Keringat dingin bercucuran di badan Binar, jantungnya berdetak tak beraturan. Belum lagi bekerja, ia sudah melakukan kesalahan. Rasanya ingin sekali dirinya pulang saat ini, akan tetapi ia tidak ingin mengecewakan keluarganya yang sudah terlihat bahagia saat mendengar kabar baik tersebut.
Melihat Binar ketakutan, pria yang berada di hadapannya tersebut pun tertawa, “Apa kamu pikir atasan kamu adalah saya?”
Binar menganggukkan kepalanya membuat dirinya semakin tergelitik. “Hei, nama saya Rayyan Andreas, panggil saja Rayyan. Saya hanya wakil, tapi Tama ‘lah yang berkuasa.”
“Bagaimana ini, Pak?” Lirih Binar.
“Kamu harus tanggung jawab,” katanya. “Ayo kita masuk!” titah Rayyan.
“Pak, jangan dong. Saya takut. Apa saya pulang saja ya?”
“Kamu mau kalah sebelum berperang? Jangan khawatir, Tama itu udah jinak, Cuma belum dipoles saja.” Rayyan tersenyum geli, ia tahu apa yang ada dipikiran Binar saat ini karena ini bukan pertama kalinya ia menghadapi para asistennya Presdir Tama.
“Saya akan coba bantu! Kamu tunggulah di sini, nanti saya panggil!” sambungnya setelah beberapa saat.
Binar terduduk di kursi yang berada di sana. Kini ia sangat ketakutan. Ia tak menyangka pria yang diajaknya bertengkar tadi adalah atasannya. Benar kata Sky — kakaknya Binar, jika atasannya sangatlah dingin.
Hari ini benar-benar hari yang sial bagi Binar, pagi-pagi ia sudah dilecehkan, kemudian dijambret dan sekarang mengajak atasannya bertengkar. Kini semua orang yang berada di sana meninggalkan Binar yang sedang ketakutan. Tak ada yang berani menolongnya sekarang. ‘Tamat riwayatku,’ batin Binar.
Binar mondar-mandir tak karuan, hatinya semakin berdetak saat melihat pintu ruangan Presdir Tama terbuka. “Kamu!” tunjuk Rayyan.
“Saya, Pak?” beo Binar sambil menunjuk dirinya.
Rayyan menganggukkan kepalanya, “Ayo, masuk!”
“Se—sekarang, Pak?”
“Besok!”
Binar mengelus dadanya sembari mengucapkan syukur, ia membalikkan badannya saat ini. Tiba-tiba Rayyan sudah berada dihadapannya. Ia menarik tangan Binar membuat wanita itu terperanjat kaget.
Kini dihadapan Binar sudah ada Presdir Tama yang duduk di kursi kebanggaannya. Lelaki itu menatapnya seakan ingin memakan Binar saat ini. Wajah datar dengan ciri khasnya membuat Binar kepanasan padahal suhu ruangan sangat dingin saat ini.
“Siapa nama kamu?” tanya Presdir Tama.“Binar, Pak Presdir.”
Rayyan berdehem, “Ssttt! Nama lengkap kamu,” ucapnya setengah berbisik.
Binar menganggukkan kepala, “Maaf, Pak Presdir. Maksud saya, nama saya adalah Queen Binar.”
“Bisa saya lihat surat yang mengundang kamu kesini?”
“Bis— ah, iya, maaf, Pak Presdir. Hari ini saya sial sekali. Tadi saya dilece— maksudnya dijambret, Pak. Makanya saya seperti ini, tas saya diambilnya, bahkan ponsel saya pun ada didalam tas tersebut.”
“Kamu di jambret? Bagaimana keadaan kamu? Apa kamu terluka? Atau bagaimana?” Rayyan berdiri lalu memutarkan badannya Binar, ia memang khawatir saat ini, namun caranya sedikit berlebihan.
Binar tak bisa menjawab, ia benar-benar dikejutkan dengan tingkah Rayyan saat ini. Rayyan pun menghentikan aksinya tatkala melihat Presdir Tama menatapnya dengan kesal. “Binar, nanti kita lanjut lagi. Sekarang kamu duduk di depan Tam— maksudnya Presdir Tama!” titah Rayyan dengan sikapnya yang sudah berubah. Seorang Rayyan saja bisa takut dengan Presdir Tama, entah bagaimana nasibnya Binar setelah ini.
Binar duduk tepat dihadapan Presdir Tama, lelaki itu tak banyak bicara. Ia hanya memberikan sebuah pena dan kertas perjanjian kontrak kerja. “Tanda-tangani!” titahnya.
