"Dia siapa?" bisik Jennifer begitu melihat seorang wanita berdiri di depan mereka berdua. Seorang wanita yang sedang tersenyum lebar kepada Anna. Namun, Jennifer bisa tahu jika senyum itu tidak tulus. Anna memilih untuk bersikap biasa saja. Entah mengapa dia selalu kesal jika melihat wanita di depannya ini. "Kita bertemu lagi, An. Bagaimana kabarmu?" "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, Kim." Wanita yang tiba-tiba saja memanggil Anna itu adalah Kimberly. Ah, kenapa Anna harus bertemu Kimberly di sini? "Kau sudah punya teman sekarang?" tanya Kimberly dengan senyum mengejek saat melihat ke arah Jennifer. "Dasar wanita menyebalkan!" gerutu Jennifer kesal. "Sebenarnya dia siapa?" Anna mengendikkan bahunya. "Aku hanya tahu dia adalah wanita yang mengaku pernah menjadi kekasih Dominic, tetapi ternyata tidak." "Apa?" Jennifer menatap Kimberly dari atas sampai bawah. Dia terlihat tidak percaya jika Dominic pernah berkencan dengan Kimberly. Wanita itu memang t
Jennifer menutup pintu kamarnya dengan hati-hati saat melihat Dominic dan Anna pergi. Kedua pasangan itu benar-benar membujuk Elena agar bisa berbaikan dengannya. Siapa sangka jika Dominic yang sering dia pikir pria yang apatis itu, ternyata peduli dengan permasalahan yang sedang terjadi di dalam keluarga Williams. Melihat hal ini, Jennifer menjadi malu sendiri karena terlalu sering berpikir buruk tentang Dominic. “Ternyata aku benar-benar jahat selama ini karena membenci orang tanpa sebab,” gumam Jennifer dengan memejamkan matanya. Sekarang pikirannya mulai terbuka. Ternyata kakak suaminya itu memang baik, sama seperti yang selalu saja Charles banggakan. *** “Jika seperti ini terus, aku akan jatuh cinta lagi padamu?” Austin tidak bisa tidur dan berkegiatan dengan benar karena selalu saja terngiang oleh ucapan Daniella. Awalnya pria itu mencoba menyangkal. Tidak mungkin jika Daniella pernah menyukainya. Kalau memang itu pernah terjadi, kenapa Austin sama sek
"Kau hanya pergi untuk belanja?" Dengan wajah polos Daniella menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan Austin. "Kenapa kau tidak bilang padaku?" tanya Austin dengan mengusap wajahnya kasar. Dia sudah menangis seperti orang gila saat tahu jika Daniella tidak ada di rumah. Akan tetapi, siapa sangka gadis itu hanya pergi berbelanja? Oh, astaga! Mau taruh di mana wajah Austin sekarang? "Aku sudah izin tadi, tapi tidak denganmu," sahut Daniella santai, seraya berjalan meninggalkan Austin menuju dapur. Kedua tangannya sudah lelah karena memegang dua kantung belanjaan yang isinya cukup banyak. Melihat Daniella yang tampak keberatan, Austin segera menyusul, dan mengambil kantung belanja Daniella. "Sini biar aku bawakan saja." "Tapi—“ "Biar aku masakkan juga. Kau pasti sangat lelah sekarang. Silakan tunggu dan duduk dengan tenang!" perintah Austin tegas seolah tidak bisa dibantah. Mendengar hal itu, spontan Daniella menyetujuinya. Sekali lagi, dia merasa seperti te
Daniella tampak mematung ketika mendengar permintaan Austin yang tidak pernah terduga. "Austin ... apa yang kau lakukan?" tanya Daniella. Dia terperanjat saat melihat Austin tiba-tiba saja berlutut di hadapannya, tanpa melepas genggaman tangan mereka. "Tolong, beri aku kesempatan satu kali lagi, Daniella. Aku ingin kita memulai semuanya dari awal." "Kau jangan bercanda seperti ini, Austin," pinta Daniella dengan ekspresi gelisah. "Aku bersungguh-sungguh." Austin membalas perkataan Daniella yang tampak ragu. Pria itu juga menatap gadis yang sedang mengandung anaknya itu dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak bisa melepaskan Daniella begitu saja. Austin tidak bisa jauh dari Daniella. Cukup pagi tadi dia dibuat seperti orang gila. "Aku tidak mau kehilangan kau lagi, Daniella. Entah apa namanya perasaan ini, tapi aku benar-benar tidak mau kau pergi lagi. Aku ingin kau tetap di sisiku, selamanya." Daniella bergeming. Lebih tepatnya, mendadak gadis itu tidak bisa berpikir
