Evelyn yang dikelilingi oleh sekelompok orang itu tampak pucat pasi. Dia tidak bisa melontarkan sepatah kata pun.Ketika melihat Evelyn tidak merespons, orang-orang mulai panik dan mendorongnya. Tangan yang pernah mendorong dan menekanku itu kini menyentuh Evelyn. Karena terdesak, mereka tidak memperhatikan tenaga mereka lagi dan Evelyn terhuyung."Cukup! Kalian sendiri yang mau ikut saat aku bilang mau memukul pelakor. Kalian juga yang ingin menyanjung Henry!" seru Evelyn yang panik."Kalian takut Henry selingkuh dan mencampakkanku, lalu kalian nggak bisa mengambil keuntungan dariku lagi. Makanya, kalian berbondong-bondong membantuku, 'kan? Sudah terlambat untuk melempar tanggung jawab sekarang. Kita harus menanggungnya bersama!""Lagi pula, waktu aku meminta pendapat kalian, kalian yang memberiku ide untuk menelanjanginya dan membawanya ke jalanan, 'kan?"Ucapan Evelyn ini sontak menggusarkan semua orang. Situasi menjadi di luar kendali."Apa katamu? Maksudmu, kami salah karena memba
Aku percaya pada kakakku.Hingga suatu hari, ketika aku dan kakakku sedang makan, ponselnya tiba-tiba berdering."Apa?" Alis kakakku berkerut. Wajahnya menjadi sangat suram."Bawa dia ke rumah sakit. Aku mau hasil yang pasti." Setelah mengakhiri panggilan, kakakku hanya diam.Aku bisa menebak bahwa hal ini berkaitan dengan Evelyn. "Kak?""Evelyn hamil," ujarnya dengan suara yang sangat dingin.Aku sontak termangu. Kabar ini sungguh mengejutkan. Sejujurnya, aku tidak punya cara untuk memaafkan Evelyn. Dia bukan hanya melecehkanku, tetapi juga menghancurkan barang peninggalan orang tuaku.Namun, Evelyn hamil anak kakakku. Itu artinya, anak itu adalah keponakanku. Aku bisa melihat kakakku sangat dilema. "Kak, anak itu nggak bersalah." Meskipun merasa enggan, aku tetap bertindak rasional."Anak itu nggak boleh dilahirkan." Beberapa saat kemudian, kakakku berucap dengan dingin, "Kalau ada anak di antara kami, aku nggak bakal bisa terlepas dari Evelyn untuk selamanya."Ini pertama kalinya ak
Langkah kakiku sontak terhenti. Namun, tangan besar yang hangat itu segera menarikku keluar.Setelah kembali ke mobil, kakakku berucap dengan lembut, "Reese, jangan pedulikan omongan Evelyn. Apa pun hasilnya, itu bukan salahmu."Aku mengangguk dan tersenyum.Evelyn mengajukan permohonan bebas bersyarat dengan alasan hamil. Namun, kerabatnya masih ditahan di kantor polisi.Dua hari kemudian, polisi tiba-tiba menelepon dan mengatakan kakak sepupu Evelyn ingin bertemu kami."Aku ingin membuat kesepakatan dengan kalian." Kami baru tidak bertemu beberapa hari, tetapi wanita penyiar itu sudah kehilangan banyak berat badan."Atas dasar apa kamu ingin membuat kesepakatan dengan kami?" Kakakku bahkan malas meliriknya."Aku punya informasi yang bisa membantu kalian mengatasi masalah sekarang. Permintaanku nggak banyak. Aku cuma ingin kalian nggak meminta kompensasi dariku," jelas wanita penyiar itu dengan cemas.Sebelum kakakku berbicara, aku menyahut, "Coba katakan dulu. Kalau informasimu berni
