Revan membuka matanya, mengumpulkan setiap energi yang ada untuk bangun. Menatap jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Revan meraupkan kedua tangannya ke muka. Sayup-sayup Revan mendengarkan sebuah suara dari luar kamarnya.
"Paman dan tante sudah pulang." Revan bangkit dari ranjangnya.
"Van ... Revan. Kau masih di rumah 'kan?" teriak Tante Indah.
"Masih, tante!" balas Revan berteriak dari dalam kamarnya. Tangannya menarik handuk dari gantungan dan melangkah keluar menuju kamar mandi.
"Baru bangun ya, Van?" tanya sang paman. Revan menggaruk-garuk kepalanya.
"Iya hehehe ...," ucap Revan nyengir.
"Ya sudah kau mandi dulu, setelah itu kita makan bersama."
"Sip ...." Revan melangkahkan kakinya masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower dan membersihkan seluruh tubuhnya. Selesai mandi Revan langsung bergabung dengan paman dan tantenya.
Revan tergeletak tidak sadarkan diri di lantai. Keadaan rumah si kembar gelap gulita karena listrik padam dan terlebih lagi rumah kosong. Hal itu menjadi tidak ada orang yang menolong Revan. Pagi pun tiba, Aluna kaget ketika akan masuk. "Kenapa pintunya tidak dikunci? Padahal semalam sudah aku pastikan kalau pintu ini terkunci." Revan menatap Mang Dadang. "Non, apa ada maling masuk?" "Bisa jadi, mang." "Biar mamang yang masuk dahulu, Non." Mang Dadang segera membuka pintu lebar dan masuk ke dalam. Aluna mengikuti Mang Dadang di belakang. Baru beberapa langkah, mereka berdua kaget melihat Revan tergeletak di lantai. "Revan!" Aluna bergegas menghampirinya. "Van ... Revan, bangun." Aluna menggoyangkan tubuh Revan. Revan pun kaget seketika, dia langsung bangun dan terlihat seperti orang bingung. "Ja-jangan mendekat!" pekiknya.
"Kau masih memantau rumah itu?" ucap seorang pria."Tentu saja setiap pagi saya selalu memantau. Saya mangkal di sana paling lama tiga puluh menit, pak.""Baiklah. Aku ingin kau tetap pantau atau kau bisa beraksi dengan cara kau sendiri," lanjut pria tersebut menatap anak buahnya, "apa kau sudah punya sebuah rencana?" tanyanya.Pemuda yang berdiri dengan memakai setelan kaos, celana tiga seperempat beserta topi bundar dan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Pemuda tersebut menceritakan apa yang terjadi tadi pagi."Dia memesan sesuatu untuk besok pagi," ujarnya."Kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan!" Pria itu menatap sang pemuda dengan tajam."Baik pak, saya akan melakukannya.""Sekarang kau boleh pergi!" Pria itu kembali duduk dan menyalakan sebatang rokok. Memutar kursi yang dia duduki, menatap keluar menembus jendela dan menyilang kan kakinya.
Saat Aluna melangkah mendekati baskom plastik dengan udang yang berceceran di dekatannya, dia menoleh ke arah kiri melihat sebuah bayangan yang tampak seperti bergerak tergelepar seperti ikan yang kehabisan oksigen. Setelahnya kucing itu tidak bergerak sama sekali."Re-Revaan!" teriak Aluna melengking keras seakan membuat rumah itu bergetar. Revan yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di kepalanya sampai kaget."Ada apa sih? Pagi-pagi sudah teriak-teriak. Bikin orang jantungan saja," celetuk Revan."Ini loh, Van," tunjuk Aluna ke bawah kolong meja. Mata Revan langsung turu ke bawah melihat ada apa gerangan di sana."Iya, aku lihat ada kucing di bawah kolong," sahut Revan lalu membalikkan badannya."Van!" panggil Aluna tegas. "Bukan itu yang aku maksud. Ada yang aneh dengan kucing ini. Coba deh, kau ke sini dan melihatnya sendiri," tutur Aluna.Revan k
Rencana yang sudah dirancang oleh Aiptu Anang akan dilakukan oleh Aluna besok pagi. Mungkin dia akan melihat reaksi kaget dari si tukang sayur ketika melihat dirinya dalam keadaan sehat.Aluna mendudukkan dirinya di karpet ruang depan. Gadis itu menarik napas panjang dan melirik ke arah Revan yang tengah sibuk dengan laptopnya. Revan terlihat sangat fokus menatap layar laptopnya dan jemari tangannya terus bergerak.Dia kembali mendongak ke atas menatap langit-langit plafon eternit. Pikirannya kembali menerawang saat dirinya masih di Belanda. Aluna mengingat kenangan bersama dengan Alena, Revan, dan Bagas.Apakah aku boleh mengeluh? batinnya dalam hati mengingat kenangan semuanya. Menangis pun tidak akan mengembalikan semuanya.Jujur, aku sudah capek dengan ini semua. Tapi, aku tetap harus bertahan dan mengungkap semua kebenarannya. Ini semua demi Alena dan Bagas.
