Home / Romansa / Terpaksa Jual Diri / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Terpaksa Jual Diri: Chapter 21 - Chapter 30

36 Chapters

21. Pria yang baik

Mendengar tuduhan itu, jantungku berdebar kencang. Tatapan Pak Dylan yang semula ramah kini berubah tajam, menusukku bagai sebilah pisau. "Memangnya apa yang kamu lakukan kepada Melisa? Apa kamu mendorongnya?" suaranya berat, penuh tekanan. Aku menggeleng cepat, kepala terasa berputar. "Tidak, Pak. Aku—" Belum sempat aku menyelesaikan pembelaan, Mas Agus sudah menyambar. "Jelas kamu mendorongnya!" Suaranya meninggi, penuh amarah. Dia menatapku dengan kebencian yang teramat jelas, membela selingkuhannya tanpa ragu. "Kamu pikir Melisa jatuh sendiri? Jangan konyol! Ayo bawa mereka, Pak!" perintahnya pada petugas rumah sakit, suaranya lantang dan penuh otoritas. Salah satu petugas kembali meraih lenganku, namun Pak Dylan dengan kasar menepis tangannya. "Ayo, sama aku saja." Ajakannya membuatku semakin bingung. Apakah dia juga percaya pada kata-kata Mas Agus? Apakah dia memihak padanya? Pikiran itu menusukku seperti jarum. Rasa sedih da
last updateLast Updated : 2025-04-02
Read more

22. Aku harap kamu menolak

"Bener 'kan apa kataku? Pak Dylan memang suka sama kamu, Ra." "Ish, kamu ini mulai lagi, Kim." Kami berdua duduk di teras kontrakan, menikmati es teh manis. Angin sore berhembus lembut. Qiara dan Pak Dylan ada di dalam, pintu sengaja kubuka sedikit agar aku bisa melihat mereka berdua asyik bermain boneka Barbie. Senyum tipis terukir di bibirku. "Itu buktinya, Pak Dylan juga dekat banget sama Qiara. Sampai-sampai dia mau mengajaknya bermain." Aku menghela napas, sedikit bingung harus menanggapi bagaimana. Aku ingat pernah bercerita pada Kimmy tentang pertemuan-pertemuan tak terduga dengan Pak Dylan. Seharusnya dia mengerti, dan tidak perlu berpikir macam-macam. Atau mungkin, Kimmy memang senang menggodaku? Tapi lama-lama, godaannya mulai membuatku risih. Perasaanku jadi ikut campur aduk. "Jangan-jangan kalian ini memang sudah ada hubungan?" Kimmy menyipitkan mata, menatapku penuh curiga. "Ya Allah,
last updateLast Updated : 2025-04-03
Read more

23. Tinggal bersamaku

"Kenapa Bapak memintaku untuk menolak? Bapak sendiri belum menyatakan—" Pak Dylan tiba-tiba memotong, "Bukannya kamu sendiri yang bilang ingin kembali jadi buruh cuci?" Tunggu... apa yang sedang dibicarakannya? Buruh cuci?Benarkah? Pikiran ini melayang tak tentu arah. Aku sepertinya salah paham. Kupikir dia mendengar pembasahan Kimmy yang sedang menggodaku, tapi ternyata ini soal pekerjaan. Berarti yang dia dengar hanya pembahasan tentang Pak Jordi.Semua gara-gara Kimmy! Pikiran liar ini hampir tak terkendali. Untung ucapanku terpotong Pak Dylan. Andai tidak, betapa malunya aku! Laura, berpikirlah jernih! Lupakan ucapan Kimmy! Pak Dylan menatapku simpatik, suaranya lembut, "Laura, kalau kamu butuh uang, aku bisa bantu. Kamu tak perlu lagi menjual diri, apalagi kepada orang lain." Membantu lagi? Sudah berapa kali? Rasanya tak terhitung. Aku tak ingin terus berhutang budi padanya. Dia meny
last updateLast Updated : 2025-04-04
Read more

