Tampak seorang wanita berjalan tertatih-tatih melewati pintu masuk Aroon's Company. Tumit yang biasa terbungkus high heels kali ini terbingkai flatshoes. Nyeri luar biasa pada pangkal pahanya imbas dari aktivitas seksual dua malam lalu adalah alasan ia memilih sepatu tanpa hak tersebut. Pria gila itu memberinya pengalaman mengerikan sepanjang malam berikut jejak trauma yang memeluk begitu erat pada diri wanita berpipi sedikit chubby tersebut. Sweater krem pembungkus tubuhnya sekaligus penghalang tubuh penuh jejak kekerasan itu terekspos gamblang tampak memadu selaras dengan warna flatshoes-nya. Garis-garis muka Belicia menggambarkan wanita itu sedang menahan amarah yang berkecamuk dalam dada. Ia menoleh pada seorang resepsionis yang mengucapkan selamat datang padanya serta menanyakan perihal kedatangannya. "Baiklah, tunggu sebentar Nona," ucap si resepsionis setelah Belicia berkata ingin bertemu sang pimpinan. Ia lalu mengangkat gagang telepon. Tak berapa lama terdengar dirinya berb
"Manajermu bilang beberapa hari ini kau lepas dari jangkauannya. Kau pun melewatkan jadwal pemotretan. Apa yg terjadi, Belicia? Apa kau mulai bosan dengan profesimu?" sindir Revano. "Perusahaan tak kekurangan model sepertimu, bahkan yang melampauimu menjamur di sini."Dada Belicia berdenyut nyeri. Sekejam inikah dunia memperlakukannya? Belicia tak sekalipun pernah mencicipi rasanya dihargai apalagi dicintai, alih-alih selalu mendapat celaan dan kerapkali diremehkan. Perjuangannya untuk sampai di titik ini, menjadi seorang model di bawah naungan agensi terbaik Italia pun diiringi jejak cemoohan dari orang-orang terdekatnya yang menyangsikan ambisinya menjadi model sebab dinilai terlalu menghayal. Proporsi tubuhnya dulu yang kelebihan berat badan jelas memantik lahirnya suara-suara sumbang itu bersahutan menyakitkan. "Aku mengalami kecelakaan di dalam bathroom yang menyebabkan tulang pinggulku cedera, Bos. Aku melewatkan jadwal pemotretan karena khawatir tak optimal menjalankannya sehi
Kejadian beberapa detik lalu menjejakkan debaran-debaran impresif. Debaran kencang asing yang sebelumnya tak pernah ia rasakan di relung sunyi terdalamnya. Alessandra meletakkan telapak tangan di dada, disertai gerakan pundak naik turun sebab napasnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Kini jemarinya beralih menyentuh bibir, di sana jejak sentuhan manis yang beberapa detik lalu membuainya. "Ada apa dengan diriku?" monolognya di tengah kebingungan. "Ini tak seharusnya terjadi, ada apa dengan diriku? Tamparan pantas dia dapatkan, namun aku justru membalas ciumannya."Alessandra kian disusupi rasa asing, gelenyar tak wajar setelah kejadian di balkon beberapa waktu lalu. Ia yang sudah memakai jubah tidur dan telentang di ranjang menatap langit-langit, mencari-cari jawaban atas apa yang mengusik jiwa sekaligus pikirannya."Kau lancang, Mervile. Ya, kau lancang," desahnya sembari tak hentinya mencari jawaban. "Dan kau bodoh, Alessa. Kau biarkan dia berlaku lancang pada majikannya."Di teng
Menghela napas panjang, Alessandra menoleh padanya seraya mengernyitkan dahi. "Kelancanganmu rasa-rasanya meningkat akhir-akhir ini. Tak bisakah kau fokus saja mengemudi?"Alessandra merasa ucapannya menggelitik ruang dengarnya sendiri. Bagaimana bisa ia menghakimi sang bodyguard sementara ia sendiri menikmati kelancangan berbuah candu sekaligus mendamba hal serupa meski sekuat tenaga ia mengelaknya. "Kau akan menunjukkan apa malam ini?" tanyanya kemudian terdengar menentang kalimat yang baru saja terurai dari bibirnya."Izinkan saya mengajak Nona ke suatu tempat lalu saya akan menunjukkan sesuatu pada Nona," jawab Mervile membagi konsentrasi mengemudi dengan sesekali menoleh padanya. "Kau mengajakku berkencan?" Alessandra menggeleng heran, mengalihkan pandangan ke arah depan. "Ya Tuhan. Mervile, jangan-jangan kau telah berpikir konyol. Oke, oke. Semalam aku memang membalas ciumanmu, tapi itu adalah respons impulsifku. Jadi buang pikiranmu yang menduga aku menginginkan dan sesuka h
