“Bagaiamana kabarmu?” tanya Theodor masih berada di posisi yang sama.Alice tersenyum samar, tubuhnya terasa lebih baik setelah beberapa hari mendapatkan perawatan terbaik. “Aku merasa lebih baik.”“Aku senang mendengarnya,” jawab Theodor dengan nada suara yang menggantung. “Kuharap kau segera pulih Alice, akan sangat menyenangkan bila melihatmu berhasil berjuang.”Alice tertunduk malu mengingat apa yang telah dia lakukan pagi kemarin. “Kau sudah berjuang sampai sejauh ini, mengorbankan banyak hal yang kau miliki. Jangan menyerah setelah Tuhan menjawab do’amu dengan menyingkiran orang-orang yang telah menyakitimu,” nasihat Theodor dengan suara yang tenang.Alice berkedip pelan, gadis itu mencerna kata-kata Theodor yang sudah menyadarkan dirinya bahwa kepergian Giselle dan orang-orang di rumah itu, mungkin adalah jawaban yang Tuhan berikan atas do’a Alice selama ini.“Apa yang ingin kau lakukan setelah ini Alice?” tanya Theodor.Alice terperanjat, teringat jika hari ini adalah terakhir
Bola mata Alice bergerak lembut menyapu pemandangan di sekitarnya, setiap penjuru kediaman keluarga Borsman memiliki banyak kenangan penting untuknya. Di tempat ini memberikan banyak keajaiban, mengubah hidup Alice menjadi lebih baik, mendorong Alice menjadi lebih kuat dan berani.Alice menatap lekat setiap penjuru rumah besar itu, dia ingin mengingatnya dengan baik-baik untuk dikenang.Alice sudah berpamitan kepada para pelayan, dan kini dia berhadapan dengan Damian yang sejak tadi duduk gelisah seakan berat untuk melepaskan kepergiannya.Sangat berat untuk Damian melepaskan Alice secepat ini, masih ada banyak hal yang ingin dia lakukan dan ingin dia berikan kepada Alice. Tapi apa yang bisa Damian lakukan jika pada akhirnya Alice memilih untuk tetap pergi dan berpisah dengan Hayes?Alice jauh lebih tahu apa yang sebenarnya dia butuhkan saat ini dan apa yang membuat dia bisa bahagia.Alice pergi dengan adiknya, dan satu-satunya hal yang kini bisa Damian lakukan adalah memantau Alice d
Dua bulan kemudian.“Dia kembali mengirimnya, lama-lama rumah kita akan menjadi taman bunga,” ucap Athur terdengar protes.Alice menopang dagunya, memandangi sebuah pot bunga yang kembali dia terima hari ini. Kali ini, Alice mendapatkan bunga anyelir putih.Athur memutuskan untuk berhenti sekolah dan menjual semua asset yang ada di kota Andreas. Athur membeli sebidang tanah dan membuka sebuah café di pinggiran pantai.Setelah satu minggu pindah dan mendapatkan rumah sederhana yang bisa dibeli dengan murah, setiap hari Alice mendapatkan kiriman bunga dari Hayes.Alice tidak bisa menolaknya, dia juga tidak bisa membuangnya. Akhirnya bunga-bunga itu ia rawat dengan baik, mengisi halaman kosong yang tandus. Karena bunga-bunga pemberian Hayes, halaman tandus itu berubah menjadi indah ditumbuhi berbagai jenis bunga.Rupanya penolakan Alice tidak membuat Hayes menyerah, pria itu masih berusaha untuk mengajaknya kembali bersama.Pandangan Alice teralihkan, gadis itu tersenyum melihat meja temb
Samuel bertolak pinggang dengan bangga, melihat mansion Crissan Gordon yang sudah lama dibiarkan begitu saja, kini akhirnya diramaikan banyak orang. yang datang untuk menghadiri pesta ulang tahun Theodor.“Tuan Muda, saya sangat terharu. Tuan Crissan pasti bahagia melihat mansion utamanya kini kembali ramai,” ucap Samuel dengan mata berkaca-kaca.Theodor tersenyum tenang. “Sebaiknya kau masuk Samuel, banyak tamu undangan yang mencariku.”Bibir Samuel mencebik, kebisaaan Theodor yang sulit untuk di ajak bicara masih tidak berubah. “Baiklah,” jawab Samuel yang dengan berat hatinya pergi masuk ke dalam ruangan meninggalkan Theodor berdiri sendirian di balkon.Angin berhembus kencang membawa banyak kerinduan, Theodor menantikan kedatangan Alice yang terasa begitu lama.Sudah lama mereka tidak berjumpa, karena kesibukan pekerjaan, Theodor tidak memiliki banyak waktu luang untuk pulang pergi melewati pulau.Samar Theodor tersenyum, teringat pertemuan terakhir mereka yang mengesankan. Alice
