Sudah satu bulan berlalu setelah Gibran dan Farrel wisuda. Saat ini Naira dan Alisya harus berangkat sekolah seperti dahulu, hanya berdua dan tanpa adanya sang kekasih ketika di sekolah. Bahkan sosok nenek sihir seperti Hanum pun sudah tidak ada di sana. Ya, mereka sudah menginjak bangku kelas 12-AKS sekarang. Alvalino merasa bahagia selama ini, karena sudah tidak ada pengganggu seperti Gibran yang akan menghalanginya untuk berdekatan dengan Naira.
Pelajaran sudah dimulai sejak dua jam yang lalu. Tapi Alisya malah melamun dengan memainkan pensilnya di atas meja. Bahkan Naira juga menyanggah kepalanya dengan tangan kiri dan memandang kosong ke papan tulis yang sudah penuh dengan coretan. Lelaki yang berada di samping Naira langsung mendekat dan berkata, “Tanpa dia di sekolah juga harus tetap semangat dong, Nai.”
“Iya nggak, Sya?” Tambah Alvalino lalu terkejut melihat Alisya yang juga sedang melamun seperti Naira. Lelaki itu menggaruk kepa
Bersambung...
Seorang gadis tengah duduk dengan menundukkan kepala yang sudah disembunyikan di kedua tangannya. Ia terlihat sangat resah hari ini. Bahkan Alisya yang sedang bercerita panjang lebar mengenai hubungannya dengan Farrel pun Naira malah terdiam saja dan belum juga memberikan tanggapan apa pun. Pikirannya masih tertuju pada kejadian waktu Gibran tertawa bersama gadis cantik di dalam mobil ketika pulang sekolah kemarin. Untungnya ada Alvalino yang menemaninya saat itu, jika tidak mungkin Naira sudah menangis dan langsung pergi dari sana. Sekuat apa pun seorang gadis masih memiliki sebuah titik lemah. Ya, gadis akan mampu bertahan jika memendam perasaannya sampai kapan pun, tapi tidak akan kuat jika melihat seorang lelaki yang dicintainya bersama dengan gadis lain. Apalagi dengan menampakkan senyuman yang terlihat sangat bahagia seperti kemarin. Tiba-tiba air matanya menetes dengan sendirinya tanpa permisi dan berhasil membuat Alisya yang sedang berbicara langsung m
Seorang gadis tengah duduk di sebuah kolam ikan yang penuh dengan ikan koi mahal. Gadis itu sangat bosan karena menunggu kakak lelakinya yang tak kunjung pulang ke rumah. Padahal sekarang sudah pukul 23.15 WIB tapi kakak lelakinya mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya yang sangat membosankan. Ia bangkit dan beranjak ke ruang tamu untuk merebahkan tubuhnya ke atas kursi yang sangat empuk. Ia meraih ponselnya mencoba untuk mengecek isi ponselnya karena takut adanya pesan dari sang kekasih yang belum dibalas. Naira sudah mengirimkan banyak sekali sebuah pesan tapi ternyata belum ada balasan apa pun dari seorang Gibran Alandra. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar dan langsung meletakkan ponselnya ke sembarang tempat. Tiba-tiba benda pipih itu berbunyi selama tiga kali dan Naira langsung bergerak cepat untuk meraih ponselnya. Gadis itu memperbaiki posisinya dan segera duduk dengan posisi kedua kaki yang sudah diangkatnya ke atas kursi. T
Sudah waktunya untuk istirahat karena bel sudah terdengar. Para murid bergegas dengan teman yang lainnya untuk segera ke kantin. Berbeda dengan Naira yang terlihat sangat resah dan sesekali melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja. Gadis itu kehilangan selera makannya selama seminggu ini karena Gibran yang tidak ada kabar lagi. Alisya sudah berusaha membujuk sahabatnya itu untuk pergi ke kantin. Setidaknya makan sesuap atau dua suap nasi supaya perutnya tidak kosong. “Gibran ke mana ya, Sya?” tanya Naira dengan mengacak rambut. Alisya yang sedang berdiri langsung mendekat dan merapikan rambut Naira dengan menggulungnya ke atas. “Gibran nggak ada kabar lagi?” Gadis di depannya langsung mengangguk lemah lalu menjatuhkan kepalanya ke atas meja dengan sedikit keras. Hal itu membuat Alisya langsung panik karena terdengar bunyi ‘bugh’ ketika Naira melakukannya. Sepertinya cinta tidak hanya membuat Naira mer