"Bagaimana ini?" Aluna memperhatikan ikan nila yang ada di depannya. Dilema antara bingung untuk memakannya atau akan dibuang. "Apa kita akan makan ini?" "Kalau kau ragu, coba praktikkan lagi," sahut Revan dari ruang depan. "Apanya yang mau dipraktikkan dan siapa yang ikhlas menjadi kelinci percobaan?" tanya Aluna. "Nah, di belakang rumah banyak kucing liar. Coba saja kasih beberapa potong pada mereka. Kalau setelah memakannya kucing tersebut baik-baik saja, berarti ayam itu aman untuk kita makan. Namun jika kucing itu langsung kejang-kejang, berarti tidak aman untuk kita makan. Jadi, buang saja. Beres 'kan?" "Masa iya kucing dijadikan kelinci percobaan, Van?" "Lalu kau maunya manusia yang jadi kelinci percobaannya?" Aluna melengos mendengarkan kata-kata Revan. Akhirnya dia mengikuti apa kata Revan. Gadis cantik itu mengambil beberapa potong ayam dan membawanya ke sa
Mendapat panggilan dari Revan, Aiptu Anang segera melaju ke rumah si kembar. Setelah sampai di rumah Aluna, polisi muda segera mengecek cumi-cumi yang sudah Aluna masukkan ke dalam baskom plastik. Revan pun menceritakan gerak-gerik si tukang sayur itu. Aiptu Anang memutuskan cumi-cumi itu akan dia bawa ke laboratorium kantornya. Mereka bertiga memutuskan untuk memberi sebuah hadiah pada kang sayur. Sepertinya tukang sayur menjelma menjadi pemuda yang misterius yang membuat Aiptu Anang penasaran. Dia mempunyai rencana akan membuntutinya esok hari. Lebih tepatnya Aiptu Anang ingin tahu siapa dalang dibalik semuanya ini dan anak buah siapa dia. Kalau dugaan Anang tidak meleset, berarti sebentar lagi dalang dari kasus kematian Saraswati akan terungkap. Hasil yang didapat oleh Aiptu Anang dari laboratorium kantornya juga sama persis dengan yang kemarin. Tentu saja ini membuat polisi muda itu semakin semangat dalam mengusut tuntas kasus yang p
Dia mengendarai mobilnya begitu kencang, mencoba menghindari kejaran polisi. Namun, keberuntungan tidak berpihak padanya. Mobil yang dia tumpangi sudah terkepung, bahkan sempat tergelincir karena hampir melarikan diri.Beruntung, Aiptu Anang berhasil menembak salah satu kakinya hingga dia tersungkur jatuh. Jika tidak dia akan melarikan diri lagi. Akhir dari seorang tukang sayur yang berusaha untuk meracuni Aluna dan Revan. Apa motif-nya?Aiptu Anang membawa si tukang sayur, tepatnya Rahmat namanya ke Kantor Polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Ternyata setelah sampai kantor pun dia tetap bungkam seribu bahasa. Berbagai cara telah dilakukan oleh Aiptu Anang hingga kekerasan pun dia lakukan hanya untuk membuat Rahmat membuka mulutnya.Namun, usaha yang dilakukannya tidak membuahkan hasil. Kini, semua harus memutar otak untuk menginterogasinya. Pada akhirnya semua dibuat kaget dengan keputusan yang diambil Rahmat. Entah apa y
