Home / Lain / Paku Emas di Kepala Istriku / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Paku Emas di Kepala Istriku: Chapter 1 - Chapter 10

14 Chapters

Part 1

Bahagia.Itu yang dinginkan siapapun dalam rumah tangganya. Hidup berkecukupan adalah salah satu hal yang paling utama dari kebahagiaan itu. Begitu juga bagiku, seorang wanita biasa yang pernah mengalami hal pahit dalam masa lalunya. Karena peliknya kehidupan, aku harus dijual kepada lelaki hidung belang di tempat maksiat itu. Masih ingat benar.Bagaimana lelaki tidak berhati yang pernah jadi suamiku, tega menipu dengan mengantarkan ke tempat yang bahkan tidak pernah satu kalipun menginjakkan kaki di sana. Semua itu ia lakukan hanya demi memiliki uang untuk kesenangan belaka. Mabuk-mabukan dan hal maksiat lainya. Pedih, rasanya sangat pedih bagiku saat mengingat masa-masa itu. Aku dijual ke beberapa orang pria, dengan nilai uang yang sesungguhnya tidak pantas bagi seorang manusia. Aku ditinggalkan olehnya dengan lelaki beberapa lelaki hidung belang yang telah siap memangsaku, bagai binatang yang kelaparan. Bahkan yang paling pedih, Suamiku tidak tahu bahwa saat itu diri sedang menga
Read more

Part 2

"Kenapa kamu tertawa, Non? Apa yang lucu?" tanya Mbok Ratih, yang keheranan melihat ku tertawa mendekatinya membersihkan halaman."Ahh ... tidak, Mbok. Aku hanya teringat hal lucu dulu. Semasa masih gadis.""Oalah ... ya sudah. Mbok juga senang lihat kamu tertawa begitu. Karena selama Den Arya tidak di sini, Non jarang sekali terlihat tertawa sebahagia ini." "Sudahlah, Mbok. Jangan bahas soal itu terus, aku bahagia kok. Kan masih ada Mbok Ratih.""Oalah cah ayu ... pinter banget ngerayu. Pantas saja Den Arya tergila-gila sama Non. Sudah cantik, baik hati, pinter ngerayu lagi.""Husss! Sudah jangan buat aku malu, Mbok. Ayo kita lanjutin beresin kebun, entar nyonya besar marah.""Yuk, Non."Entahlah.Bagiku Mbok Ratih sudah seperti Ibu kandung sendiri. Dia yang selalu bisa menghiburku dikala tekanan batin tidak hentinya mendera. Sesungguhnya hati keci ini selalu bergejolak agar segera meninggalkan semuanya. Tetapi apalah daya, cintaku terhadap Mas Arya terlalu besar. Sulit bagi diri in
Read more

Part 3

Beberapa detik.Aku hanya terdiam dan tidak mampu berkata sepatah katapun. Sementara, Mbok Ratih terus berusaha mencari tahu benda apa yang tertancap di sana. "Ii ... iii ... itu adalah ....""Bentuknya seperti bagian atas paku. Tapi seperti terbuat dari emas. Boleh aku periksa, Non?"Tak menjawab.Aku langsung bangkit dan berdiri dari tempat duduk. Aku tahu, jika terus berada di sini pasti rahasia yang sudah tersimpan dengan rapi hingga kini akan terbongkar."Aku mau istrahat dulu, Mbok. Badan ini terasa pegal semua. Duluan ya ...," ucapku sambil pergi ke dalam kamar, meninggalkan Mbok Ratih yang masih terdiam keheranan di depan pintu.23:15.Baru saja diri ini terbuai mimpi.Aku mendengar teriakan nyonya besar sekaligus Ibu mertuaku. Ia berteriak memanggil Mbok Ratih. Dari teriakannya, terdengar seperti ia menyuruh untuk membelikan Martabak di simpang ujung jalan. "Mbok ... bangun. Dipanggil nyonya besar. Mbok ...," ucapku membangunkannya yang terlihat sudah tidur sangat nyenyak.
Read more