Seminggu sebelum ujian, aku datang ke rumah baru kakakku dengan membawa setumpuk buku pelajaran. Lingkungan di sini sangat tenang. Aku ingin belajar dengan giat untuk persiapan ujian.Beberapa menit setelah aku membaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tergesa-gesa. Kukira tanaman yang kupesan sudah sampai, jadi langsung membuka pintu."Semuanya, lihat. Wajah asli si pelakor akhirnya terungkap!"Begitu pintu dibuka, sebuah ponsel yang dipasang pada tongsis hampir membentur wajahku. Yang memegang tongsis itu adalah seorang gadis bertubuh mungil dengan riasan tebal di wajahnya. Di belakangnya, ada banyak orang."Siapa kalian? Sepertinya kalian salah rumah?" tanyaku sambil mengernyit.Sebelum aku bereaksi, orang-orang itu sudah mendorongku masuk."Ternyata ini pelakornya ya? Nggak cantik-cantik amat."Para wanita itu mengamatiku dengan niat jahat, membuatku merasa sangat tidak nyaman. Hatiku diliputi kegelisahan."Kenapa kalian menerobos masuk ke rumah orang? Tolong keluar sek
Wanita penyiar itu mengambil kartu pelajarku, lalu berkata dengan raut wajah bangga, "Wanita ini licik sekali. Bukannya mengaku, malah ingin menipu kita dia adik Henry."Wanita itu meletakkan kartu pelajarku di depan kamera. "Namanya Reese. Marga mereka saja jelas berbeda. Masih mau menipu kita. Dia mahasiswi tingkat dua di Universitas Huma jurusan desain."Aku pun panik. Wanita itu menyebarkan informasi pribadiku. Aku ingin merebut kartu pelajarku kembali, tetapi dua wanita lainnya tiba-tiba menahanku.Evelyn mengira dirinya dipermainkan, jadi dia menamparku habis-habisan. Seketika, kepalaku terasa pusing. Mulutku bau amis darah."Dasar jalang! Beraninya kamu mempermainkanku! Kubunuh kamu!"Aku ditahan sehingga tidak bisa ke mana-mana. "Kami memang saudara kandung."Sayangnya, tidak ada yang percaya. Perhatian mereka ada pada desain mewah vila ini."Henry benar-benar menyayangimu ya, sampai-sampai menyiapkan vila semewah ini." Evelyn melirik sekeliling, lalu berujar dengan lantang, "H
Tubuhku seketika mati rasa melihat lukisan yang hancur itu. Setelah lukisan itu hancur, Evelyn menemukan piano seharga 16 miliar. Aku hanya menatap dengan dingin karena bisa menebak apa yang akan terjadi.Evelyn menghampiri piano itu sambil menatap lekat-lekat. Kemudian, dia menyapukan tangannya ke atas tuts piano. Seketika, terdengar suara yang memekakkan telinga.Evelyn berbalik dan menghampiriku dengan ekspresi ganas. Dia menjambak rambutku dan menendangku. "Dasar jalang! Ini piano yang kumau! Henry bilang bakal membelinya untukku nanti! Kenapa malah ada di sini?"Aku terjatuh. Sepatu hak tinggi Evelyn terus menendangku. Aku meringkukkan tubuhku secara naluriah.Untuk sekarang, aku hanya bisa menahan diri. Jika wanita gila ini tahu rumah yang dihancurkannya adalah rumah yang disiapkan kakakku untuk pernikahan mereka dan piano itu memang untuknya, entah bagaimana reaksinya nanti.Namun, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan mereka ini. Aku bersumpah, Evelyn tidak akan bisa menj
"Evelyn, biar kuperingatkan sekali lagi. Aku adalah adik kandung Henry. Yang kamu pegang adalah barang peninggalan orang tua kami." Suaraku bergetar, mataku merah. Yang ada di benakku adalah penampilan Ibu saat sakit dan menyeka piala itu dengan tangan bergetar."Pertanyaanku cuma satu, mau berlutut atau nggak?" Evelyn menatapku dengan angkuh.Aku menelan ludah, menahan kesedihan dan amarah dalam hati. Demi Ibu, aku akan berlutut.Wanita penyiar itu mengarahkan kamera ponselnya kepadaku lagi. "Semuanya, lihat, pelakor berlutut. Kalau mau melihatnya menggonggong, like dan follow aku dulu ya.""Guk, guk, guk." Aku menahan rasa hina ini. Aku hanya ingin melindungi barang peninggalan ibuku.Semua orang tergelak. Tiba-tiba, terdengar suara barang pecah. Aku sontak merinding."Maaf, tanganku licin." Lantai dipenuhi pecahan kaca. Evelyn menatapku dengan tatapan menghina, seolah-olah tidak takut sedikit pun padaku.Saat ini, aku merasa amarah telah membakar hatiku. Aku berlari ke depan dan men
