Share

Bab 110. Sadar

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-27 08:01:32

Murni mengambil kesempatan itu, maju beberapa langkah, meskipun tubuhnya gemetar. "Bapak Prawiro... jika benar kau merasa sendirian, kami akan ada untukmu. Kami ingin mengenalmu sebagai keluarga. Kami ingin belajar dari kesalahan masa lalu. Tolong... beri kami kesempatan."

Murni perlahan melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Matanya terus menatap Prawiro, sosok yang pernah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya, meski kini wujudnya jauh dari manusia. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya, namun keberanian dalam hatinya mengalahkan segalanya.

Joko, yang sejak tadi berdiri di belakang Murni, tersentak melihat istrinya maju tanpa rasa gentar. "Murni! Jangan!" serunya dengan nada penuh kecemasan. Ia ingin melangkah maju, tetapi tangan Aji tiba-tiba menahannya dari belakang.

"Mas Joko," bisik Aji dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Biarkan dia, Mas. Mbak Murni tahu apa yang dia lakukan."

Joko menoleh ke arah Aji dengan wajah bingung
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (38)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
loh koq pak Prawiro kenapa GK mau melawan kekuatan gelap sih..usaha murni dan kyai Hasan terasa sia-sia
goodnovel comment avatar
Albhi Lutfianto
kirain prawiro bakal kembali bersama murni dan aji nyatanya dia tidak bisa kembali, ternyata kegelapan yg ada pada tubuh prawiro terlalu kuat, kasihan sekali prawiro......
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
pada dasarnya Prawiro hanya kesepian dan butuh sosok utk menemani dan menganggapnya sebagai keluarga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 111. Napas Terkahir

    Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 112. Ketenangan

    Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 113. Masih Misteri

    Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 114. Ditemukan

    RAHASIA DI BAWAH TANAHMalam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara.Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar.Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran.Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain."Gali... tanah ini...."Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar."Rah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 115. Pergi

    Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 1. Kematian Bapak

    “Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paim

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 115. Pergi

    Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 114. Ditemukan

    RAHASIA DI BAWAH TANAHMalam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara.Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar.Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran.Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain."Gali... tanah ini...."Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar."Rah

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 113. Masih Misteri

    Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 112. Ketenangan

    Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 111. Napas Terkahir

    Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 110. Sadar

    Murni mengambil kesempatan itu, maju beberapa langkah, meskipun tubuhnya gemetar. "Bapak Prawiro... jika benar kau merasa sendirian, kami akan ada untukmu. Kami ingin mengenalmu sebagai keluarga. Kami ingin belajar dari kesalahan masa lalu. Tolong... beri kami kesempatan."Murni perlahan melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Matanya terus menatap Prawiro, sosok yang pernah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya, meski kini wujudnya jauh dari manusia. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya, namun keberanian dalam hatinya mengalahkan segalanya.Joko, yang sejak tadi berdiri di belakang Murni, tersentak melihat istrinya maju tanpa rasa gentar. "Murni! Jangan!" serunya dengan nada penuh kecemasan. Ia ingin melangkah maju, tetapi tangan Aji tiba-tiba menahannya dari belakang."Mas Joko," bisik Aji dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Biarkan dia, Mas. Mbak Murni tahu apa yang dia lakukan."Joko menoleh ke arah Aji dengan wajah bingung

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 109. Nafsu Dendam

    Prawiro memutar tubuhnya dengan cepat, matanya yang merah menyala kini berkilat penuh amarah saat ia menatap sosok pria paruh baya yang muncul dari kegelapan. "Kenapa kau datang, Hasan?! Bukankah kau sudah cukup puas mencampuri hidupku selama ini?!" suaranya menggema di dalam gua, penuh dengan kebencian yang membara.Kyai Hasan berdiri tegap, wajahnya memancarkan ketenangan meskipun berada di hadapan makhluk menyeramkan seperti Prawiro. "Aku datang karena kau sudah terlalu jauh, Prawiro. Dendam ini... kebencian ini... hanya akan menghancurkanmu, bukan menyembuhkan luka-luka masa lalu."Prawiro tertawa getir, suara tawanya memantul di dinding-dinding gua yang dingin. "Menyembuhkan? Luka-luka ini tidak bisa disembuhkan, Hasan! Kau tahu itu lebih baik daripada siapa pun. Kau yang seharusnya mengerti! Kau adalah saksi bisu saat aku hancur!"Hasan menarik napas panjang, lalu melangkah mendekat. Suaranya rendah, namun penuh dengan ketegasan. "Aku tidak membela Raharjo, Prawiro. Aku tahu dia

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 108. Kejujuran

    Murni menatap Aji dengan ekspresi panik, tangannya terulur hendak meraih adiknya. "Aji, jangan! Diam! Jangan bilang apa-apa!" serunya, suara bergetar penuh kecemasan. Aji menatap kakaknya, wajahnya penuh tekad meskipun napasnya berat. "Mbak, aku harus mengatakan ini. Aku sudah mengerti sekarang... siapa makhluk ini, siapa sebenarnya dia." Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang mengancam mereka, yang masih tertawa dengan penuh penghinaan. Makhluk itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, seolah menikmati ketegangan yang terbangun. "Aji, Aji... kalian memang bodoh. Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpikir bisa menakut-nakuti aku? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu siapa aku?" Suaranya semakin mengancam, seakan-akan dia tahu betul kelemahan mereka. "Aku tahu siapa kamu," kata Aji dengan suara lebih keras, menekan setiap kata seolah itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. "Kamu... adalah Prawiro." Makhluk itu terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan A

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 107. Pengorbanan

    Makhluk itu berhenti mendadak, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Aji. Sorot matanya bagaikan bara api yang membakar, menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Tawanya yang bergema membuat gua itu terasa semakin sempit dan mencekam, seolah-olah udara di dalamnya ditarik keluar, menyisakan ketegangan yang menyesakkan. “Hahaha! Jadi, kau membawakanku bukan hanya satu, tapi dua-duanya anak Harjo?" Makhluk itu berkata dengan nada mengejek, suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggetarkan tanah. Lidah bercabangnya menjulur dari mulutnya yang lebar, melintasi deretan gigi tajam yang berkilauan. “Hebat! Aku tak menyangka kau akan sebaik ini memenuhi takdir kalian. Tentu saja, aku akan menikmatinya.” Aji berdiri di tempatnya, tubuhnya bergetar, tetapi ia menahan napas, memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuhnya, berusaha melawan rasa takut yang hampir melumpuhkannya. Ia menatap makhluk itu dengan mata yang menyalakan keberanian, meski

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status