All Chapters of Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih: Chapter 41 - Chapter 50

“Apa maksud Tomo ya memandangiku tanpa berkedip sedikit pun?” gumam Aro dalam perjalanan pulang.Ia langsung menaruh motornya di garasi. Ia segera beranjak membersihkan diri.“Kalau aja Tomo mau bicara sama aku soal alasannya yang memandangiku, aku pasti nggak akan merasa gugup begini,” gumam Aro sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.Ketika Aro di rumah, ia tidak mengenakan jilbab. Ia membiarkan rambut hitamnya tergerai. Gawainya Aro berdering. Ada pesan WA masuk. Pesan WA dari Anis.[Aro, dompetmu ketinggalan ya?] Anis mengirim pesan WA dengan foto dompet coklat.[Ya, benar, Nis itu dompetku.] Aro membalas pesan WA tersebut.Seiring berjalannya waktu, Aro tidak lagi menggunakan ponsel tipe 3025. Namun, ia sekarang menggunakan gawai yang memiliki fitur smartphone dengan fasilitas cukup canggih. Gawainya bisa mengirim dan menerima pesan foto atau pesan suara. Begitu pun dengan Anis memiliki ponsel pintar yang memiliki fasilitas yang sama dengan milik Aro.[Kamu mau mengambil dom

Anis yang telah selesai menggoreng lauk, menghampiri bapaknya yang sedang duduk-duduk di teras.“Pak, sarapan dulu.”“Kamu sarapan duluan saja sana. Bapak masih ingin menikmati udara segar pagi hari.”“Baik, Pak.”Baik Tomo, Putri dan Anis sarapan di meja makan tanpa bapak.“Kamu antar Putri ke sekolah ya, Nis,” ucap Tomo.“Iya. Siap.”“Aku hari ini ada kerjaan mendadak.”“Oh iya lupa kamu bakal benerin atap rumahnya Mbak Lulu.”“Kamu sendiri udah tahu gitu kok.”Anis segera menghabiskan sarapannya. Lalu menyuapi Putri yang belum bisa makan sendiri. Anis memboncengkan Putri. Lalu motor melaju dengan pelan.Karena keluarganya Anis hanya memiliki satu motor saja, Tomo terpaksa mengendarai sepeda ke tempat kerjanya. Dengan bersepeda, Tomo justru berolahraga. Sudah lama sekali lelaki ganteng itu tidak berolahraga. Semenjak masa kontrak kerjanya di Hongkong habis, Tomo tidak olahraga.Anis menunggu jam pulang sekolah Putri di rumah Aro.“Gimana Ro sama calonmu itu?”Aro telah menerima Baga

Waktu yang terbatas memaksa Aro langsung mengenakan blazer cokelat yang dipadukan jilbab merah. Ia tidak mandi. Bagas memberinya selembar uang berwarna merah. Suaminya itu meminta Aro membelikan makanan.Tak lama kemudian Anis mematikan mesin motor di depan rumah Aro.“Arooo, cepetan!” Aro yang mendengar suara Anis langsung bergegas keluar rumah sambil membawa helm. Anis akan memboncengkan Aro.“Hati-hati ya,” ucap Bagas sebelum motor melaju dengan kecepatan sedang.“Ohya, Ro kita mampir dulu ke playground. Biar anakku main dulu.”“Terserah kamu, Nis.”Tak berselang lama mereka bertiga sampai juga di playground. Hampir dua jam Anis dan anaknya puas bermain di playground. Kini saatnya mereka bertiga mampir di kafe dekat playground.“Ro, aku masih ingat deh gimana masa kecil kita.”“Itu kan udah berlalu, Nis.”“Tapi aku masih ingat. Dulu kamu sering nraktir aku. Dulu aku juga nggak mudeng apapun.”“Tapi sekarang kamu juga masih nggak mudengan deh, Nis.”“Masa sih?”“Iya.”“Biarin deh. Y

Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut

Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k