Untungnya, Henry tinggi dan tegap. Jasnya sudah cukup untuk menutupi seluruh tubuhku. Aku seketika merasa sangat aman."Reese, apa ada yang sakit?"Aku tidak meladeninya karena dia terlambat menolongku. Ketika Evelyn memaksaku berlutut, aku diam-diam menekan tombol kontak darurat. Di dunia ini, aku cuma punya kakakku. Hanya dia yang bisa kuhubungi."Pak Henry, kamu sengaja mengakui dia sebagai adikmu demi melindungi pelakor, 'kan?" Wanita penyiar itu masih mengarahkan kamera ponsel kepada kami. "Marga kalian berbeda. Dia bukan adik kandungmu."Henry menatapnya seperti menatap orang idiot. "Kamu kakak sepupu Evelyn, 'kan? Ayahmu punya toko elektronik."Wanita penyiar itu sontak terkesiap. Orang-orang di belakang pun tidak berani bersikap angkuh lagi.Wanita penyiar itu menatap layar ponselnya dan bertanya, "Ka ... kamu mengancamku? Asal kamu tahu, pandangan publik sangat tajam. Ada jutaan orang di ruang siaranku. Kalaupun kamu mengancamku, itu nggak bisa mengubah fakta kalau dia adalah
Langkah kakiku sontak terhenti. Namun, tangan besar yang hangat itu segera menarikku keluar.Setelah kembali ke mobil, kakakku berucap dengan lembut, "Reese, jangan pedulikan omongan Evelyn. Apa pun hasilnya, itu bukan salahmu."Aku mengangguk dan tersenyum.Evelyn mengajukan permohonan bebas bersyarat dengan alasan hamil. Namun, kerabatnya masih ditahan di kantor polisi.Dua hari kemudian, polisi tiba-tiba menelepon dan mengatakan kakak sepupu Evelyn ingin bertemu kami."Aku ingin membuat kesepakatan dengan kalian." Kami baru tidak bertemu beberapa hari, tetapi wanita penyiar itu sudah kehilangan banyak berat badan."Atas dasar apa kamu ingin membuat kesepakatan dengan kami?" Kakakku bahkan malas meliriknya."Aku punya informasi yang bisa membantu kalian mengatasi masalah sekarang. Permintaanku nggak banyak. Aku cuma ingin kalian nggak meminta kompensasi dariku," jelas wanita penyiar itu dengan cemas.Sebelum kakakku berbicara, aku menyahut, "Coba katakan dulu. Kalau informasimu berni
Aku percaya pada kakakku.Hingga suatu hari, ketika aku dan kakakku sedang makan, ponselnya tiba-tiba berdering."Apa?" Alis kakakku berkerut. Wajahnya menjadi sangat suram."Bawa dia ke rumah sakit. Aku mau hasil yang pasti." Setelah mengakhiri panggilan, kakakku hanya diam.Aku bisa menebak bahwa hal ini berkaitan dengan Evelyn. "Kak?""Evelyn hamil," ujarnya dengan suara yang sangat dingin.Aku sontak termangu. Kabar ini sungguh mengejutkan. Sejujurnya, aku tidak punya cara untuk memaafkan Evelyn. Dia bukan hanya melecehkanku, tetapi juga menghancurkan barang peninggalan orang tuaku.Namun, Evelyn hamil anak kakakku. Itu artinya, anak itu adalah keponakanku. Aku bisa melihat kakakku sangat dilema. "Kak, anak itu nggak bersalah." Meskipun merasa enggan, aku tetap bertindak rasional."Anak itu nggak boleh dilahirkan." Beberapa saat kemudian, kakakku berucap dengan dingin, "Kalau ada anak di antara kami, aku nggak bakal bisa terlepas dari Evelyn untuk selamanya."Ini pertama kalinya ak
