Prabu Surya Buana yang tadi hanya diam menonton kini sadar bahwa pertarungan dua orang ini sudah harus dihentikan sekarang. Sebab keduanya tampak akan saling mencelakai satu sama lain, tak mustahil kalau pertemuan dua jurus itu bisa membuat keduanya tewas!
“Mpu Bhiantar, cepat hentikan mereka. Aku tidak ingin kalau dua pendekar ini jadi saling bunuh,” kata Prabu Surya Buana.
Mpu Bhiantar pun segera melompat ke udara, dia lalu mendarat tepat di tengah Damayanti dan Patrioda yang akan saling beradu jurus maut.
Pria tua itu langsung memukul bumi dengan telapak tangannya sambil bertariak, “Jurus Petir Memecah Bukit! Hiyaaa!”
Cahaya kilat keemasan seketika menjalar di tanah, lalu terjadilah sebuah ledakan! Patrioda dan Damayanti sontak langsung menarik pukulan mereka dan bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Mpu Bhiantar menghela nafas. Dia menurunkan kembali tenaga dalamnya. Sekarang Damayanti dan Patrioda sudah berhent
Sore hari di Desa Batu Delima para ketua adat dan juga pemuda-pemuda digemparkan oleh kedatangan Argani bersama rombonganya. Mereka kemari bertujuan mencari gadis-gadis perawan untuk menunaikan syarat dari Iblis Hitam.Dalam tradisi masyarat Desa Batu Delima ada tiga orang pria sepuh yang menduduki jabatan pemangku adat. Mereka dipilih karena dianggap sebagai tokoh yang paling dituakan, paling berilmu, dan paling bijaksana. Saat ini jabatan itu dipegang oleh Ki Kusuma, Ki Dharmawira, dan Ki Martadi.Yang usianya paling senja di antara tiga orang pemangku adat itu adalah Ki Martadi. Kakek tua ini berkepala botak, berkumis tebal dan berjenggot panjang yang sudah memutih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah ungu dan berjalan memakai tongkat.“Kami sudah lama mendengar cerita tentang kelompok kalian. Kalian semua pasti adalah Persaudaraan Iblis yang kabarnya banyak membunuh pendekar aliran putih, benar begitukan? Kalian memang manusia-manusia jahat!” ujar Ki Martadi.Manik Maya tersenyum d
Setelah menarik semua orang untuk mundur, Ki Martadi pun maju untuk menghadapi Celeng Ireng, kakek tua tersebut juga melakukan gerakan jurus silat dengan tongkat di tangannya.Huaaaah! Bersiaplah, wahai Kakek Tua!” Celeng Ireng memegang senjatanya dengan kedua tangan dan bersiap akan menombak. Dia pun berlari sambil menghunjamkan ujung trisulanya yang lancip ke arah Ki Martadi!Belum sempat Ki Martadi menangkis serangan itu, tiba-tiba ada seorang pendekar lain muncul dengan melayang berlari di udara, dia menerjang dahi Celeng Ireng hingga siluman babi itu pun jatuh terlentang.Penglihatan mata Celeng Ireng jadi berkunang-kunang, kepalanya terasa berdenyut-denyut, serangan tadi telah membikin dia kaget. Dengan bantuan tombak trisulanya, Celeng ireng berusaha untuk kembali berdiri.Pendekar yang baru muncul itu berdiri di samping Datuk Murtadi. Semua penduduk Desa Batu Delima sudah tak asing lagi melihat wajahnya, bahkan mereka tahu kalau sosok ini pa
“Hey, Jimbalang Loreng!” seru Panglima Surai Hitam seraya membuka lebar kedua kakinya dan mengepalkan tangan. “Tujuh belas tahun yang silam kau pernah mencelakai kakangku, Pangeran Surai Emas. Hari ini akan kubuat kau menerima balasan dari apa yang dahulu kau lakukan terhadapnya.”Jimbalang Loreng tentu masih sangat ingat dengan perstiwa lampau tersebut. Sewaktu dia akan membunuh pemangku adat sebelumnya yang bernama Ki Adiwiguna yang telah menolak pinangannya, tiba-tiba Pangeran Surai Emas muncul dan ikut campur, maka terjadilah pertarungan antara Jimbalang Loreng dengan pendekar itu.Dalam pertarungan tersebut Pangeran Surai Emas tidak mampu menandingi kehebatan Jimbalang Loreng, akhirnya dia pun mengalami luka parah. Menurut kabar yang Jimbalang Loreng dengar dari sebagian orang, Pangeran Surai Emas hanya mampu bertahan tiga hari saja setelah terkena gigitan Jimbalang Loreng, lalu setelah itu dia meninggal dunia.“Oh, jadi kau ma
Melihat Panglima Surai Hitam yang sudah terduduk lemah karena pengaruh racun Serbuk Tujuh Bunga, Jimbalang Loreng pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, mukanya sudah bonyok di hajar oleh Panglima Surai Hitam hingga bibirnya pecah dan giginya pun patah, kini saatnya bagi dia untuk membalas.Jimbalang Loreng merunduk dan menyentuhkan kedua telapak tanganya ke tanah. Dia mengaum sekeras-kerasnya. Semua orang yang hadir pun jadi tertegun, mereka memperhatikan pada pendekar harimau itu.Hanya dalam waktu sesaat, wujud Jimbalang Loreng berubah menjadi seekor harimau besar. Dia berlari menuju Panglima Surai Hitam yang sedang duduk, lalu menerkamnya dari belakang dan menggigit tepat di leher sebelah kiri.Ki Dharmawira tercengang menyaksikan pemandangan tersebut. “Biadab kau, Jimbalang Loreng!”Baru saja ketiga pemangku adat itu akan bertindak untuk menyelamatkan Panglima Surai Hitam, tapi Bayu Halimun, Manik Maya, dan juga Panglima Sanca langsung
