"Ibu ... Rida takut, Bu!" lirih Rida membuat tangis Rukaya semakin menjadi.Ia genggam erat tangan kecil Rida penuh dengan amarah dan penyesalan."Maafkan Ibu, Rida! Maaf ... " Rukaya tergugu, ia peluk raga lemah Rida dengan erat.Pun dengan Rida, yang tangisnya pecah dalam pelukan ibunya, ibu yang
Usai berkata demikian, dia cium tangan Sarma. Lalu bergegas bangkit untuk pulang."Rukaya!" cegah Rusman lagi."Maafkan saya, Kang. Untuk kali ini, tidak ada yang bisa menahan saya. Akang sekalipun!"Rukaya segera berlalu dari sana, tergesa menuju parkiran untuk mengambil motornya. Dengan tekad bula
"Atau sebaiknya kita kabur saja, Kang? Kita minggat, biar Ceu Kaya tidak bisa macam-macam sama kita," saran Sadun semakin panik."Enak saja! Kalau kita minggat, Rukaya justru semakin mencurigai saya, Dun. Gimana, sih, kamu!" gerutu Bahar."Lagian, minggat juga butuh duit, Dun. Duit dari mana, coba?"
"Saduuuuunnnn .... !!!!!"Sadun menoleh dengan mata mendelik sempurna, wajahnya berubah pias, dan detak jantungnya berdebar begitu hebatnya.Ingin lari tak mungkin sebab dia tengah membawa satu karung timun, dan lagi akibat teriakan yang membahana itu para pekerja justru mendadak berkumpul di tepian
Senyum jahat terbit melumpuhkan akal sehat, diambilnya sabit itu lalu melemparkan dengan posisi miring dengan sekuat tenaga. Dewi fortuna seolah ada di pihaknya, sabit yang dia leparkan tepat mengenai betis kaki kanan Sadun. Membuat Sadun tersungkur ke aspal dengan darah seketika mengalir dari kakin
Kamar yang hanya berukuran 3x3 meter itupun sontak riuh oleh jeritan Sarti yang melihat sendiri kondisi Sadun yang mengenaskan.Bahar pun sama, bak orang bodoh dia melihat raga Sadun yang terkapar tepat di lantai dekat dengannya.Tiba-tiba suara Rukaya menyadarkannya dari keterkejutan."Wow ... Liha
Rukaya tak mau berhenti hingga jeritan Rusni terdengar."Kaya!!! Hentikan, Kaya! Bahar!!!" Rusni merangsek ke tengah kerumunan, mendorong tubuh Rukaya yang sedang melukis di tubuh telanjang Bahar."Kau gila, Rukaya!" jerit Rusni memangku kepala Bahar.Sedangkan Sarti hanya bisa menangis sambil merin
Di kota, Rusman dan Yuni terduduk lemas di karpet setelah mendengar kabar bahwa Rukaya benar-benar membuktikan sumpahnya. Lain halnya dengan Sarma yang justru tersenyum bangga dengan aksi Rukaya."Setelah ini, biarkan Neng Rida hidup sama Nini saja. Insya Allah, Nini akan menjaganya sepenuh hati." u
"Masya Allah, alhamdulillah, terimakasih banyak Wak, Bi. Neng, bahagia sekali," ujar Santi sepenuh hati menatap sayang kepada keluarga ayahnya itu satu persatu. Sampai kepada Rida, Santi teringat akan pesan yang dikirimkan oleh Bintang tadi."Oh iya, Neng teh sampai melupakan sesuatu," lanjutnya mem
Kunjungan keluarga Bintang ke rumah sakit tempat dirawatnya Santi tak hanya sekedar kunjungan biasa. Rupanya, terjadi pembicaraan serius antara Rusman dan Hendrawan terkait kelanjutan rencana pernikahan anak-anak mereka.Semua sudah dibicarakan dan tanggal pun sudah ditetapkan, yaitu 2 minggu lagi m
"Hayuk masuk atuh, kita sarapan dulu!" ajaknya usai memeluk Aisyah dan Linda bergantian. Bahkan, Hendrawan pun dia perlakukan bak anak sendiri."Kebetulan kita belum sarapan, Ni," balas Hendrawan yang segera melangkah masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.Mereka bercengkerama selayaknya keluarg
"Sudah siap semua, A'?" tanya Hendrawan kepada Bintang yang tengah memakai sepatunya.Bintang mendongak menatap ayah sambungnya yang sudah terlihat semakin segar setelah 2 hari dia tunggui di rumah. Rupanya, sakitnya Hendrawan hanyalah penyakit malarindu kepada anak-anaknya saja. Setelah Bintang dan
Dalam pikirannya, kuliah dan mendapat gelar itu adalah penunjang langkah menuju sukses yang dia inginkan. Meski jalan yang dilalui tak mudah, tetapi memiliki ijazah sarjana adalah merupakan salah satu batu loncatan menuju puncak kesuksesan. Berbeda dengan Ikhsan yang memilih memgembangkan skil yang
Bintang membawa langkah dengan pasti saat burung besi yang mengatarnya pulang ke tanah air telah berhenti sempurna. Menderap langkah semakin cepat usai mengambil koper miliknya menuju pintu keluar bandara.Setelah hampir 5 jam di udara, akhirnya kakinya menapak tanah air dengan selamat. Namun, perja
Mau tak mau Santi pasrah juga, mengalungkan tangan di leher sang ayah yang terasa semakin tua itu. Menatap wajah lelaki hebatnya itu dalam-dalam. Sudah banyak keriput menghiasi wajah bapaknya, menandakan bahwa bapaknya tak lagi muda. Namun demikian, bapaknya masih kuat menggendongnya sampai ke toile
Waktu berputar begitu cepat, tanpa terasa mentari dengan cepat menghapus pekatnya langit malam. Usai sholat subuh, Bintang dengan segera bersiap untuk pulang ke tanah air. Mendapat penerbangan pagi membuatnya semakin tak sabar untuk bertemu dengan orang-orang yang dia rindukan.Dengan diantarkan ol
Di belahan bumi lain, Bintang tengah bersiap untuk kepulanganmya esok hari. Mengemasi beberapa pakaian yang akan dia bawa pulang. Kepulangannya kali ini bukan untuk tak kembali, karena masa pendidikannya juga belumlah usai."Berapa lama kamu di rumah, Tang?" tanya Abdi yang melihat rekan satu aparte