Daniella menatap Austin dengan jijik. Jadi, pria itu masih menginginkan tubuhnya dengan mengungkit semua kebaikan yang pernah dilakukannya di masa lalu. Daniella benar-benar tidak menyangka jika sikap Austin sekarang benar-benar memperlihatkan bagaimana brengseknya pria itu. "Aku tidak mau ikut denganmu. Jika kau memang mau dengan tubuhku, aku bersedia melayanimu selama kau berada di sini." Entah bagaimana, akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa Daniella katakan. Dia tidak mau ikut bersama Austin lagi ke Sky Crystal. Jadi, hanya ini jalan satu-satunya agar Daniella bisa sedikit bebas dari Austin. Austin mematung mendengar perkataan Daniella. Dia tidak menyangka jika Daniella akan punya pemikiran seperti ini. Namun, bukan Austin namanya jika dia langsung setuju dengan apa yang Daniella tawarkan. "Ck, apa di sini kau bisa berbuat semaumu, Daniella? Aku tidak akan menerima penawaran apa pun!" tolak Austin dengan tegas. Daniella meremas tangannya sendiri karena merasa geram dengan s
Anna menatap Dominic yang duduk di sampingnya dengan napas terengah-engah. Mereka baru saja selesai bersepeda, setelah puas mengelilingi desa Kinderdijk. Salah satu desa wisata untuk melihat kincir angin yang letaknya lumayan jauh dari Amsterdam. Mereka harus menempuh perjalanan selamat kurang lebih 90 menit menggunakan kereta untuk bisa sampai di sini. Sebenarnya, mereka bisa saja pergi menggunakan mobil untuk menghemat waktu. Namun, Anna menolak dengan alasan jika dia ingin menikmati waktu bersama Dominic di dalam kereta. Mengingatkan mereka pada kencan pertama di dalam kereta bersama Harry dan Emily di Vermont waktu itu. "Ada yang mengganggumu, Sayang?" tanya Dominic setelah sadar jika Anna memerhatikannya sejak tadi. "Tidak ada. Aku hanya merasa tidak enak saja dengan Daniella tadi. Apa dia akan berpikir buruk tentangku?"Dominic sedikit bergeser, mendekati Anna dan langsung melingkarkan lengannya pada pundak sang istri. "Kalau dia memang mengerti dirimu, dia tidak akan berpi
Austin menarik tangan Daniella ketika gadis itu turun dari mobil yang menjemput mereka di bandara tadi. Setelah banyak berpikir akhirnya Daniella terpaksa ikut dengan Austin kembali ke Vermont. Dia tidak mungkin mengembalikan uang Austin yang begitu banyak. Jadi, Daniella memilih untuk ikut sembari mencari cara agar bisa lepas dari jeratan Austin. "Mau ke mana?" tanya Austin dengan tatapan datar. "Pulang ke rumah. Mau ke mana lagi? Aku tidak punya uang untuk kabur darimu," jawab Daniella ketus. Memangnya dia mau pergi ke mana lagi selain ke rumah? Lagi pula Daniella merasa sangat lelah dan butuh waktu untuk istirahat karena besok dia akan kembali bekerja di restoran Sky Crystal. "Apa aku memberikanmu izin kembali pulang ke rumahmu?"Alis Daniella saling bertaut saat mendengar pertanyaan Austin. "Kenapa aku harus butuh izin darimu? Itu rumahku sendiri, Austin.""Masuk ke dalam!" perintah Austin dengan tegas! Dia menunjuk pintu rumah melalui ekor matanya. "Tidak mau!" Daniella men
"Anna!"Anna menoleh saat mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Sesaat gadis itu terdiam ketika melihat wajah yang terasa tidak asing, yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. "Kau Anna, kan? Putrinya Johnson?" tanya wanita tua itu sekali lagi. Dia mendekati Anna dan berusaha menyentuh wajah gadis itu. Dominic yang melihat wanita tua itu mendekat, langsung berdiri di depan Anna untuk menghalangi sesuatu yang mungkin saja terjadi. "Anda siapa?" tanya Dominic dengan sedikit ketus. Anna bergeming. Dia mencoba mengingat, siapa wanita tua ini? "Kau kenal dia, Sayang?" Dominic beralih menatap dan menunggu jawaban dari istrinya. "Kau tidak ingat aku, Nak? Aku Clark."Clark? Nyonya Clark? Anna langsung ingat saat wanita itu menyebutkan namanya. Berulang kali, Anna mencoba memastikan wajah wanita tua itu dengan saksama. Kerutan di wajahnya sudah terlihat banyak, tetapi tidak dipungkiri dia masih terlihat cantik. Pantas saja, Anna tidak mengenalinya di awal tadi. Dulu Nyo
