Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 100 : Belenggu Rambut Bumi

Share

Bab 100 : Belenggu Rambut Bumi

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-09 09:00:00

Cambukan demi cambukan secara beruntun dilancarkan oleh ketiga pemangku ada itu. Celeng Ireng yang terkurung di tengah berusaha bertahan dengan menggunakan tombak trisula miliknya.

Setiap kali pecutan yang deras tersebut mengenai ke dirinya, maka langsung terkelupaslah kulit badannya, membiru dan mengeluarkan darah. Jika satu atau pun dua pecutan berhasil dia elak, maka pecutan yang lain melancar lagi dari arah yang berbeda dan melukainya.

Semakin lama Celeng Ireng berada dalam kurungan formasi segitiga itu, semakin dirinya dibuat kalang kabut menghadapi setiap serangan dari para pemangku adat itu. Sesekali Celeng Ireng melakukan gerakan bersalto dan melayang sambil berputar untuk menghindar, namun tetap saja selalu ada cambukan yang berhasil mengenai dirinya.

Manik Maya menggigit bibir bawah karena ngilu melihat keadaan Celeng Ireng. Siluman babi itu tampak kewalahan dihajar oleh mereka bertiga Dia pun berucap, “Jadi, ini yang dinakaman jurus Melipat Bumi

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 101 : Manusia Berkekuatan Iblis

    Akar-akar hitam berukuran besar yang menjalar dari dalam tanah itu semakin kencang saja melilit tubuh Argani. Sekarang badannya tiba-tiba merasakan kesemutan, aliran darahnya tertahan oleh kuatnya belenggu itu.Ki Martadi terus berkonsentrasi, dia berusaha menambah kekuatan pada akar-akar itu agar lilitannya jadi terus semakin kencang, Namun, di saat sekumpulan akar itu mencapai puncak kekuatannya, dari badan Argani tiba-tiba terpancarlah cahaya kilat yang terang benderang!“Eaaaa!”Ledakan yang dahsyat muncul dari badan Argani. Semua akar yang tadi membelenggunya seketika hancur begitu saja. Argani merentangkan kedua tangannya dalam keadaan terkepal, cahaya kilat tampak sangat terang menari-nari di sekitar tubuhnya.Ki Martadi sontak terbelalak setelah tahu betapa besarnya kekuatan yang dimiliki oleh Argani. “Apa? dia mampu menghancurkan belenggu Rambut Bumi! Kesaktian orang ini memang sudah setara dengan Iblis!”Akhirnya t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 102 : Percakapan di Malam Terakhir

    Malam hari setelah syafak merah tenggelam di ufuk barat, rembulan munyala terang menghiasi langit dan taburan bintang berkelap-kelip, Giandra bersama Tubagus Dharmasuri dan juga Kamajaya tengah duduk di sebuah ruangan dalam Padepokan Rajawali Angkasa.Kamajaya menuangkan kopi hangat ke dalam gelas-gelas yang tersedia di meja. Giandra mengambil salah satunya dan memberikan minuman itu kepada Tubagus Dharmasuri.Sudah genap satu minggu lamanya patih kerajaan itu berada di sini untuk melatih Giandra, dan malam ini adalah malam terakhir bagi mereka untuk duduk bersama sambil menikmati kopi tubruk.“Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan yang kaupelajari telah sempurna hingga tingkatan kesembilan, Giandra. Besok tiba waktunya kita harus pergi ke istana dan bergabung dengan para pendekar yang lain,” ujar Tubagus Dharmasuri.Giandra mengangguk, “Malam ini Gusti Patih harus beristirahat, sebab perjalanan besok cukup panjang dan tentu akan sangat m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 103 : Bunga Yang Paling Memikat

    Di halaman Istana yang sejuk, penuh dengan aneka bunga-bunga dan pohon yang hijau, Puteri Seroja sedang berjalan ditemani oleh dua orang dayang.Selagi malam masih belum larut, dia sejenak ingin berkeliling menikmati suasana, menghirup udara segar sambil menatap keindahan bintang-bintang yang bertaburan di langit.Halaman istana ini tetap terang walaupun saat malam hari, karena ada banyak sekali obor-obor yang terikat pada setiap batang bambu di sekitaran halaman.Aroma bunga cempaka, mawar, dan juga melati menyemerbak harum, suasana langit begitu cerah, tak ada sedikit pun awan hitam yang bertengger di wajah rembulan.Patrioda rupanya juga sedang berada di luar, dia menguntit Puteri Seroja secara diam-diam, sambil mengendap di antara pohon bunga, dia terus memperhatikan kecantikan wanita itu.“Kau sungguh cantik, Puteri Seroja. Andai wanita sepertimu bisa menjadi milikku,” batinnya dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Dia sangat be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 104 : Cinta Yang Digantungkan

    Kata-kata Patrioda itu membuat Puteri Seroja jadi malu. Ternyata pendekar satu ini begitu berani berucap demikian, dia tidak segan-segan melakukan gombalan meski pada seorang puteri kerajaan.Namun walau hal ini sebenarnya tidaklah pantas, Puteri Seroja bisa maklum dan menghargai Patrioda. Dia akhirnya tahu alasan kenapa Patrioda suka memperhatikannya dari jauh bahkan mengendap-endap, rupanya ada perasaan yang terpendam ingin Patrioda ungkapkan kepadanya.“Tuan Pendekar bisa saja memujiku.Terimakasih,” Kata Puteri Seroja.Perbincangan mereka di halaman istana membuat Patrioda merasa kalau dirinya sudah semakin dekat saja dengan Puteri Seroja. Sebab wanita cantik itu ternyata cukup ramah dan tidak sombong.Akhirnya tanpa ragu-ragu, Patrioda pun mengeluarkan setangkai bunga mawar merah yang dari tadi dia sembunyikan di belakang.Dengan berani, Patrioda mempersembahkan bunga itu untuk mewakili isi hatinya. “Maaf, Gusti Puteri. Aku ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 105 : Berakhirnya Buruk Rupa Argani Bhadrika

    Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 106 : Sihir Tipuan

    Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 107 : Tewasnya Celeng Ireng

    Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 108 : Ada Yang Diam-diam Menguping

    Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 123 : Posisi Terciduk

    Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 122 : Kenangan Tak Terlupakan

    Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

    Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 120 : Kobaran Api Biru

    Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 119 : Hadiah Pukulan Terakhir

    Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 118 : Awal Mula Perang

    Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 117 : Saling Mengatur Strategi Perang

    Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 116 : Dendam Kesumat Nyai Jamanika

    Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 115 : Puncak Kemarahan Argani Bhadrika

    “Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status