Aruna baru tiga langkah melewati pagar rumah Raja, tiba-tiba ia berpapasan dengan Anggasta yang baru saja pulang untuk makan siang. Anggasta memberhentikan motornya tepat di depan Aruna, dan melepas helm yang ia kenakan. "Loh mas Anggasta udah pulang?" "Kamu abis ngapain Na dari rumah Raja?" tanya Anggasta dengan nada menginterogasi. "Aku abis anter lauk mas buat Raja, soalnya tadi aku masak lumayan banyak." jelasnya. "Raja? sekarang manggilnya udah Raja ya gak dokter Raja lagi?" Anggasta tersenyum sinis. "Kamu kenapa sih mas? cemburu?" "Enggak, dah buruan naik. Ayo kita pulang," Anggasta mengenakan lagi helmnya. Aruna naik ke atas motor tanpa menyahut ucapan Anggasta lagi, hati Anggasta kini sedang teramat kesal karena cemburu buta. Harapannya Aruna segera membujuknya untuk menaikkan lagi moodnya, tapi Aruna malah hanya diam seakan tidak menggubris kekesalannya. Aruna yang selama ini selalu berpacaran dengan lelaki yang tidak memiliki sifat cemburuan, jadi tidak tau bagaimana
"Kamu kenapa gelisah banget si Na? nunggu suami kamu?" tanya Davira. "Enggak kok, Ra. Kalau gitu aku pulang dulu ya? udah malam juga," "Mau aku anter?" tawar Davira. "Gak usah, aku naik taksi aja." tolaknya. Aruna kesal bukan main pada Anggasta, sudah tidak mengantarnya saat berangkat sekarang Anggasta malah tidak menjemputnya juga tidak memberikan kabar. Rasa kesalnya pada Anggasta sudah di ubun-ubun, ia berjanji akan memberi Anggasta pelajaran kalau sudah sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Aruna di sambut oleh mbok Jum di depan teras dan langsung di seret ke dalam rumah tepatnya ke dapur. Keadaan dapur kini sudah seperti kapal pecah, piring kotor dimana-mana dan bau gosong tercium begitu menyengat. Ada lima cake gosong dan adonan coklat cair yang entah untuk apa, namun di antara kekacauan itu Aruna menemukan semangkuk ramen kesukaannya di atas meja makan dan jus strawberry dengan topping eskrim vanilla di atasnya. Saat Aruna tengah memandangi makanan tersebut, Anggasta kelu
Bau anyir, juga rasa sakit yang tidak tertahankan kini tengah Aruna rasakan. Tubuhnya tergeletak bersimbah darah di lantai, keringat dingin terus mengucur dari dahinya akibat rasa sakit yang ia rasakan. Aruna terus berteriak meminta tolong, rasa sakit ini seperti akan mencabut nyawanya. Aruna menangis, namun tidak ada satupun yang datang menghampirinya. Gumpalan daging keluar dari area intimnya, Aruna yakin itu adalah janinnya yang baru saja gugur. "Tolong," Aruna menangis lirih meminta tolong. "Sayang, bangun sayang." samar-samar Aruna mendengar suara Anggasta, namun ia tidak melihat keberadaan Anggasta di manapun. Aruna terbangun dari mimpi buruknya, peluh membasahi dahinya dan wajahnya begitu pucat. Aruna melirik ke sekitarnya, ini masih di kamarnya dan ada Anggasta yang kini tengah memeluknya. "Kamu kenapa sayang?" tanya Anggasta seraya mengelus pucuk kepala Aruna. "Aku, aku mimpi buruk mas." Tubuhnya gemetar hebat, mimpi itu terasa begitu nyata bagi Aruna. "Udah ya jangan t
