"Mama jangan lupa ya, nanti sore aku ikut Mama kerja." Suara riang Tasya memenuhi ruang makan. "Bilang sama Tante Linda jangan lupa hadiahnya," lanjutnya.
Najwa mengernyitkan dahinya. Linda memang sangat menyayangi anak ini, tapi untuk hadiah di setiap pertemuan terdengar berlebihan. Apalagi dia adalah tulang punggung keluarga, Najwa tidak mau Linda terbebani oleh permintaan anaknya. "Kamu minta apa sama Tante Linda?"
"Ish, Mama. Tasya nggak pernah minta-minta, loh, ya, Tante Linda sendiri yang janjiin Tasya. Tasya itu anak baik, Mama," protes Tasya.
Najwa tertawa mendengar pujian Tasya untuk dirinya sendiri. Tasya yang mandiri dan pengertian. Najwa sangat bersyukur memiliki Tasya dalam hidupnya.
" Ma, minggu depan Papi jadi pulang nggak? Kemarin pas Tasya bilang mau ada acara, Papi mau dateng katanya," celoteh Tasya di sela sarapan.
"Katanya, sih, gitu, semoga nggak ada halangan lagi biar Papi bisa cepet pulang. Kamu nanti dianter Mbak Nia ya ke sana, Mama nggak bisa jemput."
Hari ini banyak kegiatan yang harus Najwa pantau, mengingat akan banyak acara menuju acara puncak nanti malam. Meski sesibuk apa pun, Najwa akan tetap memprioritaskan anaknya.
"Siap, Mama, mbak Nia juga mau ketemu Om Bayu. Om Bayu sayang-sayang sama Mbak Nia, loh. Mama, kata Mbak Nia nggak boleh bilang sama Mama. Tapi kabar baik kan harus disampaikan ya. Om Bayu kan baik ya, Ma." Najwa benar-benar dibuat takjub akan tingkah anaknya, putri kecil yang dengan susah payah ia besarkan kini sudah begitu pandai berkata.
"Kamu sekarang kok tambah cerewet, sih, siapa yang ngajarin? Mbak Nia ya?"
"Mbak Nia itu pinter, Ma, dia bisa ajarin Tasya apa aja. Kemarin aja waktu ada tugas bikin surat untuk Ibunya itu Mbak Nia yang ajarin."
"Trus yang bilang Om Bayu sayang-sayang sama Mbak Nia itu siapa? Emang kamu ngerti sayang itu apa?" Najwa gemas melihat anaknya yang kini termasuk kids jaman now seperti kata Linda saat membanggakan Tasya.
"Tau, lah. Waktu Tasya lagi main, kan, Mbak Nia video call sama Om Bayu trus Om Bayu panggil Mbak Nia sayang kayak Papi panggil Mama. Berarti Om Bayu sayang-sayang sama Mbak Nia, kan?" Najwa tertawa mendengar penjelasan anaknya, anak sekarang benar-benar cepat besar.
"Udah, cepetan makannya. Mama harus cepat sampai Resort. Banyak kerjaan yang harus Mama selesaikan."
"Siap, Mama."
Tasya makan dengan lahap. Makan adalah salah satu hal favorit baginya.
***
Setelah pekerjaan yang melelahkan, akhirnya waktu makan siang pun tiba. Najwa tidak bisa mengulur waktu untuk makan, baginya tubuh harus diberi nutrisi tepat waktu.
Memilih makan di luar resort, Najwa ingin menenangkan suasana yang cukup melelahkan sedari pagi. Bertemu dengan banyak orang memang sudah menjadi tugasnya. Namun, sejujurnya ia tidak terlau suka berinteraksi dengan banyak orang. Harus memasang wajah riang dan ramah, membuat Najwa merasa lelah.
"Boleh gabung?" sapa seseorang dengan suara berat di depan Najwa. Tanpa melihat pun Najwa tahu siapa orangnya. Entah ini sebuah kebetulan, atau memang mereka ditakdirkan untuk bertemu.