Cambukan demi cambukan secara beruntun dilancarkan oleh ketiga pemangku ada itu. Celeng Ireng yang terkurung di tengah berusaha bertahan dengan menggunakan tombak trisula miliknya.Setiap kali pecutan yang deras tersebut mengenai ke dirinya, maka langsung terkelupaslah kulit badannya, membiru dan mengeluarkan darah. Jika satu atau pun dua pecutan berhasil dia elak, maka pecutan yang lain melancar lagi dari arah yang berbeda dan melukainya.Semakin lama Celeng Ireng berada dalam kurungan formasi segitiga itu, semakin dirinya dibuat kalang kabut menghadapi setiap serangan dari para pemangku adat itu. Sesekali Celeng Ireng melakukan gerakan bersalto dan melayang sambil berputar untuk menghindar, namun tetap saja selalu ada cambukan yang berhasil mengenai dirinya.Manik Maya menggigit bibir bawah karena ngilu melihat keadaan Celeng Ireng. Siluman babi itu tampak kewalahan dihajar oleh mereka bertiga Dia pun berucap, “Jadi, ini yang dinakaman jurus Melipat Bumi
Akar-akar hitam berukuran besar yang menjalar dari dalam tanah itu semakin kencang saja melilit tubuh Argani. Sekarang badannya tiba-tiba merasakan kesemutan, aliran darahnya tertahan oleh kuatnya belenggu itu.Ki Martadi terus berkonsentrasi, dia berusaha menambah kekuatan pada akar-akar itu agar lilitannya jadi terus semakin kencang, Namun, di saat sekumpulan akar itu mencapai puncak kekuatannya, dari badan Argani tiba-tiba terpancarlah cahaya kilat yang terang benderang!“Eaaaa!”Ledakan yang dahsyat muncul dari badan Argani. Semua akar yang tadi membelenggunya seketika hancur begitu saja. Argani merentangkan kedua tangannya dalam keadaan terkepal, cahaya kilat tampak sangat terang menari-nari di sekitar tubuhnya.Ki Martadi sontak terbelalak setelah tahu betapa besarnya kekuatan yang dimiliki oleh Argani. “Apa? dia mampu menghancurkan belenggu Rambut Bumi! Kesaktian orang ini memang sudah setara dengan Iblis!”Akhirnya t
Malam hari setelah syafak merah tenggelam di ufuk barat, rembulan munyala terang menghiasi langit dan taburan bintang berkelap-kelip, Giandra bersama Tubagus Dharmasuri dan juga Kamajaya tengah duduk di sebuah ruangan dalam Padepokan Rajawali Angkasa.Kamajaya menuangkan kopi hangat ke dalam gelas-gelas yang tersedia di meja. Giandra mengambil salah satunya dan memberikan minuman itu kepada Tubagus Dharmasuri.Sudah genap satu minggu lamanya patih kerajaan itu berada di sini untuk melatih Giandra, dan malam ini adalah malam terakhir bagi mereka untuk duduk bersama sambil menikmati kopi tubruk.“Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan yang kaupelajari telah sempurna hingga tingkatan kesembilan, Giandra. Besok tiba waktunya kita harus pergi ke istana dan bergabung dengan para pendekar yang lain,” ujar Tubagus Dharmasuri.Giandra mengangguk, “Malam ini Gusti Patih harus beristirahat, sebab perjalanan besok cukup panjang dan tentu akan sangat m
Di halaman Istana yang sejuk, penuh dengan aneka bunga-bunga dan pohon yang hijau, Puteri Seroja sedang berjalan ditemani oleh dua orang dayang.Selagi malam masih belum larut, dia sejenak ingin berkeliling menikmati suasana, menghirup udara segar sambil menatap keindahan bintang-bintang yang bertaburan di langit.Halaman istana ini tetap terang walaupun saat malam hari, karena ada banyak sekali obor-obor yang terikat pada setiap batang bambu di sekitaran halaman.Aroma bunga cempaka, mawar, dan juga melati menyemerbak harum, suasana langit begitu cerah, tak ada sedikit pun awan hitam yang bertengger di wajah rembulan.Patrioda rupanya juga sedang berada di luar, dia menguntit Puteri Seroja secara diam-diam, sambil mengendap di antara pohon bunga, dia terus memperhatikan kecantikan wanita itu.“Kau sungguh cantik, Puteri Seroja. Andai wanita sepertimu bisa menjadi milikku,” batinnya dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Dia sangat be
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya