Share

Bab 3

Author: Sarina Raisha
Sudah enam tahun sejak adikku hilang, tidak pernah ada kabar apakah dia masih hidup atau sudah tiada. Di hati orang tuaku, dia sebenarnya sudah meninggal.

Mereka membuatkan makam kosong untuknya dan menetapkan hari hilangnya sebagai hari kematiannya.

Hanya pada hari itu aku diizinkan pulang dan itu pun hanya agar aku bisa berlutut di depan makamnya untuk meminta maaf.

Tahun lalu, saat aku dalam perjalanan menuju stasiun, tiba-tiba aku pingsan di jalan. Seorang pejalan kaki membawaku ke rumah sakit dan karena itu aku ketinggalan kereta untuk pulang.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya aku tiba tiga hari kemudian.

Ayahku menjambak rambutku dengan marah dan menyeretku ke makam adikku. Dia menekan kepalaku keras-keras hingga membentur nisan.

Kepalaku berkunang-kunang karena benturan, tapi itu tidak cukup untuknya. Dia bahkan menampar wajahku dengan kasar.

Tamparan itu terus berlanjut, membuat sudut bibirku robek dan satu gigi depanku patah.

Namun, sekarang dia tampaknya lupa.

Mungkin karena dia tak pernah peduli.

Baginya, tidak peduli apapun yang terjadi padaku, bahkan jika aku kehilangan nyawa, itu hanyalah karma yang pantas untukku.

Air mataku menetes. Ayah, aku benar-benar sudah mati sekarang. Entah ini sudah cukup untuk menebus kesalahanku bagimu.

Ketika ayah masih sibuk memeriksa jasadku, tiba-tiba ponselnya berdering.

Dengan kesal, dia melepas sarung tangannya dan menjawab panggilan itu.

Suara ibu yang marah terdengar dari telepon,

“Sandra, si anak jalang itu masih belum pulang sampai sekarang. Dia pasti sengaja nggak mau berlutut di depan Valarie!”

Aku tersenyum pahit, apakah aku yang tak mau pulang?

Aku sudah mati, mati di bawah pisau dingin pelaku.

Ayah mendengus dingin,

“Lebih baik dia nggak kembali lagi selamanya, lebih baik mati di luar sana. Melihatnya saja aku sudah muak!”

Mendengar mereka bergantian mencaci-maki, dadaku terasa seperti ditimpa oleh batu besar, sesak dan sakit.

Padahal hari itu aku sempat mengirim pesan pertolongan pada mereka, tetapi mereka tak peduli.

Mungkin, kematianku adalah bentuk pembebasan bagi mereka.

Bahkan andai aku tidak dibunuh dengan kejam, hidupku juga tidak akan lama lagi.

Satu tahun lalu, ketika aku pingsan, dokter menemukan bahwa aku mengidap tumor otak.

Aku pernah memberitahu orang tuaku, tetapi mereka mengira aku hanya mencari-cari simpati.

“Sandra Joman, kalau mau mati, cepat pergi mati saja. Jangan harap kami akan iba padamu.”

Aku hanya tak ingin menyerah. Aku takut jika tak ada yang merawat mereka saat tua nanti.

Namun sekarang, melihat tatapan jijik mereka saat membicarakanku, aku merasa lega karena akhirnya mati dengan cara seperti ini.

Mereka selalu berharap aku mati dengan menyedihkan. Saat mereka tahu betapa kejamnya aku dibunuh, mungkin mereka akan merasa puas.

Setelah menutup telepon, ayah kembali fokus pada jasadku.

Matanya perlahan berkaca-kaca.

Keadaanku benar-benar mengenaskan, bahkan suara ayah juga bergetar saat berbicara,

“Ada luka tusukan di tubuh korban, totalnya delapan tusukan, tapi semuanya menghindari bagian vital.”

“Pekiraan awal, penyebab kematiannya adalah pendarahan terlalu banyak.”

“Pelakunya benar-benar psikopat. Dia membuat gadis ini pendarahan perlahan-lahan sampai mati. Itu pasti sangat menyakitkan.”

Hatiku terasa semakin pedih saat mendengarnya. Memang benar, sangat sakit rasanya.

Tubuhku bergetar kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis tanpa daya.

Namun, tangisanku membuat pelaku jengkel, dia tertawa seram sebelum mencungkil mataku hidup-hidup.

Tangan ayah yang menggenggam pisau bedahnya bergetar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengingatkan asistennya untuk mempersiapkan pembukaan tengkorak.