Melihat Najwa hanya diam, Ferdi segera menarik kursi lalu duduk di depan Najwa. Saat dilihatnya meja Najwa hanya berisi semangkuk soto tanpa ada minuman di sana, Ferdi berinisiatif menawakan. "Belum pesen minum? Mau dipesenin sekalian?"
Najwa hanya menggeleng tanda penolakan. Melihat respon Najwa, membuat Ferdi sedikit kecewa. Mereka makan dalam hening hingga suara ponsel dari Najwa mengalihkan fokus mereka berdua, terdapat panggilan video dan langsung dijawab oleh Najwa.
"Lagi apa, udah makan?" Suara berat seorang pria terdengar di rungu Ferdi, sebuah tanda tanya muncul. Siapakah yang begitu perhatian pada Najwa?
"Ini lagi makan di kantin, Mas lagi apa?" Suara riang Najwa semakin membuat Ferdi penasaran akan sosok di seberang sana.
"Lagi kerja keras, minggu depan harus bisa pulang. Tasya minta dibeliin baju frozen katanya, buat acara di sekolah minggu depan. Kamu mau dibeliin apa?"
"Tadi pagi kata Tasya, Papi yang janji mau pulang. Kok, sekarang ada embel-embel Tasya minta sesuatu?"
"Masak nggak hafal anak sendiri? Dia kalau minta aku pulang pasti ada sesuatu. Mana ada dia biarin Papinya pulang dengan tangan kosong." Terdengar suara tawa cukup keras dari seberang sana yang membuat seseorang semakin penasaran. "Mas tutup dulu ya, ada temen nyamperin. Sampein Tasya kalau harus jemput Papi di Bandara."
Setelah Najwa mengiyakan permintaan dari si penelepon, akhirnya sambungan diputus olehnya.
"Kamu sudah menikah?" tanya Ferdi yang melihat Najwa sudah selesai dengan ponselnya.
Najwa cukup terkejut dengan pertanyaan Ferdi. Bisakah mereka hanya sebatas bekerja tanpa mengurusi urusan pribadi. Tidak cukupkah dia hidup bahagia bersama istri dan anaknya?
Najwa memandang Ferdi sekilas lalu beralih pada makanan yang masih tersisa di mangkuknya. "Apakah itu penting untuk Bapak?" tanya Najwa pada Ferdi tanpa melihat lelaki itu."Aku mau kita tetap baik-baik aja, Wa."Najwa tersenyum menanggapi ucapan Ferdi, apa selama ini mereka tidak baik-baik saja?"Saya hanya ingin kita berinteraksi masalah pekerjaan, selain itu anggap saya orang asing. Saya sudah bahagia dengan hidup saya sekarang dan Bapak juga begitu. Jadi jangan saling mengusik, ini cara saya berdamai dengan masa lalu," tegas Najwa. Berhubungan baik dengan mantan hanya untuk orang lain, Najwa tidak akan melakukan itu.Najwa berdiri dari duduknya, dia terpaksa meninggalkan makanan yang masih tersisa. "Saya permisi." Ia lalu berjalan pergi dari hadapan Ferdi.Ferdi menatap kepergian Najwa dengan perasaan yang tidak baik-baik saja. Selama lima tahun ini ia berharap bisa melihat Najwa dan dekat kembali dengannya namun kenyataan hari ini membuat harapannya pupus sudah.Pandangan Ferdi t
Setelah sambutan dan pesan-pesan dari pemilik perusahaan, acara dilanjutkan dengan penampilan sebuah grup band yang cukup terkenal. Banyak karyawan yang ikut bernyanyi bahkan ada yang menyumbang lagu di atas panggung.Najwa duduk di kursi yang sudah di sediakan bersama orang penting dari perusahaan tempat Ferdi bekerja, sepanjang acara Ferdi mencuri- curi pandang pada Najwa. Penampilan Najwa begitu memukau meski ia hanya duduk dan tersenyum, hanya sesekali menanggapi obrolan di meja itu.Pukul sebelas malam acara selesai, banyak dari peserta yang langsung berlalu ke kamar untuk istirahat. Najwa sendiri memilih segera menuju mobilnya di parkir dan pulang cepat demi melihat anaknya.Sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab, Najwa harus selalu mengikuti acara seperti ini hingga selesai dan memastikan klien puas."Kamu pulang sendiri?" Suara itu menghentikan langkah Najwa. Najwa begitu muak mendengar suara itu terus mengganggunya. Kenapa tidak menghiraukan permintaannya untuk tidak s