Evelyn yang dikelilingi oleh sekelompok orang itu tampak pucat pasi. Dia tidak bisa melontarkan sepatah kata pun.Ketika melihat Evelyn tidak merespons, orang-orang mulai panik dan mendorongnya. Tangan yang pernah mendorong dan menekanku itu kini menyentuh Evelyn. Karena terdesak, mereka tidak memperhatikan tenaga mereka lagi dan Evelyn terhuyung."Cukup! Kalian sendiri yang mau ikut saat aku bilang mau memukul pelakor. Kalian juga yang ingin menyanjung Henry!" seru Evelyn yang panik."Kalian takut Henry selingkuh dan mencampakkanku, lalu kalian nggak bisa mengambil keuntungan dariku lagi. Makanya, kalian berbondong-bondong membantuku, 'kan? Sudah terlambat untuk melempar tanggung jawab sekarang. Kita harus menanggungnya bersama!""Lagi pula, waktu aku meminta pendapat kalian, kalian yang memberiku ide untuk menelanjanginya dan membawanya ke jalanan, 'kan?"Ucapan Evelyn ini sontak menggusarkan semua orang. Situasi menjadi di luar kendali."Apa katamu? Maksudmu, kami salah karena memba
"Henry, maafkan aku. Aku nggak tahu dia adikmu. Kulihat kamu mentransfernya uang, bahkan memanggilnya sayang. Kukira dia wanita simpananmu, makanya aku ...."Ketika melihat para kerabatnya akan dibawa pergi oleh polisi, Evelyn pun panik. Dia tidak sempat memedulikan cederanya lagi dan berlari ke hadapan kami."Hanya karena spekulasimu yang nggak berdasar itu, kamu rasa kamu berhak menyakiti adikku? Jelaskan saja semuanya pada polisi."Kakakku memapahku pergi. Evelyn ingin mengejar, tetapi polisi menahannya. Orang-orang di sekitar pun memotret Evelyn tanpa memedulikan larangan polisi.Kakakku membelikanku pakaian baru, lalu membawaku ke rumah sakit. Ketika melihat lebam dan bengkak pada tubuhku, dia sungguh naik pitam."Kak, aku baik-baik saja kok."Kakakku memelukku dan berucap dengan rasa bersalah, "Maafkan aku, Reese.""Mereka menghancurkan rumah barumu dan lukisanmu. Barang peninggalan Ibu juga hancur." Aku tidak bisa menahan air mataku."Jangan nangis. Aku sudah suruh orang memperb
Untungnya, Henry tinggi dan tegap. Jasnya sudah cukup untuk menutupi seluruh tubuhku. Aku seketika merasa sangat aman."Reese, apa ada yang sakit?"Aku tidak meladeninya karena dia terlambat menolongku. Ketika Evelyn memaksaku berlutut, aku diam-diam menekan tombol kontak darurat. Di dunia ini, aku cuma punya kakakku. Hanya dia yang bisa kuhubungi."Pak Henry, kamu sengaja mengakui dia sebagai adikmu demi melindungi pelakor, 'kan?" Wanita penyiar itu masih mengarahkan kamera ponsel kepada kami. "Marga kalian berbeda. Dia bukan adik kandungmu."Henry menatapnya seperti menatap orang idiot. "Kamu kakak sepupu Evelyn, 'kan? Ayahmu punya toko elektronik."Wanita penyiar itu sontak terkesiap. Orang-orang di belakang pun tidak berani bersikap angkuh lagi.Wanita penyiar itu menatap layar ponselnya dan bertanya, "Ka ... kamu mengancamku? Asal kamu tahu, pandangan publik sangat tajam. Ada jutaan orang di ruang siaranku. Kalaupun kamu mengancamku, itu nggak bisa mengubah fakta kalau dia adalah
"Evelyn, biar kuperingatkan sekali lagi. Aku adalah adik kandung Henry. Yang kamu pegang adalah barang peninggalan orang tua kami." Suaraku bergetar, mataku merah. Yang ada di benakku adalah penampilan Ibu saat sakit dan menyeka piala itu dengan tangan bergetar."Pertanyaanku cuma satu, mau berlutut atau nggak?" Evelyn menatapku dengan angkuh.Aku menelan ludah, menahan kesedihan dan amarah dalam hati. Demi Ibu, aku akan berlutut.Wanita penyiar itu mengarahkan kamera ponselnya kepadaku lagi. "Semuanya, lihat, pelakor berlutut. Kalau mau melihatnya menggonggong, like dan follow aku dulu ya.""Guk, guk, guk." Aku menahan rasa hina ini. Aku hanya ingin melindungi barang peninggalan ibuku.Semua orang tergelak. Tiba-tiba, terdengar suara barang pecah. Aku sontak merinding."Maaf, tanganku licin." Lantai dipenuhi pecahan kaca. Evelyn menatapku dengan tatapan menghina, seolah-olah tidak takut sedikit pun padaku.Saat ini, aku merasa amarah telah membakar hatiku. Aku berlari ke depan dan men
