"Kamu ini anak kampung yang miskin. Enggak jelas bapakmu siapa. Sok-sokan punya cita-cita jadi dokter segala. Ngaca dulu sana! Kamu itu pantesnya jadi babu. Babunya kita-kita. Setuju, nggak, sih, teman-teman? Haha." Karin si ketua geng di kelas IPA menudingku dengan tatapan penuh kebencian."Betul itu. Nih, bawain tasku!" timpal Deva yang badannya langsing bak model papan atas."Sekolah elit kita ini, nggak pantas dimasukin gembel kayak kamu ini," sahut Novi tak kalah pedas."Yuk, kita bikin dia nggak betah sekolah di sini! Biar tahu rasa!"Aku terngiang kembali dengan ucapan teman-teman SMA sekitar sembilan tahun yang lalu. Masih tersimpan rapi lontaran caci maki yang sudah menjadi makanan sehari-hari di kala itu.Iya, aku memang hidup miskin. Ibuku hanyalah seorang buruh. Terkadang menjadi buruh nyuci, buruh tani, buruh bersih-bersih rumput di halaman rumah orang, maupun buruh nyetrika. Intinya, pekerjaan apa saja yang terpenting halal, ibu rela mengerjakannya. Hidupku berbeda jauh
Last Updated : 2023-10-01 Read more