Part 4

Tidak.Aku tidak mungkin kembali saat ini. Yang ada, nantinya aku akan dimarahi dan dicaci maki oleh Ibu. Tidak, aku harus tetap membeli Martabak. Apalagi, aku harus pergi ke Toko Obat yang letaknya lebih jauh.Dengan terus berusaha memberanikan diri, aku terus melangkah melewati tempat terjadinya perampokan. Tepat di sebelah kanan kini ada bekas ruko kosong yang sudah tidak memiliki lampu. Sementara, di sisi lainnya hanya ada tembok tinggi pagar rumah warga. Kaki ini mencoba terus melangkah, walaupun terus gemetar karena ketakutan. Sampai akhirnya terlihat olehku ada seseorang yang sedang duduk di kegelapan itu. Dari sini hanya terlihat dua buah bola mata berwarna putih, yang terlihat karena sedikit pembiasan cahaya dari lampu jalan. Mata itu terlihat terus mendekati. Tidak, jangan ganggu aku!"Siapa di sana?! Berhenti! Jangan ganggu aku!"Seolah tak memerdulikan.Sosok itu terus datang dan mendekati. Hingga akhirnya ia berdiri tepat di depanku, kemudian berkata "Ada uang serebuan, N
Read more

Part 5

Perlahan.Aku berjalan memasuki ruko kosong yang gelap dan penuh dengan sampah berserakan. Bahkan, kaki ini sempat beberapa kali menginjak pecahan kaca bekas botol minuman ber-alkohol. Sial, tempat ini ternyata mereka gunakan sebagai tempat melakukan dosa.Selain sampah dan banyaknya botol bekas minuman. Di tempat ini banyak tercium bau yang sungguh tidak mengenakkan. Jika tidak menutup hidung, mungkin tidak lama lagi aku akan muntah karenanya. Sampai pada sebuah titik yang cukup gelap pada ruangan itu, aku langsung mencari belahan rambut yang tertancap paku berlapis emas. Ya, aku mendapatkannya. Tetapi memang, rasanya amat sulit. Bukan karena tertancap cukup keras, tetapi rasa sakitnya memang benar-benar membuatku tidak tahan menahan sakitnya."Ayolah! Cepat!"Terus.Aku terus berusaha mencabut paku ini dengan sekuat tenaga. Bahkan air mata pun ikut menetes karenanya. Berulang kali gagal, sampai akhirnya aku merasakan ada seseorang yang membantu menariknya dari belakang. Krak!Rasan
Read more

Part 6

π‘€π‘’π‘™π‘–β„Žπ‘Žπ‘‘ π‘ π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘’π‘œπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘’π‘šπ‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘˜π‘’π‘‘π‘Žπ‘˜π‘’π‘‘π‘Ž, π‘π‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘’π‘—π‘Žπ‘Ÿ π‘™π‘Žπ‘™π‘’ π‘šπ‘’π‘›π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘›. π½π‘’π‘ π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’ π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘€π‘Ž π‘ π‘’π‘—π‘Žπ‘‘π‘–π‘›π‘¦π‘Ž. π‘€π‘’π‘›π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘€π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘› π‘˜π‘’π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘Žπ‘› π‘‘π‘’π‘šπ‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘ π‘’π‘‘π‘Žπ‘›π‘” π‘˜π‘’π‘‘π‘Žπ‘˜π‘’π‘‘π‘Žπ‘›. π΅π‘’π‘˜π‘Žπ‘› π‘šπ‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘’π‘—π‘Žπ‘Ÿ π‘‘π‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘›π‘‘π‘’.π‘€π‘’π‘™π‘–β„Žπ‘Žπ‘‘ 𝑖𝑛𝑖.π΄π‘˜π‘’π‘π‘’π‘› π‘šπ‘’π‘šπ‘π‘’π‘Ÿπ‘–π‘˜π‘Žπ‘› π‘”π‘–π‘™π‘–π‘Ÿπ‘Žπ‘› π‘π‘Žπ‘‘π‘Ž π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘’π‘›π‘‘π‘’π‘˜ π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘˜π‘šπ‘Žπ‘‘π‘– π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘Ž π‘˜π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘˜π‘’π‘‘π‘Žπ‘›, π‘ π‘’π‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘– π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘’ π‘ π‘Žπ‘—π‘Ž π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘› π‘‘π‘’π‘šπ‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘ π‘Žπ‘›."𝐻𝑖𝑖𝑖 ... β„Žπ‘–π‘– ... β„Žπ‘–π‘–π‘–π‘– ....."π΄π‘˜π‘’ π‘ π‘’π‘‘π‘–π‘˜π‘–π‘‘ π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘€π‘Ž π‘π‘’π‘™π‘Žπ‘›.πΎπ‘’π‘šπ‘’π‘‘π‘–π‘Žπ‘›, π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘– 𝑏𝑖𝑛𝑔𝑒𝑛𝑔 π‘šπ‘’π‘›π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘– π‘Žπ‘ π‘Žπ‘™ π‘‘π‘Žπ‘€π‘Ž π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘’ π‘ π‘Žπ‘—π‘Ž π‘˜π‘’π‘˜π‘’π‘™π‘’π‘Žπ‘Ÿπ‘˜π‘Žπ‘›."πΎπ‘Žπ‘šπ‘’ π‘‘π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘Ÿ 𝑖𝑑𝑒, π΅π‘Ÿπ‘œ?" π‘‘π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž π‘ π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘’π‘œπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘” π‘ƒπ‘Ÿπ‘–π‘Ž π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘šπ‘’π‘›π‘¦π‘–π‘šπ‘π‘Žπ‘› π‘ π‘’π‘›π‘—π‘Žπ‘‘π‘Ž π‘‘π‘Žπ‘—π‘Žπ‘š, π‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘π‘Ž ?
Read more