"Maaf, Pak, saya baru ingat," jawab Najwa ramah. Mau bagaimanapun, pria ini yang sudah memberi banyak uang untuknya minggu ini."Boleh saya bergabung?""Silahkan, saya juga baru pesan," jawab Najwa karena dilihatnya tempat lain sudah penuh."Anda tinggal di sekitar sini?" "Di blok sebelah, apa acaranya masih belum selesai?" Najwa heran, acara di resort sudah selesai tadi malam dan resort cukup jauh dari sini, tapi mengapa pria ini bisa nyasar di sini?"Saya pulang ke rumah Mama saya, dia tinggal di blok F. Kalau Mbak Najwa di blok apa? Maaf ya saya panggil Mbak aja, kayaknya kita seumuran.""Oh, nggak papa, Pak. Saya tinggal di blok E." "Wah, deket dong, ya. Padahal saya sering ke sini kalau weekend tapi nggak pernah ketemu Mbak, ya?" tanya Dafa antusias. Dari awal bertemu memang ada ketertarikan yang Dafa rasakan pada wanita di hadapannya ini, tetapi Dafa tidak berani mendekati karena takut Najwa sudah bersuami."Saya jarang keluar rumah kalau nggak kerja, paling kalau minggu gini
"Ya, kok di sini, Pak?" tanya Najwa saat memandang orang yang menyapanya."Lagi anterin Mama belanja, Mbak sendiri lagi ngapain di sini?" Kenapa Dafa merasa ia memang ditakdirkan untuk sering bertemu Najwa, meski kecewa dengan status Najwa, tetapi dia tetap senang bisa melihat Najwa."Lagi anterin anak saya main, silahkan dilanjut, Pak. Mungkin ibunya sudah menunggu."Dafa tersenyum lalu pergi dari sana, dia tau kalau Najwa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sekarang dia semakin yakin kalau Najwa sudah memiliki pasangan."Siapa tadi?" Tania, ibu dari Bian yang duduk di samping Najwa mulai kepo pada sosok yang baru saja diusir oleh Najwa."Klien yang kemarin sewa resort buat acara." "Kok kayaknya udah akrab, udah kenal lama emang?" Feni, ibu dari Erlin ikut menanggapi."Nggak juga, sih, kemarin cuma sempat ngobrol karena rumah Mamanya satu komplek sama rumahku cuma beda blok aja," jelas Najwa."Kayaknya ada sinyal suka, tuh. Ketipu ama umurmu kayaknya. Dikira masih seumuran dia kali ya
Setelah hening cukup lama, akhirnya Najwa punya cara untuk menjelaskan pada putrinya tentang keluarga yang mereka jalani."Kamu cuma tau dari Fira, kan, kalau keluarga harus kumpul setiap hari, tapi nggak semua harus gitu, Sayang. Contohnya Erlin, Papa Erlin juga nggak pulang tiap hari, kan? Tapi Erlin baik-baik aja. Najwa membelai rambut anaknya, anaknya yang dulu begitu kecil dalam gendongannya kini telah tumbuh dengan cepat."Kok Tasya nggak inget ya kalau Papanya Erlin juga nggak pulang, yang penting uangnya pulang." Sontak ucapan Tasya membuat Najwa terkejut, bagaimana bisa anaknya berfikiran seperti itu."Siapa yang ngajarin gitu?""Tante Feni, pas Erlin tanya gitu tante Feni jawab yang penting uangnya pulang biar bisa beli-beli yang dimau." Tawa Najwa tidak bisa ditahan saat mendengar jawaban polos Tasya. Feni memang terkenal ceplas-ceplos kalau bicara."Sekarang nggak sedih lagi, kan? Atau mau ikut Papi aja, sekolahnya pindah?" tanya Najwa menahan tawa."Nggak mau, Oma galak. T
