tangannya sambil bermonolog, "Apa ini sudah pagi?""Ini sudah tengah hari, Baby. Jam dua belas siang."Mendengar suara orang yang beberapa hari ini hanya dapat ia dengar dari telepon itu pun membuat Alessandra seketika membuka mata. "Daddy?"Alessandra melihat Tuan Aroon memeluknya dan tersenyum padanya. Pantas saja ia merasakan selimutnya semakin tebal dan hangat. Apa mungkin Tuan Aroon memeluknya semalaman? pikirnya. "Kapan Daddy datang?" "12 malam, Babe." Tuan Aroon kian mengeratkan pelukannya sambil menghirup aroma yang beberapa hari ini ia rindukan. "Ish. Kenapa Daddy tidak membangunkanku semalam?" "Ketika aku membuka pintu kamar ini, fokus mataku langsung tertuju padamu yang sudah terlelap. Dalam keadaan tidur pun kau terlihat cantik, Babe." Tuan Aroon kini mempertemukan wajah keduanya saling berhadapan. Tangannya membelai wajah wanita h
Alessandra sungguh tidak mengira bahwa orang yang mengantarkannya hingga sampai rumah sakit adalah sopir gadungan. Terlebih orang itu adalah Axel, orang yang paling ia hindari selama ini.'Bagaimana bisa, huh! Orang itu memang banyak akal.' Alessandra bermonolog dalam batinnya. Alessandra kini melihat Axel menghadapnya dengan memamerkan senyum sambil menaikturunkan satu alisnya. "Kau memang tak pernah berubah." Alessandra berkata dengan nada ketus. "Tepat sekali! Aku memang selalu menempatkanmu di hatiku, tak akan ada yang berubah." Alessandra membuang muka. Tak ingin mendengar yang ia anggap omong kosong itu. "Penipu," gerutunya sembari mengarahkan pandangannya pada luar jendela. Axel kemudian memakaikan topi pada kepala Alessandra dan memakaikan masker. "Hari ini sepertinya rumah sakit terlihat banyak pengunjung," ucapnya. Axel kemudian terlihat keluar dari mobil setelah menutupi sebagian wajah tampannya dengan masker, ia lalu membukakan pintu mobil untuk Alessandra, hingga se
Pagi ini sudah lebih dari sepuluh menit Alessandra mengalami mual hebat akibat kehamilannya. Di saat seperti ini biasanya ada Tuan Aroon di sisinya yang selalu siaga. Namun, pagi ini pria itu tak ada di dekatnya. Sudah semenjak dua hari ini ia sedang berada di luar kota untuk mengecek ketersediaan bahan baku kosmetik. Hal yang tak bisa ia wakilkan pada siapapun. "Ugh. Begini rasanya jadi wanita hamil," lirihnya sambil melihat perutnya yang masih datar setelah menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang. Tak terasa ia kini mengarahkan tangannya pada perut. Ia lalu mengusapnya dengan lembut. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan semenjak ia dinyatakan berbadan dua. "Kau benar hadir di sini?" ucapnya sambil terus mengelus. Matanya terlihat berkaca-kaca. Ia masih terus mengelus perutnya. "Maaf, baru menyapamu," ucapnya lagi. Kini matanya tak hanya berkaca-kaca, namun mata itu telah meneteskan airnya."Aku bahagia kau hadir. Sangat bahagia. Kau mengobati rasa kehilanganku terhadap seseor