"Mas terimakasih ya? ini ada sedikit uang untuk mas karena sudah membantu saya." Aruna menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribu kepada pemuda yang membantunya membawa Anggasta ke rumah sakit. "Gak usah kak, saya ikhlas kok nolongin. Kalau gitu saya pergi ya? semoga suami kakak cepat sembuh." Anggasta masih tertidur pulas di atas brankar, tangannya begitu dingin dan bibirnya juga terlihat pucat. Untuk sementara Anggasta akan di infus dulu untuk memulihkan tenaganya, juga di beri obat lewat suntikan untuk penyakit lambungnya. Aruna tidak tau kalau ternyata Anggasta memiliki penyakit lambung karena Anggasta selalu terlihat bugar di depannya, Aruna jadi semakin merasa bersalah dan menyesali tingkah bodohnya yang begitu egois. Seharian ini yang ia lakukan hanya menguji kesabaran Anggasta, hingga akhirnya lelaki itu masuk rumah sakit karena perbuatan bodohnya. Aruna duduk di sebelah Anggasta dengan bola mata yang berkaca-kaca, pakaiannya masih setengah basah karena ia belum sempat ber
Raja berjalan sendirian di lorong rumah sakit yang sudah terlihat sunyi, sekarang sudah pukul sebelas malam dan semua pasien sudah tidur di kamar rawatnya masing-masing juga jam kontrol besuk sudah tidak ada. Di balik kaca pintu, Raja mengintip kemesraan di antara Aruna dan Anggasta. Mereka nampak intim di atas brankar karena tau sekarang bukan lagi jam visit dokter, jadi mereka merasa aman sekarang untuk melakukan apapun. Raja merasa bersalah sudah mengintip mereka seperti ini, tapi Raja begitu penasaran dengan apa yang perawat Nia katakan tadi sore. Kedua tangan Aruna merangkul erat leher Anggasta yang tengah berada di atasnya, kulit putihnya yang hanya terbalut pakaian dalam dapat terlihat jelas membuat hasrat Raja mendadak naik drastis. Suara dan tawanya yang terdengar begitu manja, membuat hati Raja serasa terombang-ambing membayangkan kalau yang ada di posisi itu adalah dirinya bukan Anggasta. Desahannya yang lembut, membuat Raja turn on seketika. Tubuhnya mendadak terasa gerah
Raja memarkirkan mobilnya secara asal di halaman rumah dokter Hirawan, hari ini ia tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri demi merefresh otaknya yang sudah terlalu penat. Dengan langkah lunglai, Raja menyusul dokter Hirawan yang tengah berjemur di bawah sinar mentari pagi sembari menikmati sarapannya di gazebo. Tempat ini selalu menjadi spot favoritnya untuk bersantai, dulu saat mendiang istrinya masih ada mereka selalu menghabiskan waktunya berdua di sini. Membicarakan tentang keluh kesah pekerjaan, atau menceritakan suatu kisah menakjubkan yang terjadi di rumah sakit. Raja berbaring di sebelahnya, matanya terpejam namun tidak tertidur. Nafasnya mengehela panjang seakan tengah mengeluarkan resah yang ada di hatinya, eskpresi wajahnya terlihat kusut tidak bergairah sehingga membuatnya ketampanannya sedikit berkurang."Butuh solusi apa?" tanya dokter Hirawan seolah-olah tau apa tujuan kedatangan Raja. Raja membuka kedua matanya, lalu bangkit dan duduk sambil kedua tangannya menopang
Jam kerja Raja akhirnya selesai juga, ia segera pergi ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya dan menjemput Triana untuk dinner. Namun saat sampai di sana ia melihat siluet perempuan tengah berdiri di sebelah mobilnya, tangannya melambai ke arah Raja dengan senyumannya yang merekah lebar. Di tangannya ada sebuah paper bag yang cukup besar, entah apa isinya. "Aruna, kamu kenapa ada di sini?" "Aku dari kemarin mau ketemu kamu, mau kasih uang ganti yang kemarin kamu beliin aku pakaian dan makanan tapi kamu sulit banget ditemuinnya." ujar Aruna. "Oh iya maaf, kemarin aku sibuk. Untuk masalah uang, maaf aku ga bisa terima itu karena aku tulus nolong kamu Na." sahut Raja agak sedikit cuek, namun jauh di lubuk hati sebenarnya ia tidak bisa cuek seperti ini pada Aruna. Bau aroma masakan menguar dari dalam paper bag, membuat perut Raja mendadak keroncongan apalagi mengingat betapa nikmatnya masakan Aruna. "Nah, aku udah tebak kalau kamu bakalan nolak jadi sebagai gantinya aku kasih maka