"Cantik bener, mau ke mana?" Dilihatnya putri kesayangan yang sudah rapi."Jemput Papi. Katanya, kan, mau dateng hari ini," ujar Tasya gembira."Ini masih jam dua, Papi sampek Bandara jam lima, kelamaan, Sayang. Ngapain juga nunggu di sana lama-lama, panas loh.""Kenapa nggak bilang dari tadi? Tau gitu Tasya nggak mandi dulu, mbak Nia, sih, nggak ngomong gitu," omel Tasya pada pengasuhnya."Tadi katanya pengen cepet-cepet biar nggak terlambat, mbak Nia, kan, udah bilang kalau masih lama," ucap Nia menjelaskan."Udah, dong, jangan ngambek, nonton tivi aja dulu. Nanti kalau udah mau berangkat Mama panggil." Dengan pasrah Tasya menurut pada sang Mama, terlalu bersemangat membuat Tasya menjadi rajin mandi.Najwa kembali berkutat pada laptop di depannya, hari ini ia bekerja dari rumah karena sore nanti akan menjemput orang spesial. Terselip rasa rindu dan keinginan untuk bercerita banyak hal.Najwa bersyukur memiliki asisten seperti Linda, dia sangat cekatan dan jujur. Bekerja selama empa
"Kok, sudah siap semua, Mama nggak dibangunin?" Pemandangan pagi yang begitu menyejukkan hati. Tasya duduk dalam pangkuan Papinya dengan mulut penuh makanan, Najwa benar-benar terlelap hingga matahari sudah terlihat."Mama, sih, bangunnya kesiangan. Baju Tasya cantik nggak, Ma?" Tasya segera turun dari pangkuan sang Papi demi memperlihatkan baju yang dibawakan Papinya."Cantik banget, yang pakek juga cantik. Siapa yang dandanin?""Mbak Nia, dong, dia, kan, bisa segalanya. Yang ajarin baca puisi sampai bisa juga Mbak Nia. Pokoknya Mbak Nia the best, deh." Semua tertawa menanggapi celotehan Tasya, Tasya yang selalu ceria memang membuat semua orang sayang padanya.Setelah selesai sarapan, Tasya bersama Papi dan pengasuhnya segera berangkat menuju sekolah Tasya. Najwa pun bersiap untuk pergi bekerja.Pukul sembilan Najwa sudah tiba di resort, suasana cukup ramai meski ini masih hari jum'at.Najwa segera masuk ruang rapat karena semua sudah menunggu di sana. Akan ada parade budaya di lapan
"Kamu ngapain ngelamun di sini?" pertanyaan itu menyentak ingatan Najwa, ia tersadar dari bayangan masa lalu."Jangan banyak melamun, nanti sakit, loh. Kamu kurus banget sekarang, kayak nggak tak kasih uang buat makan," celoteh sang pria sontak membuat Najwa terkekeh."Aku emang lagi diet, biar bisa jadi model kaya cita-cita Tasya," sahutnya masih dengan tawa berderai."Mana ada model kerempeng kayak kamu. Yang ada bajunya kedodoran semua. Mikirin apa, sih?""Sebenarnya tadi cuma pengen duduk aja di sini, tapi karena sendirian jadi keinget kejadian dulu-dulu." "Jangan diinget terus, dong. Nanti kamu sakit, aku yang repot. Udah makan, belum?" "Udah tadi pas baru dateng, Tasya masih tidur?" tanya Najwa saat tidak melihat anaknya."Udah, kecapean kayaknya. Tadi keren banget, loh, dia, bagus banget pas baca puisi. Tingkat pedenya itu nurun aku banget." "Emang, banyak banget yang nurun sifat kamu, Mas. Akunya cuma dikit doang." Mereka pun tertawa bersama."Masih belum siap membuka hati?