“Baik, Pak.” Binar langsung menandatangani tanpa membaca isi perjanjian tersebut, bahkan bertanya saja ia enggan saat ini.
Setelah Binar menandatangani, Presdir Tama mengambil surat perjanjian tersebut lalu ia serahkan pada Rayyan. Rayyan menepuk tangannya dengan keras, “Welcome, Binar!”
Presdir Tama melihat Rayyan sekilas membuat nyali lelaki itu langsung menurun. Padahal Presdir Tama adalah sahabatnya sejak kecil. Rayyan pun menaruh surat tersebut yang berada di dalam map berwarna cokelat tersebut.
“Karena kamu sudah sah menjadi asisten saya, saya akan beritahu apa saja tugas kamu. Catatlah! Karena saya tidak akan mengulangi ucapan saya lagi!” ujar Presdir Tama sambil menyerahkan pena dan pulpennya. Binar pun mengambilnya, ia sudah bersiap-siap untuk mencatat pekerjaannya yang akan dimulai dari besok pagi.
“Kamu harus membangunkan saya via call. Sebelum saya sampai di kantor, kamu wajib menyiapkan sarapan untuk saya. Saat saya akan melakukan meeting, kamu harus menyiapkan pakaian yang sesuai. Kamu juga harus mengikuti kemana saja saya pergi selama bekerja di luar, dan terakhir kamu harus mengantarkan saya pulang.”
Rasanya sangat susah Binar menelan salivanya. Ingin sekali ia tercekik dan langsung pingsan saat itu juga. Bagaimana mungkin sebanyak itu adalah tugasnya selama bekerja?
Binar menggelengkan kepalanya, ia berharap ini adalah mimpi. Namun, semakin cepat ia menggelengkan kepala, maka semakin pusing pula kepalanya.
“Ada pertanyaan?”
“Maaf, Pak Presdir. Maaf banget, tapi ini memang tugas saya?”
Presdir Tama menganggukkan kepala, “Tentu saja!”
“Ini tugas pembantu, Pak!” gerutu Binar dengan pelan.
“Apa kamu bilang?” tanya Presdir Tama.
“Ah, enggak,” kata Binar sambil menggelengkan kepala. Namun ia teringat sesuatu, “Begini, Pak Presdir. Apa boleh saya minta tugasnya dikurangi? Saya habis di jambret, tas saya hilang, ponsel saya hilang, gimana saya bisa hubungin Bapak? Dan satu lagi, saya tidak mempunyai mobil, Pak. Saya Cuma punya sepeda onthel di rumah, apa Bapak mau naik itu?” Ini semua hanya alasan saja bagi Binar.
“Jangan khawatir, semuanya perusahaan yang tanggung!” celetuk Rayyan.
Meskipun perusahaan yang menanggung segala fasilitas yang dibutuhkan, Binar tetap saja merasa tidak sanggup dengan pekerjaan tersebut. Binar menaruh catatan yang ia tulis tadi, “Maaf, Pak. Saya memilih untuk mundur.”
Setelah mengatakan itu Binar berniat untuk pergi. Binar sudah tidak perduli lagi dengan perasaan keluarganya jika melihat dirinya pulang dengan tangan hampa. Binar merasa pekerjaannya tersebut hanya akan membuat dirinya menjadi rugi saja.
“Jika kamu keberatan, kamu dipersilakan keluar! Namun kamu harus membayar penalti sebesar 10 kali lipat dari gaji kamu,” ucap Presdir Tama membuat Binar menghentikan langkahnya, padahal pintu ruangan sudah berhasil ia buka sekarang.
Bagaimana Binar tidak terkejut? Uang denda yang di maksud berjumlah sangat besar. Bukan hanya tabungannya saja yang terkuras untuk membayarnya, namun ia akan menyusahkan Pak Ilyas dan juga Bu Laila.“Apa tidak bisa dikurangi sedikit saja?” tanya Binar. “Ayolah, Pak Presdir. Kasihani saya,” sahut Binar sedikit memelas.
“Ini soal kontrak kerja, bukan tentang mengasihani.”
“Bagaimana kalau diskon 50%? Saya akan membayarnya, tapi beri saya waktu satu bulan.” Binar masih berusaha untuk meminta keringanan dalam untuk uang denda yang akan dia bayarkan.
Sudahlah minta pengurangan pembayaran, ia juga meminta waktu untuk membayarnya pula. Hal ini membuat Presdir Tama tergelitik mendengarnya, akan tetapi ia hanya menyunggingkan senyum tipisnya. Sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya.