Part 7

π·π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘π‘’π‘π‘Žπ‘‘.π΄π‘˜π‘’ 𝑝𝑒𝑛 π‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘šπ‘’π‘›π‘’π‘—π‘’ π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘‘ π‘π‘’π‘›π‘—π‘’π‘Žπ‘™ π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘˜ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘—π‘Žπ‘’β„Ž. π‘†π‘’π‘π‘Žπ‘›π‘—π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘’π‘Ÿπ‘—π‘Žπ‘™π‘Žπ‘›π‘Žπ‘›, π‘Žπ‘˜π‘’ π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘  π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘€π‘Ž π‘ π‘’π‘—π‘Žπ‘‘π‘–π‘›π‘¦π‘Ž. π»π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž β„Žπ‘–π‘›π‘”π‘”π‘Žπ‘ π‘‘π‘Žπ‘Ÿπ‘– π‘ π‘Žπ‘‘π‘’ π‘π‘œβ„Žπ‘œπ‘› π‘˜π‘’ π‘π‘œβ„Žπ‘œπ‘› π‘™π‘Žπ‘–π‘›π‘›π‘¦π‘Ž, π‘Žπ‘˜π‘’ 𝑝𝑒𝑛 π‘ π‘Žπ‘šπ‘π‘Žπ‘– 𝑑𝑖 π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘‘ π‘π‘’π‘›π‘—π‘’π‘Žπ‘™ π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘˜. πΎπ‘Žπ‘›π‘” π·π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘”, π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘Ž π‘ π‘’π‘Ÿπ‘–π‘›π‘” π‘šπ‘’π‘›π‘¦π‘’π‘π‘’π‘‘π‘›π‘¦π‘Ž. 𝐾𝑖𝑛𝑖.π΄π‘˜π‘’ π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘Ž 𝑑𝑖 π‘π‘œβ„Žπ‘œπ‘› π‘‘π‘’π‘π‘Žπ‘‘ 𝑑𝑖 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘  π‘”π‘’π‘Ÿπ‘œπ‘π‘Žπ‘˜ π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘˜ πΎπ‘Žπ‘›π‘” π·π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘” π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘ π‘’π‘‘π‘Žπ‘›π‘” π‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘›π‘– π‘π‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜ π‘π‘’π‘šπ‘π‘’π‘™π‘–. π‘€π‘’π‘šπ‘Žπ‘›π‘”, π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘˜π‘›π‘¦π‘Ž π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘Žπ‘‘π‘’ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘“π‘Žπ‘£π‘œπ‘Ÿπ‘–π‘‘ 𝑑𝑖 π‘‘π‘Žπ‘’π‘Ÿπ‘Žβ„Ž 𝑠𝑖𝑛𝑖. π‘†π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘—π‘Ž.π΄π‘˜π‘’ π‘ π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘—π‘Ž π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘› π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘™π‘’π‘π‘–β„Ž π‘‘π‘Žβ„Žπ‘’π‘™π‘’, π‘˜π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘›π‘Ž π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ 𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛 π‘—π‘–π‘˜π‘Ž π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Ž π‘π‘’π‘šπ‘π‘’π‘™π‘– π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘› π‘π‘’π‘Ÿβ„Žπ‘Žπ‘šπ‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›. π·π‘Žπ‘› π‘Ž?
Read more

