Hamilton hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah istrinya yang seperti orang linglung, sejak pulang dari Kantor Dominic. "Elena, bisa kau ubah ekspresi wajahmu itu?""Pa, menurutmu kenapa Dominic masih mau menerima Anna setelah tahu bagaimana latar belakang keluarganya?" tanya Elena tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Hamilton tampak mengerutkan kening. Elena sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik setelah bertemu dengan Anna. Wanita paru baya itu jadi bisa berpikir dengan tenang. Namun, dia juga merasa sedikit heran saat Elena menanyakan tentang sudut pandang Dominic tentang gadis itu. Biasanya wanita itu hanya akan memikirkan tentang sudut pandangnya saja, tanpa peduli dengan pandangan orang lain. "Aku tidak tahu. Kenapa tidak tanyakan saja pada Dominic?" saran Hamilton agar Elena tidak pusing-pusing lagi. "Aku tidak mau. Nanti dia bisa merasa besar kepala dan berpikir jika aku menerima Anna.""Jadi, sekarang Mama mau menentang hubungan mereka?"Elena terdiam. Di s
Dominic masih merasa enggan meninggalkan Anna sendirian di New York. Jika saja tidak ada masalah dalam pembangunan hotel di Maryland, mungkin dia bisa saja meminta Adam yang mengurusnya sendiri di sana. Akan tetapi, masalahnya kali ini benar-benar serius yang mengharuskan Dominic turun tangan. "Yakin tidak mau ikut?""Iya, Dominic. Ini sudah pertanyaan ke dua puluh kali dalam dua jam sebelum kau berangkat," celetuk Anna yang sengaja menghitung setiap ajakan yang pria itu lontarkan setiap beberapa menit. "Oke-oke, baiklah. Aku menyerah kali ini."Anna hanya tersenyum lebar menanggapi kepasrahan Dominic. " Cepat selesaikan saja pekerjaannya, ya. Aku bisa menunggu di sini untuk beberapa hari.""Akan aku usahakan. Sebelum pesta peringatan hari jadi pernikahan orang tuaku, aku pasti sudah pulang."Anna mengangguk, lalu menoleh saat mendengar suara deru mesin mobil yang berhenti di hadapan mereka. Dominic dan Anna sengaja menunggu Adam di area parkir apartemen. "Adam sudah datang," kat
Matahari pagi itu bersinar dengan terang, seolah sedang tersenyum. Sama seperti Anna yang sedang memandang dirinya sendiri di depan cermin. Seperti biasa, gadis itu sudah siap dengan penampilannya yang memakai jeans panjang dan blouse berlengan panjang. Anna memang tidak punya pakaian berlengan pendek. Dia sengaja memakai pakaian panjang untuk menutupi bekas luka di tangannya. "Sudah beres. Aku tinggal mengirim pesan saja pada Dominic."Anna meraih ponselnya dan mengetikkan pesan yang tertuju untuk Dominic. [Hari ini aku ke toko kue. Jangan melarangku, ya karena aku benar-benar bosan hanya menonton saja di apartemen.] Tidak lupa Anna menambahkan emoticon di ujung pesannya. Ya, sudah satu minggu sejak Dominic berangkat ke Maryland, dan dalam waktu satu minggu itu juga Anna hanya menghabiskan hari-harinya di apartemen saja. Dia menonton banyak film dan tutorial memasak, lalu mempraktikkannya dan memakannya sendiri. Sampai pada akhirnya, Anna merasa jenuh juga. Ting![Ya, ingat ja
Emma memberikan sebotol air pada Anna yang tampak kesulitan bernapas. Setelah Frank pergi tadi dengan banyak uang milik Anna, gadis itu segera berjalan ke lantai atas, dan Emma sama sekali tidak menyangka jika dia akan menemukan Anna dalam kondisi mengenaskan. Gadis itu duduk dengan tatapan kosong. "Bisa tinggalkan aku sendiri, Emma?" tanya Anna dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Meski ragu, Emma akhirnya setuju dan meninggalkan Anna seorang diri. Tidak lupa dia juga akan segera melaporkan kejadian tadi pada Adam. Siapa pun yang melihat kejadian tadi, pasti akan merasa geram dengan tingkah Frank yang semena-mena. Brak! Setelah mendengar suara pintu yang tertutup, kedua kaki Anna yang sejak tadi berusaha menopang tubuhnya, kini perlahan luruh. Gadis itu duduk dengan menyandarkan tubuhnya ke tepian meja. Suara napasnya juga terdengar tidak teratur. Sikap kasar Frank tadi benar-benar membuat Anna takut. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa pun jika sudah berhadapan deng
Anna berjalan dengan langkah gontai saat dia mendengar suara bel yang berbunyi beberapa kali. Setelah pertemuannya dengan Frank siang tadi, Anna langsung kembali ke apartemen. Bahkan dia belum sempat memasak meski perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Selalu seperti ini setiap kali dia berjumpa dengan Frank. Energi di tubuhnya seolah-olah tersedot habis. Meski merasa sedikit malas, Anna tetap ingin tahu siapa yang bertamu malam-malam seperti ini. Namun, saat membuka pintu, Anna sedikit terkejut ketika melihat siapa tamunya yang datang. Bahkan gadis itu sedikit merasa gelisah saat melihat Elena yang berdiri di hadapannya sekarang. "Tante," panggil Anna masih dengan wajah terkejutnya. Jujur saja dia masih belum menyangka akan kembali bertemu Elena dalam waktu dekat, setelah tahu jika wanita paru baya itu adalah ibunya Dominic. "Tidak mau menyuruhku masuk?" Elena bertanya saat melihat Anna hanya diam saja, tanpa berniat membuka pintu. "Ah, iya, maafkan saya. Silakan masuk, Tan.