Tasya dan Bian menoleh, ternyata Dafa sudah berdiri di ambang pintu."Om." Bian mendekat, ia lalu mencium tangan Dafa."Baru nyampek, Pa," jawab Tasya seraya mendekati papanya."Mau masuk dulu?" tawar Dafa.Sebenarnya Bian tidak enak hati untuk menolak, tetapi ia harus segera pulang. Besok pagi sekali dia harus kembali ke kota sebelah untuk mengumpulkan rupiah."Lain kali aja, Om. Ditungguin mama," tolak Bian. "Kalau gitu Bian pulang, ya, Om. Salam buat mama Najwa sama Davin."Bian berjalan keluar gerbang, Dafa mengikuti untuk menutup gerbangnya. "Udah makan?" tanya Dafa seraya merangkul pundak anaknya, lalu mereka masuk bersama."Udah," jawab Tasya. "Mama sama Davin mana?" Dilihatnya tidak ada orang selain Dafa."Davin lagi ke rumah temennya. Kalau mama ada di kamar. Mau dipanggilin?"Tasya menggeleng. "Papa kalau udah capek istirahat aja, Tasya mau ke atas," ujar Tasya. Ia kini berjalan meninggalkan Dafa."Sya."Tasya berhenti saat papanya memanggil. Lama Tasya memperhatikan papany
"Kapan nih, nikah? Tante udah nggak sabar lihat kalian di pelaminan," tanya Rania. Kini acara susah selesai. Selain keluarga inti Bian, tinggal Tasya dan Rania beserta keluarganya.Mereka tengah berkumpul di ruang tengah. Saat ini Tania sedang berganti baju, tinggallah Rania dan Tasya di sana."Doakan saja, Tante," jawab Tasya. Semua masih rencana, tidak baik untuk diutarakan."Anak Tante sebenarnya juga udah waktunya nikah, tapi sampai sekarang anteng-anteng aja. Nggak tau maunya yang kayak gimana," ujar Rania. Usia anak sulungnya selisih tujuh tahun dari Bian dan Tasya. Harusnya Revan sudah menikah dan Rania susah menimang cucu. Tapi apalah daya, anaknya masih betah sendiri hingga usia tiga puluhan."Mungkin memang belum ketemu jodohnya, Tante," jawab Tasya. Tidak mungkin ia mengatakan karena anak Rania itu memang sombong, jadi susah mendapatkan pasangan. Pasti Rania akan marah padanya."Mbak Tasya, mau minta foto." Radea, anak kedua Rania datang menghampiri."Boleh," jawab Tasya.
