Padahal dia sendiri yang tidak ingin diganggu oleh atasannya, tetapi dia pula yang kebingungan karena tidak dihubungi Presdir Tama. Aneh sekali, bukan?Binar menaruh ponselnya di kasur, kemudian ia membersihkan dirinya. Jika biasanya Binar mandi dengan kilat, kini ia pun berendam di dalam bathtub. Binar sangat menikmati setiap sentuhan tangannya di kepala sendiri. "Begini rupanya rasanya kepala dipijat! Ah, nikmatnya." Setelah satu jam berendam karena dirinya pun ketiduran, Binar pun langsung membersihkan dirinya. Memakai polesan di wajahnya, memakai wewangian, tak lupa pula memakai baju yang baru saja ia beli dengan harga sedikit mahal dibandingkan baju-bajunya yang lain. "Queen Binar! Kamu cantik juga, ya! Aku bangga dengan kamu." Binar memuji dirinya sendiri. Baginya jika bukan dia yang memuji, lalu siapa lagi?Cia menunggunya di depan apartemen dengan sepeda motor berwarna abu-abu. Binar pun menghampiri sahabatnya tersebut. "Let's go!" Motor tersebut menjelajahi kota Jakarta. P
Hari telah berganti. Binar menyesal karena sudah meminta cuti. Namanya saja yang cuti, tapi ia harus bekerja sepanjang hari. Bayangkan saja, Presdir Tama mengikuti perjalanan Binar kemanapun ia pergi.Binar berjalan dengan lesu hingga sampai di depan mejanya. Sekertaris Andin pun menghampiri Binar, "Ciye yang cuti. Gimana? Seru nggak?""Apaan sih? Nggak asik!""Dih, pagi-pagi udah ngomel. Lagi anu?""Aku anu tiap hari selama kerja di sini, puas kamu!""Kenapa sih? Nggak terima, ya, kalau hari telah berlalu?" Sekretaris Andin menyenggol lengan Binar."Asal kamu tahu, kemarin adalah hari yang horor. Namanya aja yang cuti, tapi harus berurusan dengan Pak Presdir!""Hah? Maksudnya?"Binar menceritakan semuanya, mulai dari dia mengirimkan lokasinya, hingga diantarkan kemanapun ia pergi. Tentu saja hal itu membuat sekretaris Andin tergelitik. Bahkan wanita itu tertawa dengan puas saat ini. "Sekali lagi kamu ketawa … aku tabok, nih!""Wih, galaknya …."Tak lama setelah itu Presdir Tama pun
Wanita cantik memakai dress seksi berwarna kuning membuat mata Presdir Tama sedikit silau memandangnya. Presdir Tama ingin tertawa, namun demi menjaga kesopanan ia pun bersusah payah menahannya. "Tak apa, kami juga baru sampai!" jelas Presdir Tama."Ah, begitu rupanya." Suara seksi tersebut keluar dari mulut gadis tersebut. Gadis itu melihat Binar, "Kamu sekretarisnya, 'kan?" tanyanya pada Binar yang berada di pojokan. Binar menunjuk dirinya, "Saya, Nyonya?""Apa ada orang lain selain kita bertiga?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat. Jangankan Presdir Tama, Binar saja ingin muntah mendengarnya.Binar mendekatinya, "Ada yang bisa saya bantu?""Tolong taruh kursi saya di samping atasan kamu yang tampan ini!"Binar menahan senyumnya, perut Binar tergelitik mendengar ucapan gadis tersebut. "Baik, nyonya. Dengan senang hati!"Sementara itu Presdir Tama sudah memasang wajah datarnya, Binar sangat yakin jika saat ini atasannya tersebut sedang menahan amarahnya. 'Permainan yang seru!'