Dominic memerhatikan Anna yang sejak tadi berdiam diri, setelah bertemu dengan wanita bernama Clark tadi. Dia tahu pasti kabar yang dikatakan Nyonya Clark itu berhasil mengganggu pikiran istrinya. "Mau minum?" tawar Dominic setelah beberapa saat. Pria itu segera duduk dan menyibakkan selimut yang menutupi tubuh mereka, tanpa menunggu jawaban Anna. Sudah larut malam dan Anna masih belum tidur sama sekali. Bagaimana Dominic bisa terlelap kalau begitu? Anna menggeser sedikit tubuhnya lalu ikut terduduk dan menatap mata Dominic yang masih kelihatan segar. "Kau belum mengantuk, Dom? Ini sudah hampir jam satu malam."Bukannya menjawab langsung, Dominic justru menurunkan kakinya, dan berjalan menuju kulkas yang ada di bagian dapur,di dalam kamar mereka. "Aku tidak bisa tidur, Sayang. Kau terlihat gelisah sekali sejak tadi." Dominic menyerahkan satu kaleng bir tanpa alkohol pada Anna. Mereka tidak punya wine yang bisa dinikmati malam ini. Anna menerima bir yang Dominic berikan, seraya me
Daniella membuka mata saat dia merasa silau akibat sinar matahari yang masuk menembus kaca jendela. Gadis itu bangun dengan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena semalam dia tertidur di sofa. Mata milik gadis berkulit cokelat itu menelisik seisi ruangan di rumah Austin yang masih tampak sepi. Namun, saat Daniella melihat ke arah jam ada di atas meja, gadis itu sedikit mengernyit. "Sudah jam sembilan?" Daniella bergegas berdiri. Dia kesiangan kali ini. "Apa Austin belum bangun juga?" tanya Daniella pada dirinya sendiri. Dia berjalan cepat menuju kamar Austin. Tidak biasanya Austin belum bangun sampai siang begini. Tiba-tiba saja perasaan Daniella dihinggapi rasa khawatir. Apa sudah terjadi sesuatu di dalam kamar Austin? Memikirkan hal buruk, Daniella berjalan cepat. Dia meraih gagang pintu dan membukanya dengan wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan. Namun, saat pintu terbuka ... Daniella tidak mendapati apa pun. Ruangan itu sudah kosong dan bersih! "Ke mana dia
Austin datang ke dapur setelah mencium aroma harum yang menggugah perutnya. Pria itu berjalan sembari mengacak rambut yang masih basah. Sehabis membersihkan rumah, Austin langsung mandi karena berkeringat. Jadi, sekarang dia butuh asupan nutrisi untuk menghilangkan rasa lapar. "Kau yang memasak?" tanya Austin saat melihat Daniella duduk di meja makan. Gadis itu hanya mengangguk dengan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri dengan santai. Austin hanya bergumam. Dia segera menuju dapur untuk mengambil makanan yang sama, seperti yang Daniella makan. Hanya pasta, tetapi entah mengapa terlihat menggiurkan bagi pria berkulit putih itu. Namun, setelah sampai di dapur, dalam hitungan detik Austin kembali menghampiri Daniella di meja makan dengan wajah kesal. "Daniella, di mana makananku?" "Makananmu?" tanya Daniella dengan kening berkerut. Tidak hanya itu, dia bertanya seraya memasukkan suapan terakhir pasta ke dalam mulutnya. "Aku tidak tahu. Memangnya kau sudah memasak untuk ma
Austin meraup wajahnya dengan kasar, dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi dalam keadaan telanjang, meninggalkan Daniella yang diam tanpa sepatah kata. Setelah pria itu memaksa Daniella untuk melakukan penyatuan tadi, kini ada sedikit rasa bersalah di hatinya ketika mendapati ekspresi datar dari wajah Daniella. Sebaliknya, sentuhan yang Austin lakukan tadi entah mengapa berhasil menggoyahkan perasaan Daniella. Meski awalnya bertindak kasar, tetapi pada akhirnya Austin melakukannya dengan lembut, bahkan bisa dikatakan dengan penuh perasaan. Entah hanya perasaan Daniella saja atau tidak, tetapi dia merasakan jika perlakuan Austin kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Maka dari itu, Daniella memilih untuk membuang wajahnya agar dia tidak luluh lagi dengan tatapan Austin yang seakan membius perasaannya. Ceklek! Suara pintu kamar mandi yang dibuka berhasil membuyarkan lamunan Daniella. Melalui ekor matanya, gadis itu menangkap pemandangan Austin yang masih sedikit basah dengan ha
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,