Aluna mulai bisa mengingat si pemilik tatto kecil bergambar tengkorak tersebut. Ya, tatto itu sangat mirip dengan tatto yang dimiliki oleh si tukang sayur. Aluna mulai berpikir tentang siapa dia? Hal itu masih menjadi teka-teki karena hilal juga belum terlihat dengan jelas. Namun, satu demi satu pasti akan terungkap dengan jelas dan takbir kebenaran akan terlihat. Setelah acara tiup lilin, Aluna duduk di samping tubuh saudara kembarnya. Ditangannya tergenggam sebuah kotak perhiasan yang akan diberikan untuk Alena. "Len, aku berakhir membeli barang yang kau impikan selama ini. Kalung couple dolphin itu sudah ku beli. Aku berharap kau bisa cepat siuman dan kita bisa bersenang-senang lagi. Len, aku kangen ...." Air mata tampak lolos dari pucuk mata Aluna. Dia benar-benar sedih melihat Alena yang terbaring di atas ranjang. Aluna membuka kotak perhiasan tersebut. Dia mengeluarkan sepasang
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny
"Apakah aku juga harus membunuh orang-orang itu?" ucapnya memainkan pisau yang sedang dia pegang. "Jika tidak aku bunuh, mereka pasti akan mengetahui di mana aku menguburnya hidup-hidup," imbuhnya.Pria tersebut terlihat sangat kebingungan dan berjalan mondar-mandir di ruangannya. Memegang kepalanya dan mengurut pelipisnya. Lalu dia berteriak kencang dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada di atas meja.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, begitulah kata pepatah. Pria berkumis itu mendadak menjadi cemas dan gelisah."Bagaimana kalau setiap malam dia selalu datang menghantuiku?" Sembari menggigit kukunya."Belum lagi hantu kepala buntung dan—dia—dia dengan suara tangisan yang menggelegar setiap malam." Pria itu mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat stres.Malam kembali datang, desiran angin malam berhembus
"Orang pinter, Non?" Pernyataan Aluna membuat Mang Dadang mengerutkan alisnya. "Hmm ... kalau orang pinter sih Mamang tidak tahu, tapi kalau Nyonyah tahu.""Tante Nita?" ulang Aluna. Mang Dadang mengangguk."Tapi sepertinya beliau sedang istirahat, karena dari tadi siang ada di rumah sakit," papar Mang Dadang."Ya sudah, biar besok saja. Lagi pula aku juga capek, Mang." Aluna duduk di sofa."Mang, aku mau ngomong nih," tutur Revan."Mau ngomong apaan, Den? Kok sepertinya serius banget," lanjut Mang Dadang."Begini Mang, kita kan dari kemarin selalu dihantui oleh hantu anak-anak dan hantu wanita berbaju merah. Nah, kemarin itu kita berdua eh ... bukan ding, bukan aku tapi Aluna di datangi oleh hantu tanpa kepala," ucap Revan panjang lebar."Terus-terus." Mang Dadang terlihat kepo."Ih, apaan sih Mang." Revan kaget saat melihat Mang Dadang b
"Kamar mandi ... kamar mandi, Lun. Ada banyak darah di kamar mandi." Revan terlihat heboh sendiri."Kamar mandinya kenapa, Van? Gelap?" ledek Aluna."Bu-bukan itu, Lun. Ada darah di mana-mana." Revan menarik Aluna dan memposisikan dirinya di belakang tubuh Aluna ketika sampai di depan pintu kamar mandi. Revan mendorong tubuh Aluna pelan. "Coba kau tengok ke dalam," tunjuk Revan."Iya-iya, aku tengok. Tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti ini kan, Van," protes Aluna. Revan pun melepas pegangan tangannya.Sementara itu, Aluna menelan saliva-nya ketika tangannya terulur untuk mendorong pintu kamar mandi tersebut. Aluna menutup matanya dan mendorong pelan pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah terbuka lebar, Aluna membuka matanya sendiri. Lalu kepalanya melongok masuk ke dalam dan memeriksa seluruh isi kamar mandi. Aluna mengerutkan dahinya setelah dia masuk ke dalam kamar mandi untuk memastikannya.