"Non Aruna, ada dokter Raja di depan." ucap mbok Jum setelah membukakan pintu."Mau apa Raja pagi-pagi kesini, Na?" tanya Anggasta. "Gak tau mas," Mereka berdua keluar bersamaan menghampiri Raja, lelaki itu kini tengah berdiri di teras rumah dengan sebuah paper bag di tangannya. Saat mendengar suara langkah kaki mendekat, Raja langsung berbalik dan tersenyum ramah kepada sang tuan rumah. "Raja?" "Pagi Aruna, aku mau balikin kotak makanan ini sekaligus mau ucapin rasa terimakasih." Raja menyodorkan paper bag berisi kotak makanan yang semalam Aruna gunakan untuk membawa makanan ke rumah sakit, di dalamnya juga ada beberapa makanan Chinese food seperti dimsum, jiaozi, lumpia dan won ton. "Aduh kenapa pakai di kembaliin Raja," ujar Aruna kikuk saat melihat tatapan tajam Anggasta, pasalnya semalam Aruna tidak bilang kalau ia memberikan makanan untuk Raja. "Gak apa-apa Aruna, lagipula itu cuma makanan biasa. Oh iya, ngomong-ngomong rasa masakan kamu semalam luar biasa dan itu semuany
Hingga setengah tahun pernikahan, Aruna masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Anggasta memang tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal anak, tapi sejujurnya Aruna sudah ingin merasakan kembali rasanya mengandung dan menjadi calon ibu. Saat melihat tetangga yang sedang hamil ataupun memiliki bayi, rasa iri dan sedih di hati Aruna langsung muncul secara bersamaan. Aruna takut jika ia memang benar-benar tidak bisa mengandung dan memiliki anak, Aruna takut jika suatu saat Anggasta berubah pikiran dan menginginkan seorang anak darinya tapi ia tidak bisa mewujudkan yang Anggasta inginkan. "Sayang kamu kenapa?" tanya Anggasta seraya menghapus air mata Aruna."Aku cuma sedih aja, udah setengah tahun umur pernikahan kita tapi gak ada sedikitpun tanda-tanda kalau aku akan hamil.""Gak usah pikirin hal itu sayang, udah aku bilang berkali-kali kan kalau kita memang gak di takdirkan menjadi orang tua aku tetap akan mencintai dan menerima keadaan kamu." Anggasta mengelus pelan
Satu minggu kemudian, "Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Clarabella Gistara binti Rei Takahiro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap Anggasta lantang di hadapan semua saksi dan tamu undangan. "Bagaimana bapak-bapak? sah?" tanya penghulu. Semua orang serempak mengucapkan kata sah, mulai detik ini Aruna resmi menjadi istrinya Anggasta. Setelah ijab qobul selesai, Anggasta membawa Aruna ke meja inti untuk bergabung bersama kedua orang tua mereka. Tidak ada pelaminan disini dan hanya menyediakan meja untuk pengantin beserta keluarga juga meja untuk para tamu undangan, Anggasta sengaja tidak membuat konsep pelaminan karena Aruna tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang. Raja terpaku di balik stir mobil, rasanya berat sekali untuk masuk ke dalam gedung dan melihat Aruna menjadi istri orang lain. Seharusnya ia yang menjadi suami Aruna bukan Anggasta, semua impiannya berantakan karena perjodohannya dengan Celine. Hingga detik ini Raja belum bisa menerima Celine di hatinya meski
