Semua Bab Hamil Anak Calon Wakil Presiden: Bab 131 - Bab 140

150 Bab

Bab 131

Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Bab 132

Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Bab 133

Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-21
Baca selengkapnya

Bab 134

Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Bab 135

Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Bab 136

Aisyah merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya saat tangan Sulistyo terulur, meminta ponselnya. Dengan jari yang bergetar, ia menyerahkan benda kecil itu—bukan hanya sebuah alat komunikasi, tetapi benteng terakhir dari privasinya yang selama ini ia lindungi dengan susah payah.Sulistyo tidak sekadar mengambil ponsel itu. Ia merebutnya kasar, seolah benda tersebut adalah miliknya sejak awal. Suara gesekan antara tangan mereka menggema dalam pikiran Aisyah seperti suara rantai yang menyeret di lantai beton. Ia menahan napas ketika pria itu menyalakan layar, matanya menyusuri setiap pesan, setiap jejak digital yang mungkin menjadi bukti penghianatan dalam pikirannya yang penuh curiga.Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, Sulistyo mengangkat matanya dan kembali menatap Aisyah. Tatapan itu seperti pisau tumpul—datar, tanpa ampun, dan menyakitkan dengan caranya yang mengerikan. Ia menyerahkan ponsel itu kembali padanya, tapi dengan perintah yang dingin
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-22
Baca selengkapnya

Bab 137

Aisyah mendengus pelan, melempar tatapan penuh kemarahan ke arah ponsel yang telah direnggut dari tangannya. Suara pintu yang tertutup sebelumnya masih bergema di pikirannya. Ia menatap langit-langit kamar yang tinggi, dinding-dinding megah yang berwarna gading, semuanya seperti penjara raksasa yang berkilauan dalam kemewahan palsu."Bagus," gumamnya dengan getir, suaranya hampir tidak terdengar di tengah sunyi malam. "Sekarang ponselku diambil. Katanya agar aku tidak depresi… tapi dia membuatku depresi setiap hari."Tangannya bergetar saat ia menyentuh rambut panjangnya, menarik-narik ujungnya dengan gerakan putus asa. Ia menunduk, membiarkan perasaan yang terpendam begitu lama meresap hingga ke tulang. "Kenapa hidupku seperti ini?" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Salah di mana? Di mana bagian yang salah dari hidupku?"Punggungnya menyandar pada sandaran ranjang, tubuhnya yang rapuh terasa lebih berat dari biasanya. Setiap tarikan napas adalah pe
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-23
Baca selengkapnya

Bab 138

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai tebal di kamar Aisyah. Namun cahaya hangat itu tak mampu menembus dinginnya suasana hati yang merajai ruangan. Di hadapannya, Sulistyo duduk dengan senyum tipis penuh kendali, sebuah sendok di tangannya terulur seperti simbol kekuasaan yang membelenggunya."Apa ini caramu untuk membuatku tidak depresi dan kelelahan?" tanya Aisyah, nada satir menetes dari bibirnya yang pucat.Sulistyo tersenyum lebih lebar, seolah pertanyaan itu adalah lelucon manis. Tanpa gentar, ia menyodorkan sendok penuh nasi dan lauk ke arah Aisyah. "Tentu saja!" katanya ringan. "Makanya kau tidak boleh terlalu lelah dan banyak berpikir! Cukup fokus saja pada kesehatanmu agar bisa melahirkan anak-anakku dengan baik!"Dengan tatapan kosong yang menyembunyikan perasaan terlukanya, Aisyah membuka mulut, membiarkan sendok itu masuk, tetapi setiap kunyahan terasa seperti menelan duri. Ia memandang Sulistyo dengan mata yang penuh pertan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-23
Baca selengkapnya

Bab 139

Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya lampu kuning yang menyoroti meja panjang penuh berkas-berkas resmi. Sulistyo bersandar di kursinya dengan tangan menopang kepala, matanya mulai lelah membaca deretan laporan yang terasa membosankan. Helaan napas berat meluncur dari bibirnya."Bagaimana dengan para mahasiswa yang melakukan aksi demo saat pelantikan kita?" tanyanya dengan nada datar, hampir malas, tetapi tetap penuh kuasa.Prasetya, berdiri tegap di dekat jendela, membetulkan posisi jasnya sebelum berbicara. "Seperti itulah… Aku sudah mengancam ketua BEM bahkan rektor dari universitas tersebut untuk tidak melakukan demo lagi. Terlebih, gertakan kakak yang membunuh dia orang mahasiswa membuat mereka kapok dan tertib."Sulistyo menyipitkan mata, kilatan licik menyelusup di balik sorot dinginnya. "Karena itu, aku dimarahi Ayah," gumamnya pelan, suaranya lebih seperti bicara pada dirinya sendiri. Ada nada getir dalam kalimat itu, sekejap memunculkan bay
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-23
Baca selengkapnya

Bab 140

Aisyah memaksakan senyuman yang perlahan merekah di wajahnya. Ia menggigil dalam pelukan pria yang menjadi sumber segala ketakutannya, tetapi jemarinya mengeratkan genggaman di lengan Sulistyo dengan kepasrahan yang diperankan sempurna. Tubuhnya menggigil, namun ia menyandarkan kepala dengan manja. Suaranya terdengar serak, namun lembut."Maafkan aku, suamiku sayang…" ucapnya, penuh kepura-puraan yang terbungkus rapi dalam nada mesra. "Aku akan lebih menjaga sikapku dan belajar mencintaimu. Tapi tenang saja! Aku akan benar-benar mencintaimu dalam waktu dekat."Sulistyo tersenyum puas, seperti predator yang tahu mangsanya sudah tak berdaya. Asap hitam yang semula menguar dari tubuhnya perlahan-lahan lenyap, menyatu kembali ke dalam kegelapan yang membentuk bayangan jiwanya. Ia menarik Aisyah ke dalam pelukannya, erat namun dingin, bagai ular yang membelit mangsanya hingga tak lagi bisa bernapas. Dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Aisyah, napasnya terasa sepert
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
101112131415
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status