"Sini biar aku saja yang mencuci piring kotornya." Anna menggulung lengan kaus panjang yang dikenakan, dan meminta Elena untuk segera menepi. Dia merasa tidak enak jika harus melihat Elena bersih-bersih lagi. Wanita itu sudah memasakannya tadi. Elena menuruti keinginan Anna, dan membiarkan gadis itu mencuci piring dalam keadaan hening. Melihat bekas luka sayatan di sepanjang tangan Anna, dia kembali teringat dengan ucapan Dominic tadi. Gadis itu sering mencoba bunuh diri! "Anna.""Ya, Tante," sahut Anna dengan menoleh. "Kau butuh sesuatu?""Tidak." Elena kembali terdiam. "Kau tidak ingin tahu apa alasan aku biar berada di sini?" tanya Elena tiba-tiba. Entahlah! Dia hanya ingin tahu apakah Anna sudah tahu jika dia ibunya Dominic atau bukan. Anna menutup kran air dan berbalik lalu menatap Elena dengan penuh tanda tanya. "Bukankah tadi Tante bilang—“"Aku belum mengatakan apa alasanku ada di sini, kan? Tadi aku hanya bilang jika aku tahu tempat tinggalmu dari Emma saja."Sekarang
Pagi ini Anna masih meringkuk di dalam selimut tebal miliknya. Malam tadi perutnya sangat kenyang, hingga dia bisa tidur dengan nyenyak, tanpa mimpi buruk seperti biasanya setelah bertemu dengan sang ayah. Namun, saat mendengar suara ponsel yang berbunyi beberapa kali, Anna jadi memaksakan diri untuk membuka mata. "Siapa yang mengganggu tidurku?"Saat melihat nama Dominic, gadis itu langsung duduk dan membuka matanya lebar-lebar. Apalagi saat melihat Dominic melakukan panggilan video, Anna bergegas merapikan rambut dan sedikit berkaca untuk melihat bagaimana penampilannya. Lalu saat menyadari tingkah konyolnya, Anna menjadi tertawa kecil. Kenapa dia harus melakukan hal seperti ini? Padahal Dominic sudah sering melihatnya saat baru bangun tidur. Tanpa menunggu lama lagi, Anna segera menjawab panggilan Dominic."Halo, Sayang. Kenapa lama sekali mengangkat panggilan dariku?" tanya Dominic saat melihat wajah Anna di layar ponsel. "Aku baru bangun, Dom.""Baru bangun? Sepertinya tid
Elena tersenyum tipis saat Anna melambaikan tangannya. Dia baru saja mengantarkan gadis itu ke toko kue, dan sekarang dia harus pulang ke rumah karena sejak semalam Elena belum pulang sama sekali. Sesampainya di rumah, Hamilton sudah menyambut Elena di depan pintu dengan gurat khawatir yang bisa dilihat dengan jelas. "Apa ada masalah? Kenapa tidak pulang semalam?" Hamilton langsung memberondong istrinya dengan banyak pertanyaan. "Tidak ada. Aku menginap di apartemen Dominic malam tadi. Aku juga sudah kirim pesan padamu, kan?""Ya ... hanya saja aku pikir ada masalah serius yang terjadi, Ma. Sampai-sampai kau menginap di sana. Apalagi katamu kau tidak ingin bertemu dengan gadis itu, bukan?""Apa aku pernah bilang seperti itu?" Elena berbalik dan menatap suaminya dengan kening berkerut, seperti sedang berpikir keras. Kapan dia pernah bilang tidak mau bertemu dengan Anna? Menyadari tatapan sang istri yang sedikit berbeda, Hamilton langsung menggeleng dengan tertawa kecil. "Sepertiny
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,