Daniella membuka mata saat dia merasa silau akibat sinar matahari yang masuk menembus kaca jendela. Gadis itu bangun dengan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena semalam dia tertidur di sofa. Mata milik gadis berkulit cokelat itu menelisik seisi ruangan di rumah Austin yang masih tampak sepi. Namun, saat Daniella melihat ke arah jam ada di atas meja, gadis itu sedikit mengernyit. "Sudah jam sembilan?" Daniella bergegas berdiri. Dia kesiangan kali ini. "Apa Austin belum bangun juga?" tanya Daniella pada dirinya sendiri. Dia berjalan cepat menuju kamar Austin. Tidak biasanya Austin belum bangun sampai siang begini. Tiba-tiba saja perasaan Daniella dihinggapi rasa khawatir. Apa sudah terjadi sesuatu di dalam kamar Austin? Memikirkan hal buruk, Daniella berjalan cepat. Dia meraih gagang pintu dan membukanya dengan wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan. Namun, saat pintu terbuka ... Daniella tidak mendapati apa pun. Ruangan itu sudah kosong dan bersih! "Ke mana dia
Austin datang ke dapur setelah mencium aroma harum yang menggugah perutnya. Pria itu berjalan sembari mengacak rambut yang masih basah. Sehabis membersihkan rumah, Austin langsung mandi karena berkeringat. Jadi, sekarang dia butuh asupan nutrisi untuk menghilangkan rasa lapar. "Kau yang memasak?" tanya Austin saat melihat Daniella duduk di meja makan. Gadis itu hanya mengangguk dengan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri dengan santai. Austin hanya bergumam. Dia segera menuju dapur untuk mengambil makanan yang sama, seperti yang Daniella makan. Hanya pasta, tetapi entah mengapa terlihat menggiurkan bagi pria berkulit putih itu. Namun, setelah sampai di dapur, dalam hitungan detik Austin kembali menghampiri Daniella di meja makan dengan wajah kesal. "Daniella, di mana makananku?" "Makananmu?" tanya Daniella dengan kening berkerut. Tidak hanya itu, dia bertanya seraya memasukkan suapan terakhir pasta ke dalam mulutnya. "Aku tidak tahu. Memangnya kau sudah memasak untuk ma
Austin meraup wajahnya dengan kasar, dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi dalam keadaan telanjang, meninggalkan Daniella yang diam tanpa sepatah kata. Setelah pria itu memaksa Daniella untuk melakukan penyatuan tadi, kini ada sedikit rasa bersalah di hatinya ketika mendapati ekspresi datar dari wajah Daniella. Sebaliknya, sentuhan yang Austin lakukan tadi entah mengapa berhasil menggoyahkan perasaan Daniella. Meski awalnya bertindak kasar, tetapi pada akhirnya Austin melakukannya dengan lembut, bahkan bisa dikatakan dengan penuh perasaan. Entah hanya perasaan Daniella saja atau tidak, tetapi dia merasakan jika perlakuan Austin kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Maka dari itu, Daniella memilih untuk membuang wajahnya agar dia tidak luluh lagi dengan tatapan Austin yang seakan membius perasaannya. Ceklek! Suara pintu kamar mandi yang dibuka berhasil membuyarkan lamunan Daniella. Melalui ekor matanya, gadis itu menangkap pemandangan Austin yang masih sedikit basah dengan ha
Setelah berpikir selama tiga hari, akhirnya Anna menyetujui saran Dominic untuk mencari tahu tentang keberadaan ibunya. Anna melakukan hal itu juga semata-mata ingin membuktikan apakah kabar yang Nyonya Clark sampaikan itu benar? "Kita berangkat sekarang?" tanya Dominic saat melihat istrinya sudah siap. Gadis itu mengenakan dress putih gading bercorak floral, dengan rambutnya yang dicepol asal. Sebelum menjawab Dominic, hembusan napas Anna terdengar cukup berat yang membuat Dominic menoleh, lalu gadis itu mengangguk perlahan. Melihat kekhawatiran di wajah Anna, Dominic meraih tangan sang istri dan tersenyum lembut. Dia tahu ini keputusan yang sulit untuk Anna, tetapi gadis itu sudah cukup hebat karena pada akhirnya mau berdamai dengan sang ibu. "Aku sudah menyewa supir. Jadi, kita bisa bepergian dengan bebas. Kau masih ingat alamat tempat tinggalmu yang terakhir kali, Sayang?"Anna mengangguk. Namun, sebelum pergi dia kembali menatap Dominic dengan bertanya-tanya. Selama ini Do