Mendadak dunia Daniella seperti terhenti saat mendengar Austin mengajaknya menikah. Meski pria itu sudah biasa mengatakannya, tetapi entah mengapa yang kali ini terdengar cukup berbeda. Tidak terlihat paksaan yang biasa pria itu lakukan, yang hanya tatapan tulus yang membuat Daniella tidak bisa berpikir. Apakah ini semua hanya mimpi? "Daniella?" panggil Austin sekali lagi saat melihat gadis di depannya ini diam mematung. Daniella menatap Austin dengan saksama. Pria itu terlihat sangat bersungguh-sungguh. Apa ini semua memang benar-benar nyata? "Selama ini aku berpikir jika perasaanku padamu itu hanyalah semu, tapi sejak kau aku tidak menemukanmu hari itu, aku sadar jika aku mencintaimu. Hanya saja selama ini aku selalu berusaha menyangkalnya, Daniella." "Aku tidak mengerti ... maksudku, aku benar-benar tidak tau harus mengatakan apa, Austin. Ini terlalu mendadak." Austin menggeleng cepat. "Ini sama sekali tidak mendadak. Kau ingat, saat Anna menolakku, dan kau bertanya
Anna dan Dominic sama-sama terkejut ketika mereka mendapat kabar jika Austin dsn Daniella akan menikah. Bagaimana bisa? Yang membuat mereka lebih terkejut lagi adalah hari pernikahan yang dilangsungkan tepat satu minggu, setelah Austin memberi kabar. Dan di sinilah mereka berada. Di tempat di mana Austin dan Daniella akan mengucapkan janji suci pernikahan mereka. Semua ini memang permintaan Daniella. Gadis itu tidak ingin ada pesta mewah karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Anna menatap Daniella dengan senyum lebar. Temannya itu tampak cantik dalam balutan gaun berwarna putih putih gading, dengan ekor panjang yang menjuntai di belakang. "Selamat, Daniella. Semoga kalian bahagia selalu." Anna memeluk Daniella dengan hangat. Dia ikut senang jika ini memang pilihan Daniella. "Terima kasih, An. Semoga pilihanku tidak salah kali ini." Anna melepaskan pelukannya dengan anggukan kepala. "Aku yakin Austin pasti sudah berubah sepenuhnya, setelah mendengar ceri
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat bagi Dominic dan Anna. Tidak terasa musim panas telah berlalu, dan telah berganti dengan musim gugur. Dominic tidak lagi merasakan gejala kehamilan seperti awal-awal kehamilan Anna. Pria itu mulai bekerja seperti semula di perusahaan Williams Group. Sedangkan Anna, dia menghabiskan banyak waktu dengan bersantai. Terkadang pergi berbelanja bersama Jennifer atau Elena. Kedua wanita itu lebih bersemangat menanti kelahiran bayi yang merupakan cucu pertama di Keluarga Williams itu. Bahkan Elena dan Hamilton sudah menyiapkan kamar khusus di rumah mereka untuk calon bayi Dominic dan Anna. Hal serupa tak berbeda dengan Charles dan juga Jennifer. Mereka berdua membelikan banyak pakaian untuk calon keponakan mereka, meski Dominic dan Anna masih meminta dokter untuk merahasiakan jenis kelamin bayi mereka. Tak ada yang lebih bahagia, selain sambutan hangat dari para anggota keluarga besar Williams. "Sayang, hari ini aku ada kelas yoga.
Anna terlihat girang saat melihat Daniella datang. Mereka memang kerap bertemu beberapa kali di kelas yoga ini, tetapi Anna pikir kali ini Daniella tidak datang karena masih berpikir jika temannya itu berada di Vermont. “Ah, Daniella. Kapan kau tiba di New York?” Daniella langsung memeluk temannya itu, lalu mencium pipi kanan dan kiri secara bergantian. “Baru kemarin.” “Katanya kau tidak bisa datang. Kenapa kau tidak bilang padaku.” Daniella mencubit pipi Anna yang menggelembung karena merajuk. “Tadinya kami memang tidak bisa datang, tapi tiba-tiba saja Austin bilang kami harus kembali ke New York.” “Jadi, kau datang bersama Austin juga?” tanya Anna seraya menyingkirkan tangan Daniella dari pipinya. Daniella mengangguk. “Dia sedang berganti pakaian di ruang ganti.” “Ah, sepertinya dia akan bertemu dengan Dominic," ujar Anna dengan mengajak Daniella untuk masuk. Sebelum itu mereka mengambil matras dan membentangkannya di atas lantai. Daniella dan Anna memilih un
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,