Presdir Tama berdehem, kemudian ia memberikan isyarat agar Rayyan ‘lah yang mengurusnya. Rayyan berdiri dari bangkunya, ia pun mendekati Binar. “Hei, cantik. Kamu ini lucu sekali. Kamu pikir ini di pasar sampai minta diskon segala?” tanya Rayyan pada Binar.
“Jadi saya harus bagaimana, Pak?" lirih Binar.
Binar bertanya seperti itu agar mendapatkan belas kasihan dari Presdir Tama, namun apa boleh buat? Pria dingin itu malah pergi dari ruangannya saat ini. Binar hanya bisa menghela napasnya, cobaan hidupnya sangat berat saat ini.“Tenanglah, Tama sudah jinak!” kata Rayyan menenangkan Binar.Binar celingukan melirik kanan dan kiri, melihat situasi supaya atasannya tersebut tidak mendengarkan pembicaraan mereka. “Kamu cari siapa?” tanya Rayyan.“Pak Presdir.”Rayyan cekikikan, “Sebegitu takutnya kamu dengan dia?”“Memangnya Pak Rayyan tidak takut?”“Saya hanya menghormatinya sebagai atasan, lagian dia aslinya lucu kok.”“Lucu?” beo Binar. “Agak lain lucu versi Pak Rayyan, ya! Ah, sudahlah. Tolong bantu saya untuk keluar dari sini, Pak!” titah Binar melanjutkan ucapannya sambil memohon.“Maaf, Binar. Bukan saya tidak ingin membantumu, tetapi ketika para calon asisten menandatangani surat kontraknya, itu tandanya mereka harus siap mental untuk menerima segala konsekuensinya. Lagian, kamu ke
Untuk kedua kalinya panggilan tersebut diputuskan secara sepihak. Belum lagi bekerja, kesabarannya sudah sangat diuji saat ini.“Udah? Gitu aja? Dasar kanebo kering! Dia pikir aku pembantunya? Argh!” Binar terus berbicara sendiri sampai ia kesal dengan dirinya sendiri.Binar pun melajukan motornya dan mengitari jalanan kota. Seperti biasa jalanan sangat macat dan ramai, apalagi jaraknya tidak dekat. Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya di perjalanan saat naik motor dari bandung ke ibukota Jakarta.Beberapa jam kemudian Binar sampai di PT. Angkasa Group. Ini kali kedua dirinya berada di sana. Namun sekarang berbeda dengan yang kemarin, perasaan cemas dan khawatir pun melanda saat ini.Binar berlari hingga dirinya sampai di depan lift, namun ia enggan naik begitu pintu tersebut terbuka. “Kok nggak ada karyawan yang mau naik juga?” gumamnya.Akhirnya Binar pergi ke meja resepsionis lagi, “Mbak, maaf. Bisa bantu aku lagi, nggak?”“Naik lift?” tanyanya.“Iya! Bisa, ‘kan? Tolong dong, plea
Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.“Kamu tunggu di sini!” titahnya.“Tapi, Pak —”“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.Lelaki itu berdehem dengan
"Pak Presdir mah kocak!" seru Binar sambil cekikikan. Cukup aneh memang bagi Presdir Tama karena dirinya tidak merasa sedang membuat lelucon saat ini. "Saya serius!" tegas lelaki itu dengan wajah dinginnya.Binar menelan saliva dengan susah payah, wajah atasannya tersebut sangatlah datar. Tida datar aja seram, apalagi tanpa ekspresi seperti itu, pikirnya."Saya tidak mengenal beliau, Pak Presdir. Kalau Pak Presdir tidak mengenalkan saya padanya, mungkin kami tidak kenal. Kalau Pak Presdir tidak mengajak saya pergi, mungkin kami tidak akan bertemu. Kalau Pak Presdir —""Kamu pikir ini lucu?" potong lelaki itu dengan cepat. "Katakan secara singkat!" lanjutnya."Maaf, Pak." Binar menundukkan kepalanya sambil mengutuk dirinya sendiri yang sudah lancang. 'Binar … Binar … sudah tahu atasan kamu itu kayak beruang kutub masuk freezer, bisa-bisanya kamu ngajak bercanda!' batin Binar mengumpat dirinya sendiri. Presdir Tama tidak menimpali lagi, akan tetapi dirinya menatap sang asisten dengan