Part 8

"Apa benar, Mas? Ada perampok di jalan itu?" tanyaku berpura."Iya, Mbak. Banyak cerita yang saya dengar dari orang yang pernah lewat jalan itu. Sebaiknya Mbak hati-hati, apalagi wanita adalah mangsa empuk buat mereka."Entahlah.Aku ingin tertawa sejadinya kini. Tetapi pasti, Kang Dadang langsung ketakutan mendengar suaraku yang melengking dan tajam. Pasti, ia langsung curiga bahwa aku adalah hantu sesungguhnya."Termasuk wanita hantu, Mas?" tanyaku kembali."Ha?" Ia menatap mataku seketika. "Kalau hantunya beneran mungkin takut, Mbak. Tapi kalau aktor pasar malam kaya Mbak tidak bakal. Sudah ni, Mbak?" ucapnya sembari memberikan Martabak di dalam kotak."Nih uangnya, Mas." Aku memberikan uang dengan tangan masih berbalut kain."Iya, Mbak. Sebentar kembaliannya.""Sudah, Mas. Ambil saja. Buat jajan anak-anakmu," ucapku sembari langsung terbang ke atas pohon. Aku tahu.Pasti Kang Dadang langsung keheranan, karena tidak melihat arahku pergi. Apalagi sampai tawa ini pecah, bisa jadi es
Read more

Part 9

Beberapa detik.Mbok Ratih hanya terdiam, tidak berani melakukan apapun. Wajar, saat ini ia hanya melihat kemarahan di mataku. Sebuah tatapan kemarahan yang mungkin tidak pernah ia saksikan selama ini. Kemarin ia hanya melihat diri ini sebagai wanita yang polos dan penyabar. Tetapi tidak kini. Aku sudah kembali menjadi seperti dulu."Mbok. Lakukan sekarang!"Seketika.Mbok Ratih melemparkan kembang diatas kepalaku. Kembang tersebut sangat harum, baunya kini membuatku bagai terhempas angin kencang dari segala penjuru. Tubuh ini pun terasa mulai dingin. Detak jantung perlahan melemah. Habis kalian!Aku masuk ke dalam rumah tanpa lagi membuka pintu. Langsung menerobos pintu megah yang tingginya saja hampir dua kali tubuh ini. Sesampainya di dalam, mereka tidak sedikitpun menyadari keberadaanku. Mereka asik bercumbu tanpa sedikitpun mengingat dosa. Terutama Ibuku, yang segaja membuat rumah ini menjadi tempat melakukan hal kotor. Dasar!***************Tidak menunggu lama.Akupun langsung
Read more

Part 10

Beberapa detik.Mereka hanya terdiam bengong, melihat keanehan bagaimana minyak tersebut bisa berada di sana."Berarti benar! Mungkin rumah ini suda ada hantunya," pungkas Ibu mertaku."Hantu?" tanya kedua anaknya kompak."Iya. Seperti tadi yang baru saja dilihat Om Fandi. Sebelum tidak sadar, ia mengatakan kalau ada hantu di ruangan ini."Lagi.Aku hanya berpura bodoh dengan reaksi mereka. Terlihat, wajah kedua adik Iparku pucat seketika."Kayanya emang benar, Nyah. Tadi juga saya mendengar suara wanita tertawa di luar. Sepertinya suara Ndemit," sambung Pak Darno. Yang tadi sempat mendengarku cekikikan di luar."Beneran, Pak? Jangan buat suasana makin horor," cetus Siska yang kini berpindah tempat duduk di dekat sang Ibu. Karena ketakutan."Bener, Non. Saya berani sumpah.""Jadi tuh Masnya mau didiamkan terus, Bu? Minyak anginnya buat apa?" tanyaku memecah suasana horor mereka.Mendengar itu.Mereka langsung bergegas memberikan minyak. Dan tidak lama, pria mesum itu pun tersadar dari
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status