Binar benar-benar terkejut saat atasannya mengatakan itu padanya. Ini sudah di luar dari batasan. Mana ada kontrak kerja seperti ini, pikir Binar. "Maaf, tapi saya tidak bersedia, Pak Presdir!""Saya tidak meminta pendapat kamu!""Pak Presdir ….""Saya, Presdir Tama! Saya tidak terima penolakan!""Menurut saya Pak Presdir sudah keterlaluan! Ini sudah melebihi batas, Pak. Ini masalah pribadi, jangan disangkut pautkan dengan jabatan Pak Presdir! Maaf, kalau Pak Presdir tidak terima, saya tidak masalah jika Pak Presdir memecat saya."Disaat Binar sudah sampai di puncak kekesalannya, Presdir Tama malah dengan tenang duduk di kursi kerajaan sambil mendengarkan ocehan asistennya. "Bagaimana kalau saya anggap ini adalah bisnis?" tawar Presdir Tama. Bisnis, katanya. Mendengar kata itu mata Binar berubah menjadi biru. Binar memiliki satu misi selama setahun ini, yaitu mengumpulkan duit sebanyak mungkin agar setelah habis masa kontraknya bekerja nanti ia sudah memiliki banyak duit untuk memb
Dengan ragu Binar menyambut tangan Presdir Tama. Keduanya berjalan dengan beriringan dan tampak serasi. Para maid memberikan salam hormat pada keduanya. "Wah … apa ini namanya surprise, Tama?" tanya Tuan Angkasa. Nyonya Diana mendekati putranya, "Tama! Apa ini? Kamu ingin beri kami kejutan? Astaga, andai saja sejak awal kamu bilang sudah memiliki pasangan, kami takkan repot-repot memberikan kandidat untuk kamu. Iya, 'kan, Dad?""Dan pasangan itu juga sudah kita lihat sebelumnya!" imbuh Tuan Angkasa. Keduanya tersenyum kaku, Nyonya Diana melepaskan tangan Binar yang melingkar di lengan Presdir Tama. "Kalau kekasih kamu adalah asisten kamu sendiri, Mommy sangat setuju!""Bagaimana kejutan dari Tama?" tanya Presdir Tama dengan angkuh."Kami sangat terkejut, Nak! Kamu ini, bisa saja," jawab Nyonya Diana.Tuan Angkasa berdehem, "Ngobrolnya nanti lagi, sekarang kita makan dulu. Ayo di makan, Nak!" titah Tuan Angkasa.Tiba-tiba Binar berdiri dan mengambilkan menu untuk kedua orang tuanya
Suara ayam berkokok namun tidak mungkin terdengar dari apartemen milik Binar. Akan tetapi matahari yang masuk dari sudut jendela kamar pasti akan terlihat saat gorden jendelanya sedikit terbuka. Suara alarm yang pasang Binar juga ikut serta membangunkan gadis cantik ini. Binar membuka matanya, "Huaaa! Kenapa sudah berganti hari?" pekik Binar.Binar tidak terima dengan pergantian hari tersebut karena pastinya dia akan menghadapi drama yang dibayar. Meskipun dibayar, dia bukanlah artis. Gugup yang dirasakan Binar masih terbilang wajar."Sudah jam 6!" pekik Binar saat melihat jam. Binar lompat dari kasurnya dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar pukul delapan pagi, seseorang mengetuk pintu apartemen Binar. Wanita itu masih merias dirinya. Ia berpikir seorang staf di sana 'lah yang datang membawakan sarapan karena dirinya meminta untuk dibelikan sarapan tersebut."Iya, tunggu sebentar!" teriak Binar dari dalam, dia berpikir orang yang di luar sana mendengar ucapann
"Binar!" panggil seorang wanita paruh baya yang menunggu kedatangannya sejak tadi. Mendengar panggilan itu, obrolan tadi pun terputus dengan paksa. Binar menghela napasnya karena sudah merasa lega. Ya, ibunya Presdir Tama 'lah yang memanggil sambil merentangkan tangannya berharap akan disambut oleh Binar.Binar pun mendekat dan memeluknya, "Ny— Mommy … maaf, Binar terlambat!" seru Binar. "Kamu tahu, tidak? Mommy sudah lapar!" seru Nyonya Diana."Astaga, kenapa nunggu Binar, Mommy?""Karena Mommy pengen buat cake bareng kamu," sahutnya. "Kamu 'kan tahu, Mommy itu suka sekali buatan ibu kamu. Eh, iya, kapan-kapan bawa Mommy ke rumah, ya? Pengen kenalan sama ibu kamu!""Siap, Mommy!"Sementara Presdir Tama sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memerhatikan kedua insan tersebut. Nyonya Diana melirik sang putra, "Kenapa kamu?""Tak apa!""Mau ikut masak?""Enggak!""Makannya?""Enggak juga!"Nyonya Diana berkacak pinggang, "Kamu ini, gimana? Masa' buatan pacar kamu sendiri, kamu malas ma