Tubuhku seketika mati rasa melihat lukisan yang hancur itu. Setelah lukisan itu hancur, Evelyn menemukan piano seharga 16 miliar. Aku hanya menatap dengan dingin karena bisa menebak apa yang akan terjadi.Evelyn menghampiri piano itu sambil menatap lekat-lekat. Kemudian, dia menyapukan tangannya ke atas tuts piano. Seketika, terdengar suara yang memekakkan telinga.Evelyn berbalik dan menghampiriku dengan ekspresi ganas. Dia menjambak rambutku dan menendangku. "Dasar jalang! Ini piano yang kumau! Henry bilang bakal membelinya untukku nanti! Kenapa malah ada di sini?"Aku terjatuh. Sepatu hak tinggi Evelyn terus menendangku. Aku meringkukkan tubuhku secara naluriah.Untuk sekarang, aku hanya bisa menahan diri. Jika wanita gila ini tahu rumah yang dihancurkannya adalah rumah yang disiapkan kakakku untuk pernikahan mereka dan piano itu memang untuknya, entah bagaimana reaksinya nanti.Namun, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan mereka ini. Aku bersumpah, Evelyn tidak akan bisa menj
Wanita penyiar itu mengambil kartu pelajarku, lalu berkata dengan raut wajah bangga, "Wanita ini licik sekali. Bukannya mengaku, malah ingin menipu kita dia adik Henry."Wanita itu meletakkan kartu pelajarku di depan kamera. "Namanya Reese. Marga mereka saja jelas berbeda. Masih mau menipu kita. Dia mahasiswi tingkat dua di Universitas Huma jurusan desain."Aku pun panik. Wanita itu menyebarkan informasi pribadiku. Aku ingin merebut kartu pelajarku kembali, tetapi dua wanita lainnya tiba-tiba menahanku.Evelyn mengira dirinya dipermainkan, jadi dia menamparku habis-habisan. Seketika, kepalaku terasa pusing. Mulutku bau amis darah."Dasar jalang! Beraninya kamu mempermainkanku! Kubunuh kamu!"Aku ditahan sehingga tidak bisa ke mana-mana. "Kami memang saudara kandung."Sayangnya, tidak ada yang percaya. Perhatian mereka ada pada desain mewah vila ini."Henry benar-benar menyayangimu ya, sampai-sampai menyiapkan vila semewah ini." Evelyn melirik sekeliling, lalu berujar dengan lantang, "H
Seminggu sebelum ujian, aku datang ke rumah baru kakakku dengan membawa setumpuk buku pelajaran. Lingkungan di sini sangat tenang. Aku ingin belajar dengan giat untuk persiapan ujian.Beberapa menit setelah aku membaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tergesa-gesa. Kukira tanaman yang kupesan sudah sampai, jadi langsung membuka pintu."Semuanya, lihat. Wajah asli si pelakor akhirnya terungkap!"Begitu pintu dibuka, sebuah ponsel yang dipasang pada tongsis hampir membentur wajahku. Yang memegang tongsis itu adalah seorang gadis bertubuh mungil dengan riasan tebal di wajahnya. Di belakangnya, ada banyak orang."Siapa kalian? Sepertinya kalian salah rumah?" tanyaku sambil mengernyit.Sebelum aku bereaksi, orang-orang itu sudah mendorongku masuk."Ternyata ini pelakornya ya? Nggak cantik-cantik amat."Para wanita itu mengamatiku dengan niat jahat, membuatku merasa sangat tidak nyaman. Hatiku diliputi kegelisahan."Kenapa kalian menerobos masuk ke rumah orang? Tolong keluar sek