24. Pacar baru

Hari berganti."Ini uangnya, Mbak," kata Ibu pemilik kontrakan, menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan dengan senyum ramah. Matahari baru saja mengintip dari balik ufuk, menyinari pagi yang terasa begitu haru.Aku pamit pagi-pagi sekali. Mengatakan bahwa ingin pergi dari kontrakannya dikarenakan telah mendapatkan pekerjaan baru dan diharuskan tinggal di sana.Tak mungkin aku meninggalkan barang-barangku begitu saja. Dengan hati berdebar, aku menawarkannya pada Ibu kontrakan. Syukurlah, beliau baik hati. Beliau bersedia membelinya meskipun dengan harga setengahnya. Lebih dari itu, beliau bahkan memberiku uang setengah dari sewa kontrakan—sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan. Satu juta rupiah aku dapat darinya. Lumayan untuk pegangan. "Terima kasih ya, Bu. Sekarang aku hanya menunggu jemputan saja," ucapku. "Iya, Mbak. Hati-hati di jalan, ya," jawab beliau, suaranya hangat dan penuh perhatian. Aku menganggu
last updateLast Updated : 2025-04-05
Read more

25. Salah bicara

"Mommy ngomong apa sih?? Laura bukan pacarku, Mom," ujar Pak Dylan, menggeleng cepat. Dia terlihat malu, rona merah merekah di pipinya. Jadi, wanita elegan ini Mommy-nya? Wanita yang pernah diceritakannya, memiliki apartemen. "Jangan mengelak, Dylan. Mana mungkin hanya teman, tapi kamu sampai menyimpan fotonya di dompet?" Nada Mommy-nya terdengar tegas, namun tak sampai menyakitkan. Fotoku? Pak Dylan menyimpan fotoku di dompetnya? Sejak kapan? Dan untuk apa? "Ya, memangnya salah ... seorang teman menyimpan fotonya? Kan enggak, Mom," jawab Pak Dylan, menggaruk rambutnya dengan gugup. Dia menatapku, senyumnya canggung namun manis. "Oh iya, Laura. Kenalkan... ini Mommyku." Tatapannya beralih pada wanita itu. "Salam kenal, Bu," sapaku, mengulurkan tangan dengan senyum termanis. "Namaku Laura." "Panggil Tante saja, Laura." Mommy Pak Dylan membalas jabatanku dengan hangat. Senyumnya ra
last updateLast Updated : 2025-04-06
Read more

26. Ini memalukan

"Bukan begitu, Pak. Maksudku—" Pak Dylan memotong ucapanku, suaranya dingin menusuk, "Sudah, tidak perlu diteruskan." Qiara diturunkannya dari gendongan. Seketika, jantungku berdebar. Apakah dia marah? "Bereskan barang-barangmu, masukkan ke lemari. Nanti aku minta Bibi datang untuk mengajarimu bekerja di sini," perintahnya tanpa menatapku. "Baik, Pak," jawabku lirih, mengangguk cepat. Dia pun langsung melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.Aku menghela napas panjang, berat. Melihat Qiara asyik bermain, aku mencoba menenangkan diri. Kulihat lemari di sudut ruangan. Kubuka perlahan, dan betapa terkejutnya aku. Lemari itu penuh dengan pakaian perempuan, tertata rapi. Pakaian dewasa dan anak-anak. "Milik siapa ini?" bisikku, rasa heran bercampur bingung. Apakah ada orang lain yang pernah tinggal di sini? Atau... Jangan-jangan pakaian ini untukku dan Qiara? Yang sengaja dibeli oleh Pak Dylan?
last updateLast Updated : 2025-04-07
Read more