"Hidup itu serba salah, ya? Lagi kerja, pengennya jadi pengangguran. Nanti giliran nganggur, pengennya kerja di gedongan!" Binar menggerutu sendiri karena ia dirinya hanya tidur satu jam saja setelah membereskan semua barangnya ke dalam apartemen yang kini menjadi miliknya. Meskipun hanya untuk satu tahun, namun tak dapat dipungkiri jika Binar sudah jatuh hati dengan tempat ini. Perpisahannya dengan orangtua memang serba dadakan. Namun tanpa sepengetahuan Binar, sebelum wanita itu sampai di rumah, Presdir Tama sudah menyuruh seseorang untuk mengatakan tujuannya pada orangtua Binar agar mereka tidak terkejut nantinya saat sang putri pulang untuk membawa barang-barangnya. "Ponselku di mana?" Binar mencari ponselnya yang ia taruh di sembarang arah. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan ponsel tersebut di bawah kolong kursi santainya. Binar pun mengambil ponselnya dan menekan nomor sang atasan tercinta. [Halo, selamat pagi, Pak Presdir!] Binar berniat untuk membangunkan sang a
"Ibu, Binar ngantuk sekali. Tolonglah, biarkan Binar tidur, satu jam saja!" Wanita itu terus mengigau, mengira yang memanggilnya adalah sang ibu tercinta. Tidak tahu saja dirinya jika atasan yang dingin itu sedang melipat tangannya sambil menatap dirinya. Dengan sengaja Presdir Tama menghempaskan buku tepat dihadapan Binar. Wanita itu pun terperanjat kaget, "Eh, ayam, copot, ayam …" Binar pun menjadi latah. Karena kesal melihat seseorang yang mengganggu tidurnya, ia menggebrak meja kerjanya. "Maunya apa, s— eh, Pak Presdir. Selamat pagi, Pak. Pak Presdir butuh sesuatu?" Amarahnya pun terhenti saat melihat yang mengganggunya adalah atasannya sendiri. "Enak, tidurnya?""Siap, tidak, Pak.""Lalu?""Siap, salah, Pak." Binar malah seperti sedang latihan militer saat ini saking gugupnya. "Apa jadwal kita pagi ini?""Jadwal?" beo Binar, dirinya masih belum sepenuhnya sadar saat ini. Sebagian dari dirinya masih menginginkan untuk tidur, sebagian lagi sudah menyadari waktunya bekerja.Pres
Tiga bulan sudah berlalu, Binar pun sudah terbiasa dengan rutinitasnya. Selama tiga bulan ini dia tidak melakukan kesalahan sama sekali bahkan sang atasan sudah hidup bergantungan dengannya.Sekitar pukul empat subuh, Binar sudah rapi dengan pakaiannya. Di depan cermin, ia sedang merias dirinya. "Ternyata aku cantiknya kebangetan, ya? Pantas saja namaku Queen!"Begitulah Binar, sering sekali ia memuji dirinya sendiri. Itu dilakukannya semata-mata hanya untuk menyenangkan dirinya. Setelah berdandan dengan cantik, Binar menoleh ke arah jam di dinding. Tak disangka ternyata sudah memasuki pukul lima pagi. Cukup lama ia berdandan dan memuji dirinya itu. Binar mengambil ponselnya untuk menghubungi Presdir Tama. Binar memencet nomor atasannya tersebut di layar ponselnya. Tak lama kemudian panggilan pun terhubung pada yang bersangkutan. [Selamat pagi, Pak Presdir. Awali pagi dengan senyuman.][Hm, jangan lupa sarapan!] seru Pak Presdir dari balik layar dengan suara beratnya. Setelah itu ia
Binar tercengang saat mendengarkan ucapan dari ibunya Tama. Nyonya Diana sengaja mengatakan itu karena sang putra tidak pernah mengenalkan satu wanita pun padanya, kecuali para sekretaris yang menemaninya. Ia hanya ingin melihat reaksi dari sang putra. Namun ternyata reaksinya tetap sama, hanya datar tanpa berekspresi saat menanggapinya. "Berhentilah melakukan hal konyol, Mom." Presdir Tama mengatakan itu sambil duduk. "Jadi yang ini bukan juga? Astaga, padahal Mommy sudah berharap banyak," sahut Nyonya Diana dengan lesu. Tuan besar Angkasa menahan tawanya, istri dan putranya memang sering sekali bertengkar jika sudah menyangkut tentang wanita. Wajar saja, karena sampai detik ini belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan menantu. Keduanya sudah tua, mereka ingin menyaksikan pernikahan putra mereka satu-satunya. "Sebaiknya kita makan dulu," titah Tuan Angkasa.Para pelayan pun datang menghidangkan beberapa macam makanan. Binar terkejut karena banyak sekali makanan di meja terse