Alessandra dan Mervile berjalan tergesa-gesa sembari saling meremas telapak tangan keduanya yang sedari tadi terpaut. Keduanya berjalan resah dan gelisah, merasa jarak apartemennya berada lebih jauh dari biasanya. Kedua insan yeng sedang diterpa gelora hasrat menggebu itu langsung mempertemukan bibir dan saling melumat panas setelah melewati pintu masuk apartemen. Saling membelit lidah, menyapu rongga mulut begitu rakus sembari tangan keduanya yang membelai tubuh pasangan dengan resah, sementara kaki keduanya terus berjalan ke ruang pribadi sang empu apartemen. "Kau begitu mengejutkan, Nona," goda Mervile setelah melepas tautan bibirnya dengan posisi duduk di tepi ranjang sang nona, kedua tangannya berada di belakang menumpu tubuhnya yang terbungkus kemeja lusuh akibat ulah wanitanya, sedang jas hitamnya sudah terlepas dalam perjalanan penuh gairah ke kamar itu. "Kau yang merayuku," sahut Alessandra dengan suara serak, mengisyaratkan gelora hasrat masih menaunginya selaras binar mat
Sekali lagi Alessandra mengangguk pasrah, membuat Mervile tak dapat menahan untuk menaburkan kecupan di wajahnya. Mervile lalu menyuguhkan senyum paling menawan, sementara tangannya membelai sayang surai wanita pujaan. "Kupersembahkan diriku sepenuhnya untukmu, Amore."Mervile kemudian melumat bibirnya dengan lembut sembari tangannya mengirim sinyal rangsangan di bawah sana, membawa Alessandra ke tepi surga untuk kemudian siap mereguk air telaga di dalamnya. "Amore, kau ...." Mervile memandang sayu mata sang kekasih, suaranya terdengar dalam dan parau. Alessandra mengangguk, terlukis senyum di wajahnya yang kian merona. Mervile merasakan secercah bahagia. Bukan, bukan hanya secercah. Namun, sejuta bahagia bahkan tak terhingga. Wanitanya tak pernah dimiliki sepenuhnya pria yang beberapa waktu lalu nyaris membuat ia celaka. "Ini akan sakit, kau tak apa?" tanyanya kemudian dengan suara seraknya. "Lakukan, Mervile. Aku bahagia kau menjadi yang pertama." Mervile mengangguk tersenyum
"Semenjak menjadi sebatang kara aku tak pernah merasa sebahagia saat ini. Kau memberiku hal baru." Alessandra bersandar rapat pada dada bidang sang kekasih. Setelah keduanya melalui percintaan panas dan menggetarkan ranjang untuk kali ke dua, mereka mengistirahatkan tubuh yang lelah dengan bersantai menonton televisi di kamar bersejarah itu, meski tak benar-benar menontonnya sebab perhatian keduanya lebih tercurah pada satu sama lainnya.Mervile mempersembahkan dadanya sebagai sandaran paling nyaman kekasihnya, sedang ia sendiri bersandar pada headboard ranjang. "Aku bahagia menjadi yang pertama dan berkesan bagimu." Mervile meninggalkan satu kecupan di puncak kepalanya. Aroma menyegarkan yang menguar darinya seolah merayu Mervile untuk terus menghirupnya. "Kau yang terbaik." Alessandra mempertemukan bibir keduanya, mengecup singkat. "Kau yang terbaik, Amore," timpal Mervile lalu mengecup punggung tangan wanitanya. Aktivitas itu tak terhitung ia lakukan setelah percintaan mereka. I
Mata Alessandra berbinar bahagia. Tatapannya tak hentinya ia arahkan pada lilin-lilin elektrik warna warm yang berjajar di kiri kanan sepanjang ia melangkah. Ada mawar merah muda yang tersisip di antara jajaran lilin ukuran kecil itu, menyampaikan pesan romantis dari sang pencipta momen. Jajaran lilin itu mengantarkan langkahnya yang tanpa alas kaki itu pada sebuah tempat buatan yang terdiri dari satu meja bundar dan dua kursi dengan kain transparan putih yang membungkus indah. Di atas meja terhidang dua porsi chicken cordon bleu sebagai menu utama, dua shot marochino, gelato espresso sebagai hidangan penutup, dan candle holder berikut lilin-lilinnya disisipkan Mervile sebagai ikon romantis malam ini. Hati Mervile merasakan sapuan bahagia melihat kekasihnya tampak menyukai komponen dari momen yang ia ciptakan khusus untuk mereka. Ia semakin dialiri arus bahagia ketika Alessandra berbalik menoleh padanya dengan binar matanya yang seolah menyorotkan pesan 'aku teramat menyukai ini'. "