"Ma, aku mau berangkat dulu, ya," pamit Tasya pada ibunya.Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tasya kini sudah beranjak dewasa. Ia bahkan sudah menjalin kasih dengan Bian, sahabat yang dipuja Tasya sejak kecil."Iya, salam buat mama Tania, ya."Najwa masih sibuk di dapur untuk membuat makan siang. Dafa masih bekerja, sementara Davin belum pulang dari sekolah."Siap, Mamaku yang paling cantik."Tasya mencium pipi mamanya, setelah itu Bian bersalaman dengan Najwa untuk berpamitan."Bian pergi dulu, ya, Ma. Nanti Tasyanya Bian anterin agak malam. Setelah acara selesai," ujar Bian pada Najwa."Iya, Sayang. Mama nitip Tasya. Nanti kalau rewel kamu jewer aja.""Ih, Mama. Tasya udah gede, ya. Nggak ada rewel-rewel segala," protes Tasya yang membuat Najwa dan Bian tertawa.Tasya dan Bian menaiki mobil. Mereka akan pergi ke rumah Bian untuk menghadiri acara keluarga. Sudah beberapa kali Tasya menghadiri acara keluarga di rumah Bian, begitu pun dengan Bian yang juga sering ikut saat ada
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Kedekatan antara Ferdi dan Rina akhirnya berakhir ke pelaminan.Saat ini Najwa dan Dafa tengah mempersiapkan perjalanan menuju rumah Ferdi, sementara Tasya sudah di sana sejak beberapa hari yang lalu."Udah masuk semua?" tanya Dafa. Sedari tadi ia sudah memasukkan beberapa tas ke dalam bagasi mobil."Udah kayaknya," jawab Najwa seraya melihat barang-barang yang sudah masuk.Rencananya Najwa dan Dafa akan menginap selama dua hari, sementara Tasya akan menginap selama satu minggu."Aku ganti baju dulu, Davin masih tidur di kamar bawah," ujar Najwa seraya meninggalkan Dafa yang tengah memanasi mobil.Najwa tidak langsung memakai baju untuk acara, tetapi ia memakai baju biasa dulu. Mengingat perjalanan dari rumahnya menuju rumah Ferdi cukup jauh.Mereka berangkat setelah semua sudah siap. Davin masih terlelap saat mereka memulai perjalanan.Sesampainya di rumah Ferdi, suasana sudah sangat meriah. Pesta akan dilaksanakan di rumah Ferdi saja karena
"Rudi yang bilang, Ma?" tanya Dafa pada ibunya Nila. Mereka sudah sangat akrab dari Dafa kecil, jadilah Dafa memanggilnya mama juga."Iya," jawab Lastri. "Mama mau minta maaf atas nama Nila dan Rudi. Selama ini mereka sudah nyakitin kamu. Mama masih punya banyak uang untuk membayarnya dan itu juga bukan tanggung jawabmu," lanjut Lastri.Sejahat apa pun Nila dan Rudi, Dafa tetap menyayangi Lastri. Baginya, Lastri tetaplah ibu yang baik."Dafa emang pengen ngasih, tapi bukan paksaan dari Rudi juga. Ini murni keinginan Dafa. Mama terima, semoga bisa membantu." Dafa menyerahkan amplop pada Lastri. Sebelum ini, ia sudah berbicara pada istrinya dan mereka sepakat untuk memberi sumbangan."Jangan, Nak. Mama nggak mau bebanin kamu," tolak Lastri seraya mengembalikan amplop itu pada Dafa."Dafa ikhlas, Ma. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat. Terima ya, Ma." Akhirnya Lastri mengalah. Ia menerima uang pemberian dari Dafa seraya mengucap terimakasih.Hingga sore Dafa dan Najwa masih berad