Pagi hari saat Aruna dan Ayara sedang sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Rajasa beserta keluarganya dengan membawa barang hantaran lamaran yang cukup banyak. Ayara memang menyuruh Anggasta menunjukkan keseriusannya pada Aruna dalam waktu dekat, tapi ia tidak menyangka jika Anggasta datang pagi ini juga untuk menunjukkan keseriusannya. "Maaf, saya tidak menyiapkan apapun untuk keluarga pak Rajasa." ucap Ayara kikuk. "Tidak apa-apa Ayara, saya tau Anggasta lupa mengabari kamu karena dia terlalu sibuk kemarin menyiapkan semua ini." sahut Rajasa. Di sebelah Ayara Aruna duduk dengan tatapan tanpa ekspresi menatap semua orang, sedangkan di hadapannya ada Anggasta yang nampak gugup setengah mati. Setelah melewati obrolan panjang lebar antar dua keluarga, kini tinggal Aruna yang menjawab permintaan Rajasa tentang lamaran Anggasta. "Bagaimana sayang? apa kamu menerima lamaran Anggasta?" tanya Ayara karena Aruna tidak kunjung membuka suara. Aruna menarik nafas panjang dan menghe
Setelah menghabiskan waktunya seharian bersama Anggasta, kini Aruna tertidur pulas setelah menyantap pancake buatan Anggasta. Meskipun ia belum bisa menerima kehadiran Anggasta, namun kedatangan Anggasta hari ini membuatnya sedikit terhibur setelah beberapa hari ia habiskan sendirian di rumah tanpa teman mengobrol. Saat kedua mata Anggasta hendak terpejam menyusul Aruna, tiba-tiba pintu kamar Aruna di buka oleh seseorang. "Anggasta?!" "Mamah eh maksudnya tante Ayara," "Sedang apa kamu di kamar Aruna, Anggasta?" tanya Ayara berbisik, matanya melotot menatap Anggasta tidak suka. "Tante, kita ngobrol di luar aja ya? Aruna baru aja tertidur." Ayara mengangguk dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar Aruna, di ruang tamu ia duduk bagaikan nyonya besar yang siap menginterogasi anak buahnya. Anggasta mengambil posisi duduk bersebrangan dari Ayara, ia sudah siap dengan hal apapun yang akan Ayara katakan padanya bahkan sebuah penghinaan. "Kalau kamu ada di sini, saya bisa tebak pasti k
"Alisya," panggil Aruna untuk yang ke sekian kalinya, namun asisten rumah tangganya itu tidak kunjung datang.Aruna cukup kerepotan tanpa seorang perawat yang membantunya untuk berpindah posisi ataupun mengambil barang, apalagi Alisya tidak selalu ada di rumah entah kemana ia pergi. Semenjak Takahiro meninggal pekerja di rumah ini di kurangi hingga tersisa dua orang saja dan satu penjaga keamanan di depan, juga satu orang supir kantor yang di panggil bekerja di rumah jika Ayara sedang membutuhkan supir. "Alisya, Tuti!" panggil Aruna mulai tidak sabaran. Tenggorokan Aruna rasanya sudah kering sekali, tapi air yang tersedia di kamar sudah habis. Entah kemana perginya dua asisten rumah tangga itu, sampai Aruna memanggil dan menunggu hampir setengah jam lamanya mereka tidak kunjung datang juga. Mau tidak mau Aruna terpaksa mengambil air di dapur sendirian jika begini, Aruna menyeret tubuhnya menuju tepi kasur dan saat hendak menyentuh nakas untuk menarik kursi roda pijakan tangannya ter
Setelah kemarin Anggasta yang datang, kini gantian Rajasa dan Kinan yang datang menemuinya. Meskipun mereka mengatakan hanya ingin menjenguk keadaannya sekaligus bersilaturahmi, tapi Aruna yakin mereka ingin mencoba meluluhkan hatinya untuk menerima Anggasta kembali dengan cara yang halus. "Gimana kabar kamu nak?" tanya Kinan. "Seperti yang ibu lihat, saya masih di kursi roda sampai sekarang." Aruna tersenyum tipis dengan nada bicara yang sedikit sarkastik. "Oh iya mamah kamu kemana Aruna?" tanya Rajasa. "Mamah masih d Taiwan pak Rajasa, rencananya baru pulang besok." sahut Aruna. "Panggil saja saya ayah seperti dulu, Aruna." "Maaf pak, tapi sekarang Aruna bukan lagi menantu pak Rajasa. Yang lebih berhak memanggil pak Rajasa ayah ya istri mas Anggasta yang selanjutnya nanti," sahut Aruna. Kinan dan Rajasa terdiam sejenak, sepertinya meluluhkan kembali hati Aruna tidak bisa tergesa-gesa tapi mereka tidak mau menyerah demi Anggasta. Untuk mengalihkan pembicaraan, Kinan mengajak
