Anna mencoba mengingat siapa wanita berambut merah yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. Namun, sebelum mengingat apa pun, wanita sudah lebih dulu berbicara. “Kau beberapa tahun ini ke mana?” Wanita itu mengalihkan tatapannya pada pria tampan di samping Anna. “Dia siapa? Suami atau kekasihmu? Atau kau wanita simpanannya, ya?” Ketika menanyakan hal yang terakhir, wanita itu berbicara dengan setengah berbisik, tetapi Dominic masih bisa mendengarnya. Mendengar pertanyaan wanita itu yang cukup menyinggung, Dominic berdeham dengannya ekspresi datar. “Aku suaminya.” “Ah, suamimu,” kata wanita itu lagi. Dia sedikit tidak percaya. Dari mana Anna bisa mengenal pria tampan yang sudah dia tahu jika pria itu kaya raya. Selain itu, wajahnya juga tampak dewasa dan lebih pantas jika disebut sudah menikah. Jadi, Anna pasti simpanannya! “Nyonya, kau tau di mana—“ “Kau ingat aku tidak?” tanya wanita itu memotong perkataan Anna. Dia mencoba menelisik penampilan Anna yang berbeda 360 deraja
Setelah lelah seharian mencari keberadaan Carolina, Dominic dan Anna akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Usaha mereka tidak membuahkan hasil sama sekali. Alias Nihil! "Besok kita coba cari lagi, ya." Dominic berusaha menenangkan Anna yang terlihat resah. Anna hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Awalnya dia memang sedikit tidak peduli, tetapi setelah tidak mendapati keberadaan ibunya di mana-mana, Anna tidak bisa menyembunyikan lagi rasa khawatirnya. "Mau berendam bersama?" tawar Dominic. Dia sudah berdiri dan segera melepaskan pakaian bagian atas, sembari menunggu jawaban Anna. "Aku lelah, Dom.""Aku tidak akan meminta apa pun," sahut Dominic seolah mengerti dengan maksud Anna. Dia memang tidak berniat bercinta di dalam bath up. Dominic tahu Anna butuh ketenangan sekarang dan rileksasi. Jadi, tidak ada salahnya jika dia menawarkan untuk berendam bersama. "Janji tidak akan melakukan apa pun?""Iya, janji." Dominic menjawab dengan penuh keyakinan. ***Sudah bebera
Dominic menggenggam tangan Anna yang sejak tadi masih terdiam. Gadis itu masih syok dengan kejadian yang baru saja dia lihat. Selain terkejut dengan melihat korban kecelakaan yang berlumuran darah, Anna juga merasa terkejut karena tidak menyangka jika korban yang banyak dibicarakan orang-orang tadi adalah ... ibunya. Wanita yang selama beberapa hari ini selalu dia cari ke mana-mana. "Sayang," panggil Dominic dengan lembut. Dia menarik bahu Anna yang duduk di sampingnya, lalu memeluk gadis itu. "Ibumu pasti akan baik-baik saja."Sekarang mereka sedang duduk di depan ruang operasi. Setelah mengenali sang ibu tadi, Dominic langsung membawa Anna ke rumah sakit tempat Carolina di bawa. Dominic juga meminta pihak rumah sakit untuk bertindak cepat, melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan ibu mertuanya. Walau seburuk apa pun Carolina di masa lalu, Dominic juga tidak mungkin membiarkan wanita tua itu begitu saja. Dia masih punya hati nurani. "Dom, aku tidak tau harus berbuat apa seka
Anna memegang gagang pintu dengan perasaan bimbang. Tadi perawat rumah sakit sudah datang dan memberitahu kepadanya jika Carolina sudah bisa dilihat. Hanya saja, mereka hanya bisa masuk sendiri dengan pakaian steril lengkap. "Sayang," panggil Dominic ketika melihat Anna yang tampak ragu untuk masuk. Entah apa yang membuat istrinya itu masih takut untuk bertemu dengan ibunya sendiri. Padahal Carolina sedang tidak sadarkan diri. "Aku akan menunggu di sini," ucap Dominic yang mencoba menyakinkan Anna bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebelum masuk, Anna terlihat menghembuskan napasnya berkali-kali, dan tersenyum ke arah Dominic, memberi keyakinan kepada pria itu bahwa dia bisa melakukannya. Saat memegang pintu, dan membukanya, yang pertama kali dilihatnya ada sang ibu yang terbaring lemah. Entah mengapa Anna justru berdiri mematung, dengan angan yang terlempar jauh ke masa silam. ***"Dari mana kau, Anna?" Anna tersentak saat mendengar suara bentakan ibunya. Wanita itu sedang
