Melihat atasannya sangat antusias, Binar pun tak kalah semangatnya. "Tak banyak, hanya setengah kodi saja!" "Sepuluh orang maksud kamu?" Binar menganggukkan kepalanya, "Sepertinya Tuan Angkasa benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Pak Presdir." "Itu jumlah yang banyak …" "Benarkah? Lihat, Pak Presdir. Gadis ini cantik sekali. Apa ini anaknya Presdir Chloe? Sepertinya dia sangat cocok dengan Pak Presdir." Begitulah Binar, tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak saat berbicara dengan lawan jenisnya. Saat menyadari kesalahannya, Binar menutup mulutnya. "Sorry! Saya bercanda, Pak Presdir." "Dari mana kamu kenal dengan Presdir Chloe?" "Saya tidak mengenalnya," jawab Binar langsung. "Lalu?" "Lalu?" Beo Binar sambil memutar matanya. "Lalu apa? Ah, ya, lalu saya tahu nama Presdir Chloe dari tuan besar. Bukannya tuan besar tadi cerita tentang Presdir Chloe, ya?" sambungnya. Presdir Tama tak bergeming, berbicara dengan Binar memang harus memiliki kesab
"Haaa … kena, kalian!" serunya lagi sambil menggebrak meja dengan pelan.Suasana yang tadinya tegang pun menjadi cair kembali saat pria itu malah merapikan rambutnya. Dia adalah Rayyan, atasannya Andin yang terkenal suka merayu wanita."Hayo … ketahuan 'kan, kalian! Ternyata suka ceritain orang tampan." Rayyan kembali melanjutkan ucapannya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Pak!" Lirih Binar dan Andin, meskipun Rayyan terlihat baik-baik saja, mereka merasa tidak enak karena sudah lancang membicarakan atasannya tersebut. "Berhubung saya sedang bahagia, saya maafkan. Tahu, nggak? Beberapa jam lalu saya akhirnya dapat nomor teman sekolah saya dulu yang ngejar-ngejar saya.""Kenapa Bapak yang senang? 'kan dia yang ngejar Bapak?" Andin langsung menyambar ucapan atasannya tadi."Karena sekarang dia semakin waw, tak di sangka kecantikannya semakin runcing.""Pisau kali, Pak," protes Andin. "Hei, saya atasan kamu!" oceh Rayyan. Binar tersenyum geli mendengar perdebatan mereka, namun senyumn
Rayyan terbahak-bahak mendengarnya. Sahabatnya memang tak pernah berubah sejak ditinggal sang kekasih dulu. Entah bagaimana caranya agar trauma tersebut berakhir dan Presdir Tama percaya dengan yang namanya cinta. "Bro! Itu terserah kamu. Kamu yang jalanin, kamu juga yang ngerasain. Tapi saran aku, kamu nikmatin aja rencana dari daddy. Kalau kamu nggak suka, bisa kasih aku!" seru Rayyan sambil terkekeh geli. "Pacar kamu sudah satu lusin, Ray. Dan kamu masih mau tambah? Kayaknya kita harus manggil dr. Richard.""Ngapain?""Buat meriksa otak kamu.""Pak Presdir yang terhormat, dr. Richard itu spesialis jantung!""Aku ini Presdir Tama, aku tidak terima penolakan."Rayyan menarik tangan Presdir Tama membuat pria itu beserta Binar terkejut. "Ikut aku!" titahnya, lalu Rayyan pun melirik Binar. "Kamu juga, ikut saya!""Mau ke mana, Pak?" tanya Binar."Kita cari pakaian yang cocok untuk atasan kita ini. Kita harus berikan yang terbaik untuk beliau!" seru Rayyan. Binar mengikuti langkah Ray