Musim dingin, kota Andreas.Gemersik suara angin terdengar di kesunyian, matahari masih belum menunjukan dirinya. Hayes terbangun dari tidurnya, bulu matanya yang panjang itu bergerak pelan, menaungi sepasang mata zambrudnya yang langsung memandangi sofa kosong di depannya. Sebuah sofa yang penuh dengan serangkai kenangan dan mengubah seluruh hidupnya.Di sofa hijau tua itu, terdapat sebuah selimut dan bantal yang tidak pernah ada satu orangpun diizinkan untuk mengubah posisinya dan menyentuhnya.Tempat itu sudah seperti sebuah artefak yang tidak bisa disentuh karena jika disentuh, akan menghilangkan jejak berharga di permukaannya.Bula mata Hayes kembali bergerak, berkedip pelan, penglihatan samar-samar melihat butiran salju yang turun di luar.Sekali lagi lagi Hayes melihat sofa kosong itu, sesuatu yang sudah menjadi pemandangan pertama yang dia lihat dalam waktu tiga bulan terakhir ini.Hayes memejamkan matanya perlahan, aroma pagi dibawah salju yang turun. Pria itu bercumbu deng
Sebuah cincin bertahtakan berlian kuning berada dalam genggaman. Theodor mengangkatnya, pria itu tidak berhenti memandanginya sejak tadi.Cincin itu dia dapatkan dari sebuah pelelangan. Sang seniman pemilik cincin itu mengatakan bahwa bahwa cincin itu melambangkan bunga matahari yang mekar di musim panas, dibawah langit biru yang cerah.Saat melihat cincin itu, Theodor teringat dengan kenangan indahnya bersama Alice di bawah pohon ginkgo, di antara hamparan daun kuning yang berguguran. “Kenapa Anda hanya memandangnya? Pergilah dan lamar nona Alice,” nasihat Samuel yang sejak tadi duduk membaca beberapa laporan di document.Samuel tahu betul Theodor harus mengeluarkan hampir delapan ratus ribu dollar hanya untuk cincin itu dan mengalahkan beberapa kolektor perhiasan.“Melamar tidak semudah memetik bunga.”“Jika Anda tidak melamarnya dalam waktu dekat, lalu kapan?” tanya Samuel tidak sabaran.Awalnya Samuel tidak suka dan tidak setuju jika Theodor terlalu dekat dengan Alice karena stat
Bibir Alice terkatup rapat, gadis itu mengerjap memastikan jika apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sebuah ilusi. Beberapa butir salju yang berada di bahu Hayes menarik perhatian. “Lama tidak bertemu,” sapa Hayes dengan senyuman dan berhsil membuat Alice terlonjak kaget hingga mundur menjauh.Pria itu benar-benar Hayes Borsman, mantan suaminya, laki-laki yang terakhir kali Alice lihat di pesta ulang tahun Theodor. Dengan wajah pucat Alice mendongkak menatap bingung.Sekali lagi Alice mengerjap, Alice tidak mengerti, bagaimana bisa Hayes datang ke rumahnya?“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Alice terbata.“Apa aku boleh masuk?” Alice balik bertanya.Alice melihat ke belakang, gadis itu mengusap sikunya merasa tidak nyaman. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, tidak pula berkomunikasi meski Hayes masih mengirimnya bunga setiap hari.Tetap saja, Alice canggung harus berbicara apa jika nanti Hayes masuk ke dalam, terlebih Athur tengah pergi.Angin berhembus kencang, salju ya
"Alice, apa besok kau memiliki waktu?”“Untuk apa?” Alice balik bertanya.“Aku ingin tahu tentang sudut tempat di daerah ini, kau sudah tinggal selama tiga bulan, mungkin kau bisa menemanimuku pergi,” ucap Hayes dengan tenang tidak menunjukan sedikitpun keraguan.Alice menelan salivanya dengan kesulitan, dia ragu menerima ajakan Hayes, disisi lain Alice bingung bagaimana cara menolaknya. “Kau akan lama tinggal di sini?”“Sampai urusanku di sini selesai. Karena itu, kau mau kan Alice?” tanya Hayes lagi, mendesak sebuah jawaban.“Baiklah,” jawab Alice samar terdengar.Hayes membalasnya dengan senyuman puas, pria itu segera beranjak dari duduknya. “Sebaiknya aku pergi saja, sampai jumpa besok.”“Sampai jumpa,” jawab Alice.Hayes berbalik pergi, urusanya untuk malam ini akan sampai di sini saja karena hari esok Hayes akan kembali datang dan melakukan sebuah kemajuan yang lebih jauh.Hayes memasuki mobilnya, pria itu sempat dibuat terdiam memperhatikan Alice yang kini berdiri menatap bing