"Nona Aruna, itu mas Anggasta kan?" tunjuk supir Ayara ke halaman rumah Takahiro yang sekarang menjadi milik Aruna. Aruna menajamkan penglihatannya di tengah gelapnya halaman rumah, ternyata itu benar-benar Anggasta dengan bola mata yang memerah seperti habis menangis juga kelopak matanya yang sembab. "Pak, tolong bantu saya turun." pinta Aruna. "Nona Aruna mau menemui mas Anggasta?" "Turunkan saja saya pak, jangan banyak tanya." sahutnya. Dari kejauhan Anggasta menatapnya sendu dan penuh kerinduan, ingin rasanya Anggasta memeluk Aruna dan menatap wajah yang selalu ia rindukan selama tiga tahun ini. Hati Anggasta yang selama ini terasa mati saat berhadapan lawan jenis, kini mulai berdesir kembali saat melihat wajah Aruna meskipun Aruna hanya menatapnya tanpa ekspresi."Mau apa mas datang kesini?" tanya Aruna setelah posisinya dekat dengan Anggasta. "Na, kamu apa kabar?" tanya Anggasta. "Aku tanya mas Anggasta mau apa datang kesini?" Anggasta menghela nafas pelan, "Na, apa bena
Setelah mengambil keputusan secara matang, Raja dan Aruna akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyudahi pengobatan Aruna di Jepang. Awalnya keputusan ini di tentang oleh Ayara, tapi setelah Aruna berusaha meyakinkannya akhirnya Ayara mau mengalah dan menerima keputusan mereka. Setelah menempuh perjalanan udara hampir delapan jam, mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul tiga sore. Setelah tiga tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Aruna akhirnya kembali lagi dengan kondisi yang sama seperti saat tiga tahun yang lalu ia meninggalkan negara ini. Tidak ada yang menjemput kedatangan mereka di bandara, Ayara sedang melakukan perjalanan bisnis ke Taiwan sedangkan dari pihak keluarga Raja tidak memungkinkan untuk menjemputnya. Firman sedang sibuk-sibuknya mengurus rumah sakit keluarga Hirawan, dan Haga yang sudah menetap di Dubai sejak tiga tahun yang lalu setelah menghadiri acara pernikahan mantan kekasihnya. Raja tidak mempermasalahkan ketidakhadiran kakak-
Tiga tahun kemudian,POV Anggasta"Selamat sore pak Anggasta, hati-hati di jalan pulang." sapa penjaga keamanan kampus."Iya terimakasih pak kumis," sahutku.Tiga tahun berlalu aku lewati tanpa kamu, Aruna Clarabella Gistara. Tiga tahun aku lewati rasa sakit dan sepi ini sendirian, dengan di bubuhi sedikit mimpi kalau suatu saat kamu akan kembali padaku dengan senyum cantikmu yang selalu membuatku jatuh cinta. Tiga tahun aku mencoba move on darimu, meski begitu aku tidak pernah berniat mengganti posisi kamu dengan perempuan lain di hati ini. Kamu tetaplah ratu di dalam hatiku, namamu selalu bertakhta indah di hati ini. Bagaimana kabar kamu sekarang sayang? Apa kamu bahagia hidup tanpa aku? Apa kamu sudah menemukan lelaki yang membuatmu bahagia? Aku penasaran, tapi aku juga tidak mau tau karena aku takut cemburu jika tau kamu sudah bahagia bersama lelaki lain. Pernah satu kali aku mencari tau kabarmu lewat dokter Firman, dia bilang kamu bahagia sekarang dan semakin lengket dengan