Lagi-lagi Binar lupa jika atasannya tersebut lain dari pada yang lain. "Maaf, Pak. ""Apa saja kegiatan kita besok?""Pak Presdir sebenarnya saya —""Ada apa?""Saya ingin mengajukan cuti, satu hari saja. Apakah boleh?""Tidak!""Tapi …, bukankah dalam perjanjian boleh mengajukan cuti satu kali dalam sebulan?""Ya, itu berlaku jika saya mengizinkan."Binar tertunduk lesu, padahal dirinya sudah berjanji pada sahabatnya. Mereka akan bertemu esok hari di sebuah cafe. Namun sayang sekali, atasannya tidak berpihak padanya saat ini."Besok ada meeting dan pertemuan dengan kandidat kedua.""Kandidat?""Maksud saya calon kencannya Pak Presdir yang kedua."Presdir Tama menoleh, ia menatap wajah Binar yang tertunduk dengan lesu. "Jangan pasang wajah datar itu pada saya!""Nggak enak, 'kan, Pak?""Hm."Bagaimana Binar tidak semakin kesal? Padahal pertanyaan Binar tadi hanya sebagai bentuk ledekan untuk pria itu, namun sangat disayangkan respon Presdir Tama diluar dari dugaannya."Pak Presdir! Ha
Padahal dia sendiri yang tidak ingin diganggu oleh atasannya, tetapi dia pula yang kebingungan karena tidak dihubungi Presdir Tama. Aneh sekali, bukan?Binar menaruh ponselnya di kasur, kemudian ia membersihkan dirinya. Jika biasanya Binar mandi dengan kilat, kini ia pun berendam di dalam bathtub. Binar sangat menikmati setiap sentuhan tangannya di kepala sendiri. "Begini rupanya rasanya kepala dipijat! Ah, nikmatnya." Setelah satu jam berendam karena dirinya pun ketiduran, Binar pun langsung membersihkan dirinya. Memakai polesan di wajahnya, memakai wewangian, tak lupa pula memakai baju yang baru saja ia beli dengan harga sedikit mahal dibandingkan baju-bajunya yang lain. "Queen Binar! Kamu cantik juga, ya! Aku bangga dengan kamu." Binar memuji dirinya sendiri. Baginya jika bukan dia yang memuji, lalu siapa lagi?Cia menunggunya di depan apartemen dengan sepeda motor berwarna abu-abu. Binar pun menghampiri sahabatnya tersebut. "Let's go!" Motor tersebut menjelajahi kota Jakarta. P
Hari telah berganti. Binar menyesal karena sudah meminta cuti. Namanya saja yang cuti, tapi ia harus bekerja sepanjang hari. Bayangkan saja, Presdir Tama mengikuti perjalanan Binar kemanapun ia pergi.Binar berjalan dengan lesu hingga sampai di depan mejanya. Sekertaris Andin pun menghampiri Binar, "Ciye yang cuti. Gimana? Seru nggak?""Apaan sih? Nggak asik!""Dih, pagi-pagi udah ngomel. Lagi anu?""Aku anu tiap hari selama kerja di sini, puas kamu!""Kenapa sih? Nggak terima, ya, kalau hari telah berlalu?" Sekretaris Andin menyenggol lengan Binar."Asal kamu tahu, kemarin adalah hari yang horor. Namanya aja yang cuti, tapi harus berurusan dengan Pak Presdir!""Hah? Maksudnya?"Binar menceritakan semuanya, mulai dari dia mengirimkan lokasinya, hingga diantarkan kemanapun ia pergi. Tentu saja hal itu membuat sekretaris Andin tergelitik. Bahkan wanita itu tertawa dengan puas saat ini. "Sekali lagi kamu ketawa … aku tabok, nih!""Wih, galaknya …."Tak lama setelah itu Presdir Tama pun
Wanita cantik memakai dress seksi berwarna kuning membuat mata Presdir Tama sedikit silau memandangnya. Presdir Tama ingin tertawa, namun demi menjaga kesopanan ia pun bersusah payah menahannya. "Tak apa, kami juga baru sampai!" jelas Presdir Tama."Ah, begitu rupanya." Suara seksi tersebut keluar dari mulut gadis tersebut. Gadis itu melihat Binar, "Kamu sekretarisnya, 'kan?" tanyanya pada Binar yang berada di pojokan. Binar menunjuk dirinya, "Saya, Nyonya?""Apa ada orang lain selain kita bertiga?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat. Jangankan Presdir Tama, Binar saja ingin muntah mendengarnya.Binar mendekatinya, "Ada yang bisa saya bantu?""Tolong taruh kursi saya di samping atasan kamu yang tampan ini!"Binar menahan senyumnya, perut Binar tergelitik mendengar ucapan gadis tersebut. "Baik, nyonya. Dengan senang hati!"Sementara itu Presdir Tama sudah memasang wajah datarnya, Binar sangat yakin jika saat ini atasannya tersebut sedang menahan amarahnya. 'Permainan yang seru!'
