Home / CEO / Gadis Sejuta Dollar / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Gadis Sejuta Dollar: Chapter 41 - Chapter 50

55 Chapters

BAB 40. KERINDUAN

  Jovan mengetuk pintu kamar Albin kemudian menekan kenop lalu membuka daun pintu, “Udah belum? Masih lama?” tanya Jovan sambil memperhatikan istrinya.   “Udah, kok,” jawab Albin memakai sepasang flat shoes di kakinya.    “Ayo, cepetan kita udah ditungguin,” desak Jovan sambil berdiri di depan pintu. Wajahnya gusar.    “Kita mau ketemu siapa, sih?” Albin penasaran.    “Nanti juga kamu tau,” jawab Jovan cuek. Ia berjalan di depan Albin menuruni tangga menuju mobil.    “Ish!” desis Albin kesal. Wajahnya cemberut, “Gue cuma tanya. Takutnya nanti lo bawa gue ke acara Rumah Uya. Tau-tau dikatain pelakor di situ kan gawat!”    Jovan tidak peduli. Dia menggelengkan kepala. Terkadang dia bingung dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa jatuh cinta kepada perempuan berisik seperti Albin.    “Jo!” s
Read more

BAB 41. MENEROBOS KEGELAPAN

~Dua puluh lima tahun yang lalu~       “BAWA ANAK ITU KELUAR!!!”        “IYA BAWA DIA KELUAR!!! DIA IBLIS!       Teriakan-teriakan itu semakin keras bersahutan di malam yang gelap. Puluhan orang berkumpul di depan rumah Ayuna. Sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu terus digedor kuat.        BAK! BAK! BAAAK!!!        Pintu rumah Ayuna lagi-lagi digedor, daun pintu bergerak karena kerasnya benturan dari luar, “CEPAT SERAHKAN ANAK ITU!!!” suara seorang lelaki terdengar tajam mengancam.   “IYA! CEPAT!!!”   “DOBRAK SAJA PINTUNYA! DOBRAK!!!” Suara seseorang menghasut nyaring dari belakang.    Ayuna beringsut ke dinding memeluk erat putri kecilnya yang
Read more

BAB 42. KERINDUAN PART 2

“Kaki Bapak kenapa?” tanya Albin setelah ia bisa menenangkan perasaan. “Karena jatuh terguling waktu penyadap karet di hutan. Pahaku terkena batang pohon.” Liben menceritakan kebohongan hanya demi agar hati putri mereka tidak dipenuhi kebencian. “Sudah dibawa berobat?” Albin terkejut.  “Sudah diurut dan diberi obat kampung.” Liben berusaha tersenyum menyembunyikan luka.  Jovan memperhatikan dalam diam. Waktu ia bertemu dengan kedua orang tua Albin pertama kali ia tidak memperhatikan ada tongkat, lagipula waktu itu Liben hanya duduk saja sehingga Jovan tidak melihat bahwa Liben harus memakai tongkat.  Albin dan kedua orang tuanya saling bertukar cerita. Sementara itu Jovan meminta Hendra untuk mendekat.  “Apa kemarin waktu kita bertemu
Read more

BAB 43. SAAT MASIH ADA WAKTU

Jovan memandangi gambar-gambar dirinya bersama Albin di ponsel. Sudah sepuluh hari sejak kepergian sang istri bersama keluarganya. Setiap hari rumah besarnya selalu terasa sepi, tetapi kini, kesepian itu terasa semakin menjadi-jadi dan menyiksanya dari waktu ke waktu.    Tanpa kehadiran Albin istananya sedingin gua es di antartika. Meski Jovan tidak memungkiri, seringkali Albin membuatnya pusing, tetapi ia juga tidak bisa mengingkari, rasa bahagialah yang selalu memagut hatinya erat tatkala melihat sang istri berada di sisinya. Melihat wanita yang dicintainya baik-baik saja.    Ia menghubungi Albin beberapa kali selama sepuluh hari terakhir. Jovan tak enak hati jika sering-sering menghubungi istrinya, takut disangka menyuruh segera pulang. Meskipun sebenarnya memang begitulah keinginan terbesarnya. Albin segera pulang dan kembali menghangatkan istananya.  Laksana cahaya mentari di pagi hari, memberikan kehangatan dan kehidupan
Read more

BAB 44. BRAIN DAMAGE

Jovan memandangi Albin yang duduk di seberangnya. Benaknya penuh dengan segala kekhawatiran. Meski begitu ia tidak bisa menolak permintaan Albin. Ia tak sampai hati membuat sinar kekecewaan hadir di dalam mata Albin yang indah. “Jadi gimana kamu mau buat surat perjanjiannya sekarang?” Jovan meneliti istrinya lebih dalam. Sepuluh hari tidak bertemu membuat hatinya dipenuhi sukacita melihat Albin. Meski di saat yang sama dia merasa gundah dengan keinginan tidur bersama yang diutarakan sang istri.  “Gak sekarang juga gak papa. Santai!” Albin tersenyum.  “Nanti pas aku ada waktu aku buat sendiri,” ujar Jovan tanpa beban.  “Loh tumben? Biasanya nyuruh Tasya?” kata Albin dengan nada sindiran. Ia ingat bagaimana Jovan membuat aturan aneh bahwa dirinya tidak boleh menghubungi suaminya, cukup sampaikan lewat Tasya saja.  “Kali ini gak. Biar ini hanya antara kamu sama aku aja. Gak boleh ada yang tau” jawab Jovan diplomatis. 
Read more

BAB 45. ENGAK AKAN NYERAH

  Tautan bibir Jovan dan Albin semakin intens dan dalam. Seluruh rasa, jiwa dan raga mereka merasuk dan melebur dalam indahnya cinta. Keduanya seakan berada di dunia yang berbeda. Dunia yang hanya ada mereka berdua. Mata keduanya saling bertemu. Saling memancarkan sinar cinta yang sudah dibalut indah dengan gairah. Napas keduanya sama-sama menderu, menahan hasrat yang mengisi setiap hela napas mereka. "Aku cinta banget sama kamu. Sayang banget." Jovan berbisik pelan di telinga sang istri." Ia meremas tengkuk Albin. Mata Albin berkaca-kaca penuh haru dan bahagia. Kata-kata itulah selama ini yang dinantinya. Dia merasa melayang tinggi terbang ke angkasa. Kebahagiaannya membuncah di dalam dada. Albin melihat dunia dipenuhi pelangi dan ia dihujani jutaan kelopak bunga sakura. Jovan menarik tengkuk Albin. Ia kembali mempertemukan bibir mereka. Irama indah khas dua insan yang berkecup mesra terdengar lolos dengan mudah dari bibir keduanya.
Read more

BAB 46. PINDAH RUMAH

Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini.   Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar.   Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya.   Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat
Read more

BAB 47. BERLOMBA DENGAN WAKTU

Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar.   Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin.   Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai.   Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian.   Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat.   Desahan nikmat terdengar dari film itu.   D
Read more

BAB 48. INGIN SENDIRI

Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik.   Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn.   "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya.   Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD.   Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu.   "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam."   Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Read more

BAB 49. KETAKUTAN TERBESAR. 

Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya.   Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya.   Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati.   "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar.   Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?"    Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status