Saat bel pulang sekolah sudah terdengar, Naira dan Alisya terkejut ketika ada perkelahian di lapangan sekolahnya. Yang paling mengejutkan adalah perkelahian itu dilakukan oleh dua orang yang Naira kenal. Ya, Gibran dan Alvalino sudah saling pukul di sana. Gadis itu segera menjatuhkan tasnya lalu berlari mendekat ke arah mereka. Ketika Naira menengahi perkelahian mereka, gadis itu terkena satu pukulan dari Gibran Alandra. Lelaki itu hanya terdiam memandangi wajah kekasihnya yang sudah tersungkur ke bawah. Setelah itu Alvalino bangkit dan memukul wajah Gibran yang hanya terdiam saja dengan menundukkan kepalanya. Banyak sekali yang melihat mereka yang sedang berkelahi, sehingga membuat Farrel dapat dengan mudah mencari keberadaan sahabatnya itu. Seluruh orang yang sedang datang untuk melihat itu dibubarkan oleh Farrel lalu mendekat ke arah Naira karena sudut bibirnya sudah berdarah. Alisya yang melihat kejadian itu segera berjalan dan mengh
Suasana di ruang kelas terlihat ramai dan Naira segera duduk di kursi yang tempatnya berada di depan bangku Alisya. Ada sekumpulan murid yang sedang berbincang dengan temannya yang lain. Alisya yang baru masuk langsung berjalan dan mendekat ke arah Naira dengan senyuman yang sudah mengembang. “Selamat pagi, Ra!” Gadis itu berteriak dengan suaranya yang sangat menyebalkan, sehingga membuat murid-murid langsung melirik ke arahnya dengan tatapan yang terlihat sinis. Maklum, karena masih pagi dan Alisya sudah berteriak dengan suaranya yang cempreng seperti toa masjid. Kemudian seorang lelaki datang dan langsung duduk di belakang Naira. Ia melalui Naira begitu saja seperti tidak mengenalnya sama sekali. Hal itu membuat Naira merasa kebingungan. Bahkan Alvalino sudah memberikan kode pada Alisya supaya dirinya duduk di tempatnya dan membiarkan Alisya duduk sebangku dengan Naira lagi. “Alva?” panggil Naira yang membuat lan
Dua sahabat itu sedang berjalan di mall yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah Naira. Bahkan kakak lelakinya juga sudah memberikan izin dengan syarat kalau Naira tidak boleh pulang melebihi dari jam 21.30 WIB. Sifatnya yang posesif tidak juga memudar dari dahulu. Bahkan sebelum diizinkan ke mall, Naira sempat bertengkar dengan kakak lelakinya. Karena sebuah kesepakatan yang dibuat oleh kakaknya antara ‘kakaknya tetap posesif’ atau ‘mendiamkan Naira.’ Hal itu membuat Naira langsung mengalah dengan kakaknya yang sudah tersenyum licik. Alisya menggandeng tangan sahabatnya ke tempat photo box. Karena Naira sangat susah ketika diajak berfoto. Maka dari itu, tanpa adanya basa-basi Naira langsung mengiyakan ajakan menyebalkan dari sahabatnya itu. Setelah selesai berfoto, Alisya terlihat sangat bahagia ketika melihat hasil fotonya yang sudah ke luar. Sebuah senyuman yang tadinya terlihat dari bibir Alisya pun memudar setelah melihat foto me
Dirga berjalan dengan nampan yang sudah disiapkan sebelumnya oleh asisten rumah tangganya. Di atas nampan sudah terdapat semangkuk bubur ayam dan segelas susu rasa coklat kesukaan Naira. Lelaki itu berdiri di depan kamar Naira dengan sesekali mengetuk pintu kamar adiknya yang masih tertutup sejak satu bulan ini. Belum ada yang dapat menghiburnya sekarang. Lebih tepatnya tidak ada yang menghibur karena dirinya sudah kehilangan sang mood booster. Satu bulan yang lalu setelah Dirga mengertahui adiknya pulang dalam keadaan mata sembab, dari sana lah lelaki itu sudah dipenuhi oleh rasa emosinya yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Tidak perduli sedang malam, Dirga sudah bergegas pergi saat itu untuk mencari keberadaan Gibran Alandra. Dipukulnya lelaki itu sampai babak belur, sehingga tidak dapat berjalan. Bahkan sampai kaki dan hidungnya patah. Tidak ada satu orang pun yang dapat menghentikan Dirga. Bahkan adiknya saja sangat kewalahan k
Sudah satu jam setelah Naira melakukan check-in. Saat ini ia sudah di waiting room dengan Alisya yang sudah berada di sampingnya. Tapi anehnya sudah ada Alvalino yang juga ikut karena dipaksa oleh kakak lelakinya. Ia tidak ingin adiknya mengalami hal nuruk di negara orang lain. Maka dari itu, Dirga sudah menyiapkan semua keperluan mereka bertiga sebelum berangkat. “Naira?” panggil Alvalino yang sudah duduk di samping Naira. Gadis itu langsung menoleh ke arah Alvalino yang sudah terlihat begitu grogi dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Ehem! Ehem!” Alisya mengacaukan suasana dengan pura-pura batuk. Mungkin ia merasa iri karena kekasihnya tidak berada di sampingnya sekarang. Lebih tepatnya sudah berada di Paris dengan Gibran yang sedang terbaring di rumah sakit. Naira menatap kosong ke depan dengan pikiran yang sudah tidak beraturan. Ia sangat ingin tahu apa yang sudah terjadi pada Gibran. Apalagi sa