Binar benar-benar terkejut saat atasannya mengatakan itu padanya. Ini sudah di luar dari batasan. Mana ada kontrak kerja seperti ini, pikir Binar. "Maaf, tapi saya tidak bersedia, Pak Presdir!""Saya tidak meminta pendapat kamu!""Pak Presdir ….""Saya, Presdir Tama! Saya tidak terima penolakan!""Menurut saya Pak Presdir sudah keterlaluan! Ini sudah melebihi batas, Pak. Ini masalah pribadi, jangan disangkut pautkan dengan jabatan Pak Presdir! Maaf, kalau Pak Presdir tidak terima, saya tidak masalah jika Pak Presdir memecat saya."Disaat Binar sudah sampai di puncak kekesalannya, Presdir Tama malah dengan tenang duduk di kursi kerajaan sambil mendengarkan ocehan asistennya. "Bagaimana kalau saya anggap ini adalah bisnis?" tawar Presdir Tama. Bisnis, katanya. Mendengar kata itu mata Binar berubah menjadi biru. Binar memiliki satu misi selama setahun ini, yaitu mengumpulkan duit sebanyak mungkin agar setelah habis masa kontraknya bekerja nanti ia sudah memiliki banyak duit untuk memb
Taman di mansion milik Tuan Angkasa cukup besar. Bahkan juga ada beberapa wahana seperti pelosotan dan ayunan sebagai pelengkap.Saat ini Binar dan Presdir Tama sedang berada di tamat tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak Binar. Sedangkan Presdir Tama terlihat dingin menatap lurus ke depan. "Pak Presdir —""Saya mencintaimu!" seru Presdir Tama."Apa?""Anggap saja saya mencintaimu."Binar semakin kecewa, dia mengira lelaki itu benar-benar menyukainya. Tetapi ternyata semua itu hanya bagian dari rencana. Binar menggelengkan kepala, "sorry tapi ini diluar dari kesepakatan kita. Saya tidak setuju! Pernikahan bukanlah permainan, Pak Presdir. Saya tidak bisa mengotori ikatan suci itu dengan perjanjian konyol ini.""Bagaimana kalau kita nikah beneran? Hanya dua tahun saja. Saya tidak akan menyentuhmu. Kita buat pernjanjian secara tertulis lagi. Bagaimana?""Tidak! Saya tidak setuju!""Bagaimana kalau bayarnya 100 kali lipat?""Apa anda sudah gila?" Binar sudah tak dapat lagi
[Buka pintunya sekarang!]Binar terperanjat kaget, kini kepalanya 'lah yang terbentur oleh lemari kecil yang berada di sebelahnya. Untunglah, panggilan tersebut terputus secara sepihak.Binar membuka pintu apartemen tersebut. Dengan spontan dia mundur kebelakang saat Presdir Tama masuk ke dalam. "Apa kita perlu ke dokter?" tanyanya.Binar menggelengkan kepala. Pria itu memerhatikan gadis cantik di hadapannya dari atas sampai bawah. "A—ada apa, Pak Presdir?""Apa kamu terbentur?""Ya, Pak Presdir nelpon saya, buat saya jadi terkejut.""Kamu menyalahkan saya? Lagian kenapa kamu masih tidur jam segini? Kamu lupa akan bertemu dengan ibu saya?""T—tidak, t—tapi …""Pakai ini!" Sambil menyerahkan sebuah paper bag yang sudah berisi pakaian lengkap. Bahkan tas, sepatu dan aksesoris lainnya juga sudah dipersiapkan. "Jangan ngintip, ya!" Seru Binar sambil berlari ke kamar mandi. "Kamu pikir saya selera?" ketus Presdir Tama. Binar masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan rutinitasnya. Satu jam
Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma
"Kamu ambil cuti cuma mau makan di sini? Sama siapa?" tanya Presdir Tama."Sa—"Olive berdehem membuat Binar menghentikan ucapannya. "Honey, kayaknya dia butuh waktu untuk sendirian. Makannya sendiri doang. Yuk, kita tinggalin!""Saya sama teman dekat saya. Iya!""Teman dekat?" tanya Presdir Tama."Ups! Secepat itu kamu berpaling, Binar? Bukannya kamu kemarin baru saja dekat dengan my honey, ya? Kenapa sekarang ada teman lainnya? Aduh, honey. Pilihan kamu sudah tepat dengan milih aku! Dari pada gadis ini, kamu sudah menyelamatkan diri kamu dari gadis yang berkhianat!"Binar meninggalkan mereka yang sedang berdebat. Dia pergi ke meja David tadi. "Kak David!" panggilnya.Respon David di luar dugaan, dia malah tersenyum lebar sambil menepuk tangan. "Gue tahu, Lo pasti mau minta maaf karena udah kayak tadi sama gue 'kan? Gue maafin!""Ck, tolong gue!""Maksud Lo?"Binar menarik tangan David, "Maaf, nanti gue ceritain!"Keduanya sudah berdiri di hadapan Presdir Tama dan Olive. Dengan terpa
Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y
"T—tidak.""Apa wanita itu ada di sini?""Dari mana Pak Rayyan tahu?""Berarti dia memang di sini?"Binar terdiam. Rayyan menaruh tangannya di saku celana. "Pak Rayyan, jangan menebar pesona gitu, saya tersepona." Binar memang sengaja mengalihkan pembicaraan."Terpesona!" tegas Rayyan. "Sudahlah, kamu jangan mengalihkan pembicaraan begitu, sekretaris Binar!" lanjutnya. "Saya permisi, Pak!" seru Binar."Mau ke mana, kamu? Katakan, apa dia di dalam?""Sebelum saya jawab, janji dulu untuk nggak bilang ke Presdir kalau semua ini saya yang aduin.""Aman!" singkat Rayyan. "Dia di dalam, bye!" ketus Binar sambil berlari. 'Huh, selamat … selamat …." Begitulah gumam Binar setelah menjauh dari Rayyan. Entah bagaimana nantinya saat Binar pergi tadi, tetapi yang terpenting bagi Binar dia sudah menjauh dari hal-hal yang membahayakannya."Pst, kenapa?" tanya sekretaris Andin yang ternyata sejak tadi melihat gerak-gerik Binar."Kepo!" Sahut Binar sambil menjulurkan lidah. Sementara di dalam ruan
Kini Binar sudah berada di luar ruangan Presdir Tama. Dia terus menggerutu karena dicampakkan begitu saja."Binar, tolong saya!""Binar, kamu harus di sisi saya.""Binar … Binar … Binar ….""Apaan? Bulshit!"Binar mengumpat atasannya sendiri. Lucu sekali. Karena bibir Binar kini bergeser kesana-kemari, wajah wanita ini sudah tak terkondisikan lagi."Woi, marah terus. Ada apa?" Sekretaris Andin mendekatinya. "Eh, kamu. Dari tadi, Ndin?""Ada apa sih?" Sekretaris Andin penasaran. "Nggak pa-pa. Aku lagi kesal aja. Ternyata semua laki-laki itu sama aja, ya!""Tunggu, tunggu … pertama kamu bilang nggak pa-pa, kedua lagi kesal. Ketiga kamu bilang laki-laki itu semua sama aja. Yang benar yang mana?""Satu dulu, baru dua, terakhir tiga. Dah, ah. Nggak penting juga untuk didebatkan!"Binar duduk di kursinya, kemudian dia menghadap sekretaris Andin yang berada di depannya. "Aku mau nanya sama kamu!""Hm, apa tuh? Eh, tunggu, aku ambil kursi dulu!" Sangking penasarannya, sekretaris Andin tidak
Disangka kerasukan membuat Binar sedikit kesal. Menyebalkan sekali, memang. Pria itu berbicara sesuka hati,"Apa ada orang kerasukan di siang bolong?""Bisa saja kamu orangnya! Katakanlah, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada.""Lalu, kenapa saya bicara kamu abaikan?""Hah?""Kamu buat saya seperti orang gila karena bicara sendiri. Jika saja ada yang melihatnya, mungkin saya dikira bicara dengan patung!"Ocehan Presdir Tama membuat Binar ingin tertawa. Seketika pria itu berubah menjadi pria bawel dan menjengkelkan."Oh … jadi begini, rasanya!" gumam wanita itu. "Rasa apa?" "Rasa sayange … rasa sayang sayange. Hei, lihat dari jauh, rasa sayang sayange." Agak lain Binar ini. Begitulah dia jika sudah diambang rasa malunya. "Pak Presdir kepo banget, deh! Ah, iya, saya lapar. Bisakah saya makan duluan?" lanjutnya. Presdir Tama malah tersenyum geli, meskipun sangat tipis terlihat. "Kamu itu, aneh. Memang tinggal kamu yang belum makan!" Binar mengedarkan pandangannya. Rupanya me
"Sayang …." Wanita itu bergelayut manja dipundak Presdir Tama. Namun secepat kilat pria itu menepisnya. "Sayang, kenapa kamu berubah? Ini aku, Sayang!""Hentikan, Olive!" bentak Presdir Tama.Bukan hanya wanita itu yang terperanjat kaget, tetapi juga Binar yang berada di sana. Bagaimana tidak? Suara pria itu begitu menggelegarkan seisi ruangan. "Tolong pergi sekarang, sebelum kesabaran saya habis!" lanjutnya dengan tatapan yang mematikan. Binar hanya menjadi penonton di sini. Pikirannya bertanya-tanya, siapa wanita ini dan mengapa Presdir Tama sangat membencinya. "Apa kamu tidak dengar, Olive?" lanjutnya lagi. "Sayang, maafkan aku. Apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahanku yang lalu? Aku, Olive yang baru. Aku sudah menyesal, Sayang! Aku sudah berubah, sungguh.""Itu bukan urusanku, Olive!""Sayang …."Wanita itu masih saja berusaha mendekati Presdir Tama. Namun langkahnya terhenti saat melihat pria itu menggenggam tangan Binar. "Sayang, kenapa kamu diam saja saat wanita j*lang men