27. Aku minta maaf

Aku memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal. Akhirnya, dengan berat hati kuucapkan, "Aku kebetulan dulunya pernah bekerja sebagai buruh cuci gosok, Tan. Dan Pak Dylan pernah memintaku untuk mencuci dan menyetrika bajunya," Tante Mala mengerutkan kening, bingung. "Lho, kan di sini Bibi juga sering mencuci dan menggosok pakaiannya, kenapa justru dia memintamu melakukannya?" "Aku... aku tidak tahu, Tan," jawabku, menggeleng pelan. Berpura-pura tidak tahu, sesuatu yang terasa pahit di lidah. Maafkan aku, Tante Mala. Aku terpaksa berbohong padamu. Semoga Tante dapat memaafkanku. Tante Mala menatapku penuh arti, seolah membaca isi hatiku. "Begitu, ya?" Ia menarik napas panjang. "Emmmm... kalau boleh Tante tahu, apa kamu memiliki perasaan kepada Dylan?" Pertanyaan itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa, Tante Mala bertanya seperti itu? Dan kenapa? "Perasaan?!" suaraku tercekat. "Iya," Tante Mala melanjutkan, "Jadi kamu punya perasaan nggak sama Dylan? Ya Tante tau... kalian hany
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

28. Supaya statusmu jelas

"Iya, kita masih berteman." Pak Dylan menyambut tanganku. Hatiku lega mendengarnya. "Sekarang istirahatlah. Ini sudah malam." "Baik, Pak. Selamat malam." Aku membungkuk sopan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kamarnya. *** Keesokan harinya. Di depan ruang makan, aku baru saja selesai menyajikan sarapan. Aku memasak nasi goreng teri yang menjadi salah satu masakan favorit Pak Dylan. Bumbu-bumbunya sama persis dengan resep dari Bi Wiwin. Semoga Pak Dylan menyukainya. Semalam saja dia tidak bilang apa-apa mengenai masakanku, berarti tidak ada yang salah. "Bunda ... Qiala mau salapan." Qiara memanggil, membuatku menoleh. Bocah kecilku itu sudah berdiri di belakangku. Tampak segar dan wangi seperti habis mandi. Namun, wajahnya terlihat tegang dan gugup.
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

29. Sangat mujarab

Seolah tak mendengar permintaan Pak Dylan, aku tetap mengangkat panggilan kedua yang Mas Agus lakukan. Rasa penasaran menggigitku, aku ingin tahu alasan dia mencariku. Apa mungkin karena dia telah sudah lebih dulu mengajukan perceraian kami? "Laura, kamu ada di mana?" Kalimat itu yang pertama dia lontarkan padaku, tanpa memberikan salam lebih dulu. "Kenapa memangnya?" Aku berbalik tanya dengan nada yang terdengar ketus. "Apa kamu bisa ke rumah Mama? Dia sakit." Apa maksudnya? Apakah dia ingin memintaku menjenguk Mama Kokom? Tapi untuk apa? Setelah semua yang terjadi, aku tidak sudi bertemu lagi dengannya. Urusanku dengan Mama Kokom sudah selesai. "Laura, apa kamu mendengarku?" "Aku dengar. Tapi untuk apa aku ke rumah Mama, Mas? Aku sudah bukan menantunya lagi, bukankah dia akan memiliki menantu baru?" "Itu nggak ada h
last updateLast Updated : 2025-04-09
Read more

30. Terima kasih

"Aku baik-baik saja. Cu-cuma kepengen kencing," jawabnya gugup, lalu menyodorkan popcorn kepadaku. "Pegang dulu, ya, Laura. Aku hanya sebentar saja!" "Iya, Pak." Aku mengangguk cepat. Pak Dylan berdiri dan bergegas pergi, langkahnya terburu-buru hingga nyaris tersandung. Aku khawatir melihatnya, takut dia sampai terjatuh. Sepertinya dia sudah sangat ingin ke toilet. Aku melirik Qiara. Bocah itu begitu fokus menonton, matanya tak berkedip. Beberapa menit berlalu, setengah jam kemudian, Pak Dylan belum juga kembali. Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku ingin menyusulnya, takut terjadi sesuatu pada dia. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Qiara sendirian. Aku menahan rasa cemas itu hingga film berakhir. Dan akhirnya, Pak Dylan kembali. Aku menghela napas lega, tersenyum lega padanya. Wajahnya tampak basah, mungkin baru saja mencuci muka. "Yah…
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more
PREV
1234
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status