"Ada apa?" Najwa bertanya saat dilihatnya suaminya hanya diam seraya menatap ponsel yang menyala."Lihat ini." Dafa memberikan ponselnya pada Najwa.Najwa menggelengkan kepalanya. Merasa heran karena masih ada orang yang tidak tahu malu macam Rudi."Kamu nggak perlu menanggapinya. Ini bukan tanggung jawabmu, Mas."Najwa menyerahkan kembali ponsel Dafa, ia lalu meraih Davin untuk memandikan anak itu.Dafa memilih memblokir nomor Rudi. Ia tidak ingin rasa sakit hati mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Rudi sudah sangat dewasa untuk mengatasi masalahnya sendiri."Aku mau beli nasi goreng dulu, ya," pamit Dafa."Iya," jawab Najwa dari kejauhan. Ia sudah bersiap untuk melepas baju Davin.Davin sudah wangi dan tampan. Rambutnya yang lebat dibelah pinggir. Pipi besarnya membuat siapa pun pasti gemas saat melihat Davin.Davin kini sudah kembali bermain, sementara Najwa mengambil piring untuk menikmati nasi goreng yang dibeli Dafa."Mama tadi kirim pesan," ujar Dafa seraya menyuap nasi gore
"lucu kamu, Rud." Hanya itu komentar Dafa. "Maafkan atas semua kesalahanku dulu, Daf. Aku tau kamu masih marah, tapi tolong pikirkan nasib anak kecil yang tengah kritis."Andai tidak kritis, pasti Rudi tidak akan datang menemui Dafa."Aku serius, Daf. Saat ini anak aku di rumah sakit sama ibunya. Anakku butuh donor darah karen dia sudah kehabisan banyak darah," ungkap Rudi.Dafa tidak habis pikir kenapa dulu ia bisa bersahabat dengan orang-orang yang tidak punya hati."Cari saja orang lain, itu bukan urusanku."Secara tiba-tiba Rudi merosot, ia kini sudah bersimpuh memohon pada Dafa. "Kali ini saja, aku mohon bantuin aku. Cuma kamu satu-satunya harapanku, Daf."Dafa memalingkan wajahnya. Satu sisi ia tidak tega dengan anak itu, tapi di sisi lain ia juga amat membenci orang tuanya."Pergi kamu!" usir Dafa."Kamu mau bantu kan, Daf?" Rudi masih saja memohon."Lihat nanti," ujar Dafa seraya beranjak dari tempatnya duduk. "Pergi dari sini kalau mau aku bantu," lanjut Dafa.Wajah Rudi kin
Dafa hanya membunyikan klakson sebagai tanda pada orang yang ada di dalam untuk membukakan pintu. Ia tidak sedikit pun berniat untuk turun dari mobil menemui Rudi.Najwa turun terlebih dahulu setelah mobil berhenti di halaman rumah mereka, sementara Dafa masih terdiam di tempatnya."Sayang, aku bawa Davin masuk dulu. Abis ini aku ke sini lagi," ujar Najwa. Ia sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan suaminya. "Kalau kamu belum siap ketemu, tunggu aku aja," lanjutnya lalu meninggalkan Dafa untuk membawa Davin ke kamarnya."Pak, ada tamu yang ingin bertemu," ujar Seto setelah mengetuk pintu mobil majikannya itu.Dafa menghela napas kasar. Semua sudah berlalu, Dafa memang harus berdamai dengan masa lalu."Suruh dia masuk, Pak," putus Dafa. Ia turun dari mobil. Berjalan dengan gontai ke dalam rumah.Dafa terus berjalan hingga ia sampai di dapur. Dafa mengisi gelas kosong dengan air dingin. Berharap isi kepalanya juga ikut dingin."Tenang. Semua masalah pasti bisa kamu atasi. Ada aku di
"Lho, ada tamu ternyata."Najwa dan Dafa menoleh saat ada seseorang yang datang ke rumah Ferdi. Ternyata itu adalah Rina, ibu dari Sena."Ini ibunya Sena?" Najwa segera berdiri untuk menghampiri Rina.Rina menerima uluran tangan Najwa. "Iya, Mbak. Saya Rina.""Saya Najwa, ibunya Tasya," ujar Najwa memperkenalkan diri. Beberapa kali hanya mengetahui dari cerita anaknya, akhirnya kini Najwa bisa berkenalan secara langsung.Cantik, adalah kesan pertama yang Najwa lihat dari Rina. Orangnya juga ramah dan supel. "Saya kira tadi Tasya dijemput papanya seperti biasa, ternyata dianterin sekeluarga ke sini. Akhirnya bisa ketemu juga ya, Mbak."Rina kini ikut duduk di ruang tamu Ferdi, bercengkrama dengan keluarga Najwa."Tasya itu anaknya ceria banget, jadinya Sena kebawa suasana. Biasanya dia pendiam kalau pas sendiri. Makanya saya senang kalau Tasya pas nginep sini," ujar Rina berterus terang.Sena sudah berusia delapan tahun saat orang tuanya bercerai, jadi wajar kalau ia mengalami dampak