Aku sedikit berharap, ketika dia melihat tumor di otakku, mungkinkah dia akan ingat bahwa aku pernah mengidap tumor otak?

Saat memikirkannya, tiba-tiba pintu ruang forensik terbuka.

Seorang polisi muda berdiri di luar dan menatap ayahku dengan wajah cemas.

Ayah mengernyit dan tampak kesal.

“Kenapa begitu ceroboh? Anak muda zaman sekarang benar-benar nggak bisa menahan diri.”

“Katakan saja kalau ada yang perlu dibicarakan, kalian nggak melihat aku sedang sibuk?”

Polisi muda itu menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata perlahan,

“Kapten Paul, Kak Jack, hasil DNA korban sudah keluar. Dia … dia adalah putri Kak Jack!”

Pada saat yang sama, suara ibu yang penuh harap terdengar dari ponsel ayah,

“Valarie sudah kembali, dia masih hidup!”

“Perlakuan dingin kita pada Sandra selama ini juga sudah cukup untuk menebus dosanya. Akhirnya keluarga kecil kita bisa berkumpul kembali. Mulai sekarang, perlakukan dia dengan lebih baik.”

Related chapters

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 4

    Jiwaku pun gemetaran, akhirnya … akhirnya kebenaran akan terungkap?Pisau bedah di tangan ayah jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring.Aku menatapnya, merasa sangat terkejut.Aku sempat membayangkan ekspresinya saat mengetahui kebenarannya.Dingin, acuh tak acuh atau mungkin sedikit berbelas kasih.Namun tak terpikirkan sama sekali bahwa aku akan melihat penderitaan di wajahnya.Seketika, aku merasa terharu.Segala kepahitan yang kurasakan selama bertahun-tahun, semua dendam yang muncul akibat ketidakadilan yang kuterima dari mereka, seolah menguap begitu saja.Dengan tubuh bergetar, aku ingin sekali memeluknya, tetapi jari-jariku malah menembus dadanya.Saat air mataku hendak menetes, aku mendengar ayah bergumam pelan, “Valarie.”Seketika tubuhku membeku, aku langsung mengerti. Ternyata, rasa sakit di tatapannya itu bukan karenaku.Cuaca panas selama beberapa hari, ditambah dengan hujan, membuat tubuhku sekarang membusuk dan berbau tidak sedap.Namun, tanpa ragu ayahku mendekat,

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 5

    Air mataku langsung mengalir, dia adalah Brian, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintaiku.Aku bertemu dengannya tepat setelah diusir oleh ayah dan ibu untuk bekerja di luar kota.Saat itu, aku tidak punya uang sepeser pun dan asrama pabrik sudah penuh, tak ada tempat untuk tidur. Terpaksa, aku mengais beberapa lembar kardus dari tempat sampah dan berlindung di bawah jembatan.Tengah malam, beberapa gelandangan yang berniat buruk menemukanku dan mulai menggangguku.Dengan kepanikan dan keputusasaan, aku berjuang mati-matian dan berteriak minta tolong.Untungnya, Brian lewat dan menyelamatkanku.Melihatku yang malang, dia membiarkanku tinggal sementara di kamar kosong rumahnya.Dia satu-satunya orang yang menjadi penghiburku di hari-hari kesepian itu.Dia selalu menyediakan bahunya setiap kali aku menangis sampai mataku bengkak saat menerima telepon dari ayah dan ibu.Dia juga memelukku dan bilang bahwa aku adalah orang yang baik saat hatiku hancur akibat perkataan mereka.Dan se

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 6

    Ayahku tampak tidak tega, berbicara lembut untuk menenangkan ibu dan memintanya menunggu kabar darinya di rumah.Setelah mengakhiri telepon, ayah mengusap air mata, lalu dengan tegas melangkah masuk ke ruang forensik.Kali ini, dia tidak setenang sebelumnya. Tangan yang memegang pisau bedah bergetar tanpa henti.Dia berulang kali mengarahkan pisau ke tubuhku, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.Mungkin karena ini adalah putri kesayangannya.Dengan tangan yang bergetar, dia mengangkat kepalaku yang sudah hancur, menahan air mata dan perlahan-lahan menyusunnya kembali.Aku juga menahan air mata, melihat dia menangis sambil memasukkan semua data ke laptop.Sepanjang malam, dia tidak memejamkan mata bahkan sedetik pun.Entah berapa banyak cangkir kopi yang sudah dia minum, matanya terpaku pada layar komputer. Di luar, langit perlahan mulai terang.Akhirnya, suara notifikasi dari laptop berbunyi.Ayah langsung mendongak, tetapi detik berikutnya, seluruh tubuhnya membeku.Dia bangkit dengan

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 7

    Mata ayah langsung berkaca-kaca, dia meraih tangan adikku dan menariknya ke pelukan.Tangan ayah dengan lembut mengelus rambut adik, mengelusnya berulang kali.Aku cemburu, mataku mulai berkaca-kaca. Selama enam tahun ini, betapa aku merindukan pelukan dan sentuhannya.Namun, ayah dan ibu hanya memandangku dengan tatapan jijik dan menyuruhku pergi.Ibu juga menangis dan mendekat untuk memeluk adikku. Pemandangan mereka yang bahagia sungguh menyakitkan hatiku.Rasa sakit itu membuat air mataku jatuh.Ibuku menepuk pundak adik perlahan, mengeluh dan berkata, “Valarie, kamu ke mana saja selama ini? Ayah dan ibu mencarimu dengan susah payah!”Adik menundukkan kepala dengan rasa malu dalam pelukan mereka. Dengan ragu berkata, “Maafkan aku, ayah ibu!”“Dulu, aku hamil dan takut kalian marah, jadi aku nggak berani pulang. Aku sangat egois, tapi aku benar-benar ketakutan saat itu dan nggak tahu harus berbuat apa.”Ayah dan ibu terdiam sejenak, lalu memandangnya dengan heran.“Lalu … di mana

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 8

    Seketika, tubuhku gemetar hebat karena marah.Enam tahun penuh aku hidup dalam penderitaan dan menjadi kambing hitam.Dan kini, dia bilang ini semua hanya sandiwara.Rasa tak terima dan kepedihanku berubah menjadi jeritan marah.Sayangnya, tak ada yang bisa mendengarnya.Tak peduli seberapa marah aku, mereka tetap tidak bisa merasakannya.Ayah dan ibu begitu terkejut sampai hampir terjatuh. Adikku buru-buru menopang mereka, sambil menatap bingung.Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba bel pintu berbunyi.Adikku langsung gembira, berlari pelan ke pintu, lalu membukanya.Di depan pintu berdiri seorang pria dengan kacamata berbingkai emas, terlihat sangat ramah dan berpendidikan.Adikku menggandeng tangannya, membawa pria itu ke depan ayah dan ibu dengan wajah malu-malu memperkenalkan, “Ayah ibu, ini pacarku. Kepulangan kami kali ini juga untuk memberitahu kalian bahwa kami berencana menikah!”Ibu memaksakan senyumannya, sementara ayah tetap dengan ekspresi serius.Tak ada yang tahu, aku

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 9

    Tiba-tiba ponsel ayah berdering.Dengan nada cemas, Kapten Paul memberitahunya bahwa rekaman CCTV menangkap gambar seseorang yang sedang menyeretku. Untungnya, wajah pelaku juga tertangkap CCTV.Gambar langsung dikirimkan ke ponsel ayah dan ayah langsung membukanya. Saat melihat wajah di layar, matanya membelalak karena terkejut. Ujung jari yang menggenggam ponsel memutih karena menahan kuatnya emosi.Ayah menelan ludah dengan susah payah, lalu perlahan mengangkat kepalanya, menatap pacar adikku dengan tajam.“Kamu? Kamu yang membunuh Sandra?”Pertanyaan dadakan ini membuat semua orang tercengang.Kecuali si iblis itu.Dia menajamkan sudut bibirnya dan tersenyum.“Wah, tak kusangka, ternyata polisi bekerja cukup cepat.”Dia menggerakkan tangannya, memeluk adikku ke dalam dekapannya. Sementara tangan satunya memegang lehernya dan menyeretnya ke tepi jendela, dengan separuh tubuh menggantung di luar.Mata ayah memerah menahan amarah, berteriak dengan marah, “Dasar bajingan, aku akan m

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 1

    Sudah tiga hari hujan deras, membuat seluruh kota terasa seperti terendam, semuanya tampak suram dan kelabu.Saat tubuh yang sudah membengkak karena air mulai mengapung di got berbau busuk, beberapa orang yang menonton terlihat ketakutan.Seorang anak kecil berusia delapan tahun menangis keras ketakutan, berlindung di pelukan ibunya yang menenangkannya dengan lembut.Melihat itu, mataku juga berkaca-kaca.Aku sudah lama tidak merasakan hangatnya pelukan ibu.Sejak enam tahun lalu, setelah adikku menghilang, ayah dan ibu hanya memandangku dengan penuh kebencian.Jangankan pelukan, bahkan senyuman pun tak pernah mereka berikan.Segera, garis polisi dipasang mengelilingi tempat kejadian dan aku berdiri di antara kerumunan, diam-diam menatap tubuhku yang sudah hancur parah.Sebuah mobil polisi berhenti tepat di depanku dan ketika pintunya terbuka, matanya bersinar.“Kak Jack, diperkirakan mayat ini sudah tiga hari terendam air. Ditambah hujan deras beberapa hari ini, kemungkinan besar jeja