Binar dan Presdir Tama saling tatap, Rayyan memang menyebalkan saat ini. Apalagi dia juga sudah tahu tentang sandiwara yang mereka ciptakan. Keduanya sangat yakin jika Rayyan akan memanfaatkan ini untuk kepentingan pribadinya."Sekarang giliran kalian yang aneh. Ada apa, Tama?" Presdir Tama menggaruk tengkuknya, "Mommy kayak nggak tahu si Rayyan aja, dia memang begitu, suka sekali membuat onar!""Yakin nggak ada yang kalian tutupi?""Apa Mommy nggak percaya dengan Tama?" Nyonya Diana hanya bisa menghela napasnya. Ia merasa ada yang menjanggal tetapi masih belum tahu dimana letak kejanggalan tersebut."Aneh sekali! Rayyan seperti terkejut saat tahu kalian pacaran. Jangan bilang sebenarnya kalian sedang bersandiwara depan Mommy?" tebak nyonya Diana sambil memicingkan matanya. Biasanya jika Presdir Tama sedang berbohong, pria itu memberikan gelagat anehnya. Akan tetapi kali ini pria itu berhasil untuk menunjukkan dihadapan sang ibu, jika dirinya tidak berbohong. "Kalau Mommy mengangg
Taman di mansion milik Tuan Angkasa cukup besar. Bahkan juga ada beberapa wahana seperti pelosotan dan ayunan sebagai pelengkap.Saat ini Binar dan Presdir Tama sedang berada di tamat tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak Binar. Sedangkan Presdir Tama terlihat dingin menatap lurus ke depan. "Pak Presdir —""Saya mencintaimu!" seru Presdir Tama."Apa?""Anggap saja saya mencintaimu."Binar semakin kecewa, dia mengira lelaki itu benar-benar menyukainya. Tetapi ternyata semua itu hanya bagian dari rencana. Binar menggelengkan kepala, "sorry tapi ini diluar dari kesepakatan kita. Saya tidak setuju! Pernikahan bukanlah permainan, Pak Presdir. Saya tidak bisa mengotori ikatan suci itu dengan perjanjian konyol ini.""Bagaimana kalau kita nikah beneran? Hanya dua tahun saja. Saya tidak akan menyentuhmu. Kita buat pernjanjian secara tertulis lagi. Bagaimana?""Tidak! Saya tidak setuju!""Bagaimana kalau bayarnya 100 kali lipat?""Apa anda sudah gila?" Binar sudah tak dapat lagi
[Buka pintunya sekarang!]Binar terperanjat kaget, kini kepalanya 'lah yang terbentur oleh lemari kecil yang berada di sebelahnya. Untunglah, panggilan tersebut terputus secara sepihak.Binar membuka pintu apartemen tersebut. Dengan spontan dia mundur kebelakang saat Presdir Tama masuk ke dalam. "Apa kita perlu ke dokter?" tanyanya.Binar menggelengkan kepala. Pria itu memerhatikan gadis cantik di hadapannya dari atas sampai bawah. "A—ada apa, Pak Presdir?""Apa kamu terbentur?""Ya, Pak Presdir nelpon saya, buat saya jadi terkejut.""Kamu menyalahkan saya? Lagian kenapa kamu masih tidur jam segini? Kamu lupa akan bertemu dengan ibu saya?""T—tidak, t—tapi …""Pakai ini!" Sambil menyerahkan sebuah paper bag yang sudah berisi pakaian lengkap. Bahkan tas, sepatu dan aksesoris lainnya juga sudah dipersiapkan. "Jangan ngintip, ya!" Seru Binar sambil berlari ke kamar mandi. "Kamu pikir saya selera?" ketus Presdir Tama. Binar masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan rutinitasnya. Satu jam
Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma
"Kamu ambil cuti cuma mau makan di sini? Sama siapa?" tanya Presdir Tama."Sa—"Olive berdehem membuat Binar menghentikan ucapannya. "Honey, kayaknya dia butuh waktu untuk sendirian. Makannya sendiri doang. Yuk, kita tinggalin!""Saya sama teman dekat saya. Iya!""Teman dekat?" tanya Presdir Tama."Ups! Secepat itu kamu berpaling, Binar? Bukannya kamu kemarin baru saja dekat dengan my honey, ya? Kenapa sekarang ada teman lainnya? Aduh, honey. Pilihan kamu sudah tepat dengan milih aku! Dari pada gadis ini, kamu sudah menyelamatkan diri kamu dari gadis yang berkhianat!"Binar meninggalkan mereka yang sedang berdebat. Dia pergi ke meja David tadi. "Kak David!" panggilnya.Respon David di luar dugaan, dia malah tersenyum lebar sambil menepuk tangan. "Gue tahu, Lo pasti mau minta maaf karena udah kayak tadi sama gue 'kan? Gue maafin!""Ck, tolong gue!""Maksud Lo?"Binar menarik tangan David, "Maaf, nanti gue ceritain!"Keduanya sudah berdiri di hadapan Presdir Tama dan Olive. Dengan terpa
Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y
"T—tidak.""Apa wanita itu ada di sini?""Dari mana Pak Rayyan tahu?""Berarti dia memang di sini?"Binar terdiam. Rayyan menaruh tangannya di saku celana. "Pak Rayyan, jangan menebar pesona gitu, saya tersepona." Binar memang sengaja mengalihkan pembicaraan."Terpesona!" tegas Rayyan. "Sudahlah, kamu jangan mengalihkan pembicaraan begitu, sekretaris Binar!" lanjutnya. "Saya permisi, Pak!" seru Binar."Mau ke mana, kamu? Katakan, apa dia di dalam?""Sebelum saya jawab, janji dulu untuk nggak bilang ke Presdir kalau semua ini saya yang aduin.""Aman!" singkat Rayyan. "Dia di dalam, bye!" ketus Binar sambil berlari. 'Huh, selamat … selamat …." Begitulah gumam Binar setelah menjauh dari Rayyan. Entah bagaimana nantinya saat Binar pergi tadi, tetapi yang terpenting bagi Binar dia sudah menjauh dari hal-hal yang membahayakannya."Pst, kenapa?" tanya sekretaris Andin yang ternyata sejak tadi melihat gerak-gerik Binar."Kepo!" Sahut Binar sambil menjulurkan lidah. Sementara di dalam ruan
Kini Binar sudah berada di luar ruangan Presdir Tama. Dia terus menggerutu karena dicampakkan begitu saja."Binar, tolong saya!""Binar, kamu harus di sisi saya.""Binar … Binar … Binar ….""Apaan? Bulshit!"Binar mengumpat atasannya sendiri. Lucu sekali. Karena bibir Binar kini bergeser kesana-kemari, wajah wanita ini sudah tak terkondisikan lagi."Woi, marah terus. Ada apa?" Sekretaris Andin mendekatinya. "Eh, kamu. Dari tadi, Ndin?""Ada apa sih?" Sekretaris Andin penasaran. "Nggak pa-pa. Aku lagi kesal aja. Ternyata semua laki-laki itu sama aja, ya!""Tunggu, tunggu … pertama kamu bilang nggak pa-pa, kedua lagi kesal. Ketiga kamu bilang laki-laki itu semua sama aja. Yang benar yang mana?""Satu dulu, baru dua, terakhir tiga. Dah, ah. Nggak penting juga untuk didebatkan!"Binar duduk di kursinya, kemudian dia menghadap sekretaris Andin yang berada di depannya. "Aku mau nanya sama kamu!""Hm, apa tuh? Eh, tunggu, aku ambil kursi dulu!" Sangking penasarannya, sekretaris Andin tidak
Disangka kerasukan membuat Binar sedikit kesal. Menyebalkan sekali, memang. Pria itu berbicara sesuka hati,"Apa ada orang kerasukan di siang bolong?""Bisa saja kamu orangnya! Katakanlah, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada.""Lalu, kenapa saya bicara kamu abaikan?""Hah?""Kamu buat saya seperti orang gila karena bicara sendiri. Jika saja ada yang melihatnya, mungkin saya dikira bicara dengan patung!"Ocehan Presdir Tama membuat Binar ingin tertawa. Seketika pria itu berubah menjadi pria bawel dan menjengkelkan."Oh … jadi begini, rasanya!" gumam wanita itu. "Rasa apa?" "Rasa sayange … rasa sayang sayange. Hei, lihat dari jauh, rasa sayang sayange." Agak lain Binar ini. Begitulah dia jika sudah diambang rasa malunya. "Pak Presdir kepo banget, deh! Ah, iya, saya lapar. Bisakah saya makan duluan?" lanjutnya. Presdir Tama malah tersenyum geli, meskipun sangat tipis terlihat. "Kamu itu, aneh. Memang tinggal kamu yang belum makan!" Binar mengedarkan pandangannya. Rupanya me
"Sayang …." Wanita itu bergelayut manja dipundak Presdir Tama. Namun secepat kilat pria itu menepisnya. "Sayang, kenapa kamu berubah? Ini aku, Sayang!""Hentikan, Olive!" bentak Presdir Tama.Bukan hanya wanita itu yang terperanjat kaget, tetapi juga Binar yang berada di sana. Bagaimana tidak? Suara pria itu begitu menggelegarkan seisi ruangan. "Tolong pergi sekarang, sebelum kesabaran saya habis!" lanjutnya dengan tatapan yang mematikan. Binar hanya menjadi penonton di sini. Pikirannya bertanya-tanya, siapa wanita ini dan mengapa Presdir Tama sangat membencinya. "Apa kamu tidak dengar, Olive?" lanjutnya lagi. "Sayang, maafkan aku. Apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahanku yang lalu? Aku, Olive yang baru. Aku sudah menyesal, Sayang! Aku sudah berubah, sungguh.""Itu bukan urusanku, Olive!""Sayang …."Wanita itu masih saja berusaha mendekati Presdir Tama. Namun langkahnya terhenti saat melihat pria itu menggenggam tangan Binar. "Sayang, kenapa kamu diam saja saat wanita j*lang men