Dominic mengerjapkan matanya saat mendengar suara deringan ponsel. Pasangan suami istri itu baru kembali ke hotel untuk beristirahat dua jam yang lalu. Sekarang siapa yang mengganggu Dominic? Mata pria itu menyipit karena sinar matahari yang sudah tinggi, dan dia segera meraih ponselnya di atas nakas dengan mendengkus kesal. Namun, kekesalannya langsung hilang begitu saja saat melihat siapa yang menghubunginya. "Halo.""Halo, Mr. Williams. Kami dari rumah sakit, ingin mengabarkan jika pasien atas nama Carolina kondisinya sangat buruk sekarang. Apa Anda bisa datang sebagai walinya?" Suara seorang wanita terdengar cukup cepat dari rumah sakit. "Kami akan ke sana.""Baik, Mr. Williams."Tut! Panggilan mereka terputus begitu saja. Dominic segera beralih pada Anna yang tidur begitu nyenyak. Dia jadi tidak tega untuk membangunkan istrinya itu. Anna baru bisa istirahat sejak semalam. "Hah, apa aku pergi sendiri saja?" tanya Dominic bimbang. Setelah memikirkan banyak hal, pria itu ak
Awan mendung mengiringi acara pemakaman Carolina. Setelah semua prosesi selesai, Dominic mengambil alih semuanya untuk memakamkan ibu mertuanya dengan layak. Dia juga sudah bertukar kabar dengan Elena di New York, setelah menceritakan perjuangan panjang mereka untuk menemukan Carolina. Awalnya, Elena memaksa untuk terbang ke London menemani Anna yang sedang berduka, tetapi Anna melarangnya. Dia tidak mau ada orang lain yang melihat betapa menyedihkan hidupnya. Bahkan di saat-saat terakhir Anna masih sempat meminta agar dia bisa bersama ibunya. Namun, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Dominic merengkuh pinggang Anna dari belakang dengan erat. Tidak ada sanak saudara, membuat mereka akhirnya merasa sedih berkali-kali lipat, hingga membuat mereka saling memeluk satu sama lain. Akan tetapi, apa mau dikata. Sejak kecil, Anna memang tidak tahu siapa keluarga ibu dan ayahnya. Pantas saja mereka membenci Anna. Ternyata karena kehadirannya, baik Frank ataupun Carolina sama-sama dibuang
Anna terbangun saat mendengar suara berisik beberapa saat yang lalu dari luar kamar. Setelah cuci muka dan menggosok gigi, akhirnya Anna memutuskan untuk keluar kamar saja, dan dia baru sadar jika sekarang mereka sudah tiba di apartemen. "Mama," panggil Anna pada Elena saat membuka pintu, yang mana membuat wanita paruh baya yang sedang duduk itu langsung menoleh. "Mama, kapan sampai? Kok, tidak membangunkan aku, Dom?" Anna bertanya pada Dominic yang entah kenapa justru mendengkus kesal. "Ah, Mama tidak mau mengganggu waktu istirahatmu, Sayang." Elena segera menghampiri Anna, dan membawa gadis itu untuk duduk. Sedangkan Dominic hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Tidak mau mengganggu? Padahal tadi Elena tidak percaya saat Dominic bilang kalau Anna masih tidur, dan justru membuat keributan. Menyadari jika putranya sedang kesal, Hamilton mengusap punggung lebar milik Dominic dengan berbisik, "Sabar, wanita memang seperti itu. Mereka selalu benar."Menyadari tatapan putra s
Di Vermont, Daniella masih berusaha membujuk Austin untuk memberikan kunci rumah padanya. Dia ingin kembali ke rumah dan bekerja dengan normal di Sky Crystal lagi, tetapi Austin tetap pada pendiriannya. Yang berbeda hanya sikap Austin yang tidak sekasar seperti pertama kali mereka tidak di Vermont. "Aku mau pulang, brengsek!" maki Daniella lagi. Sudah hampir dua minggu, Daniella menghabiskan hari-hari dalam kurungan penjara yang tanpa sengaja Austin buat. "Aku tidak akan membebaskanmu, sebelum kau berhenti bersikap seperti ini padaku."Daniella mencibir perkataan Austin. Memangnya apa yang pria itu harapkan dari sikap Daniella, yang sudah dipaksa berulang kali untuk membantunya melampiaskan nafsu? Jangan bermimpi! Sampai kapan pun, Daniella tidak akan bersikap lunak lagi seperti dulu. "Kau berharap aku menurut dan menjadi budakmu?" Austin langsung menatap tajam ke arah Daniella setelah mendengar perkataan gadis itu. "Apa aku pernah bilang jika aku ingin kau menjadi budakku, Dan
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,