Anna mencoba mengingat siapa wanita berambut merah yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. Namun, sebelum mengingat apa pun, wanita sudah lebih dulu berbicara. “Kau beberapa tahun ini ke mana?” Wanita itu mengalihkan tatapannya pada pria tampan di samping Anna. “Dia siapa? Suami atau kekasihmu? Atau kau wanita simpanannya, ya?” Ketika menanyakan hal yang terakhir, wanita itu berbicara dengan setengah berbisik, tetapi Dominic masih bisa mendengarnya. Mendengar pertanyaan wanita itu yang cukup menyinggung, Dominic berdeham dengannya ekspresi datar. “Aku suaminya.” “Ah, suamimu,” kata wanita itu lagi. Dia sedikit tidak percaya. Dari mana Anna bisa mengenal pria tampan yang sudah dia tahu jika pria itu kaya raya. Selain itu, wajahnya juga tampak dewasa dan lebih pantas jika disebut sudah menikah. Jadi, Anna pasti simpanannya! “Nyonya, kau tau di mana—“ “Kau ingat aku tidak?” tanya wanita itu memotong perkataan Anna. Dia mencoba menelisik penampilan Anna yang berbeda 360 deraja
Setelah lelah seharian mencari keberadaan Carolina, Dominic dan Anna akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Usaha mereka tidak membuahkan hasil sama sekali. Alias Nihil! "Besok kita coba cari lagi, ya." Dominic berusaha menenangkan Anna yang terlihat resah. Anna hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Awalnya dia memang sedikit tidak peduli, tetapi setelah tidak mendapati keberadaan ibunya di mana-mana, Anna tidak bisa menyembunyikan lagi rasa khawatirnya. "Mau berendam bersama?" tawar Dominic. Dia sudah berdiri dan segera melepaskan pakaian bagian atas, sembari menunggu jawaban Anna. "Aku lelah, Dom.""Aku tidak akan meminta apa pun," sahut Dominic seolah mengerti dengan maksud Anna. Dia memang tidak berniat bercinta di dalam bath up. Dominic tahu Anna butuh ketenangan sekarang dan rileksasi. Jadi, tidak ada salahnya jika dia menawarkan untuk berendam bersama. "Janji tidak akan melakukan apa pun?""Iya, janji." Dominic menjawab dengan penuh keyakinan. ***Sudah bebera
Dominic menggenggam tangan Anna yang sejak tadi masih terdiam. Gadis itu masih syok dengan kejadian yang baru saja dia lihat. Selain terkejut dengan melihat korban kecelakaan yang berlumuran darah, Anna juga merasa terkejut karena tidak menyangka jika korban yang banyak dibicarakan orang-orang tadi adalah ... ibunya. Wanita yang selama beberapa hari ini selalu dia cari ke mana-mana. "Sayang," panggil Dominic dengan lembut. Dia menarik bahu Anna yang duduk di sampingnya, lalu memeluk gadis itu. "Ibumu pasti akan baik-baik saja."Sekarang mereka sedang duduk di depan ruang operasi. Setelah mengenali sang ibu tadi, Dominic langsung membawa Anna ke rumah sakit tempat Carolina di bawa. Dominic juga meminta pihak rumah sakit untuk bertindak cepat, melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan ibu mertuanya. Walau seburuk apa pun Carolina di masa lalu, Dominic juga tidak mungkin membiarkan wanita tua itu begitu saja. Dia masih punya hati nurani. "Dom, aku tidak tau harus berbuat apa seka
Anna memegang gagang pintu dengan perasaan bimbang. Tadi perawat rumah sakit sudah datang dan memberitahu kepadanya jika Carolina sudah bisa dilihat. Hanya saja, mereka hanya bisa masuk sendiri dengan pakaian steril lengkap. "Sayang," panggil Dominic ketika melihat Anna yang tampak ragu untuk masuk. Entah apa yang membuat istrinya itu masih takut untuk bertemu dengan ibunya sendiri. Padahal Carolina sedang tidak sadarkan diri. "Aku akan menunggu di sini," ucap Dominic yang mencoba menyakinkan Anna bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebelum masuk, Anna terlihat menghembuskan napasnya berkali-kali, dan tersenyum ke arah Dominic, memberi keyakinan kepada pria itu bahwa dia bisa melakukannya. Saat memegang pintu, dan membukanya, yang pertama kali dilihatnya ada sang ibu yang terbaring lemah. Entah mengapa Anna justru berdiri mematung, dengan angan yang terlempar jauh ke masa silam. ***"Dari mana kau, Anna?" Anna tersentak saat mendengar suara bentakan ibunya. Wanita itu sedang
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,