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 2

    Tubuhku yang hancur dimasukkan ke dalam kantong jenazah dan dibawa ke kantor ayah.Tak lama kemudian, potongan tangan dan kakiku juga ditemukan dan langsung dikirim ke hadapan ayah.Di depan meja autopsi, Kapten Paul berdiri dengan dahi berkerut, sambil menunjuk jariku.“Kak Jack, lihat. Korban mengepalkan tangannya dengan erat, tetapi jari tengah tangan kanannya dipatahkan. Mungkinkah karena sebelumnya ada aksesoris yang bisa mengungkapkan identitasnya di jari itu?”“Mungkin saja.”Jawab ayahku sambil mengangguk.Namun, Kapten Paul ragu-ragu menatapnya.“Kalau nggak salah, dulu Sandra juga memakai cincin di jari tengah kanannya … “Dengan sedikit kesal, ayahku menatapnya.“Banyak orang memakai cincin, bukan hanya dia. Dia itu si pembawa sial, bagaimana mungkin mati dengan begitu muda?”Kapten Paul terlihat agak cemas. Dia bahkan tidak sempat melepas sarung tangannya dan langsung menarik tangan ayah.“Jack, kamu masih ingat dengan pembunuh berantai waktu itu?”Tubuh ayahku gemetaran.K

Latest chapter

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 9

    Tiba-tiba ponsel ayah berdering.Dengan nada cemas, Kapten Paul memberitahunya bahwa rekaman CCTV menangkap gambar seseorang yang sedang menyeretku. Untungnya, wajah pelaku juga tertangkap CCTV.Gambar langsung dikirimkan ke ponsel ayah dan ayah langsung membukanya. Saat melihat wajah di layar, matanya membelalak karena terkejut. Ujung jari yang menggenggam ponsel memutih karena menahan kuatnya emosi.Ayah menelan ludah dengan susah payah, lalu perlahan mengangkat kepalanya, menatap pacar adikku dengan tajam.“Kamu? Kamu yang membunuh Sandra?”Pertanyaan dadakan ini membuat semua orang tercengang.Kecuali si iblis itu.Dia menajamkan sudut bibirnya dan tersenyum.“Wah, tak kusangka, ternyata polisi bekerja cukup cepat.”Dia menggerakkan tangannya, memeluk adikku ke dalam dekapannya. Sementara tangan satunya memegang lehernya dan menyeretnya ke tepi jendela, dengan separuh tubuh menggantung di luar.Mata ayah memerah menahan amarah, berteriak dengan marah, “Dasar bajingan, aku akan m

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 8

    Seketika, tubuhku gemetar hebat karena marah.Enam tahun penuh aku hidup dalam penderitaan dan menjadi kambing hitam.Dan kini, dia bilang ini semua hanya sandiwara.Rasa tak terima dan kepedihanku berubah menjadi jeritan marah.Sayangnya, tak ada yang bisa mendengarnya.Tak peduli seberapa marah aku, mereka tetap tidak bisa merasakannya.Ayah dan ibu begitu terkejut sampai hampir terjatuh. Adikku buru-buru menopang mereka, sambil menatap bingung.Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba bel pintu berbunyi.Adikku langsung gembira, berlari pelan ke pintu, lalu membukanya.Di depan pintu berdiri seorang pria dengan kacamata berbingkai emas, terlihat sangat ramah dan berpendidikan.Adikku menggandeng tangannya, membawa pria itu ke depan ayah dan ibu dengan wajah malu-malu memperkenalkan, “Ayah ibu, ini pacarku. Kepulangan kami kali ini juga untuk memberitahu kalian bahwa kami berencana menikah!”Ibu memaksakan senyumannya, sementara ayah tetap dengan ekspresi serius.Tak ada yang tahu, aku

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 7

    Mata ayah langsung berkaca-kaca, dia meraih tangan adikku dan menariknya ke pelukan.Tangan ayah dengan lembut mengelus rambut adik, mengelusnya berulang kali.Aku cemburu, mataku mulai berkaca-kaca. Selama enam tahun ini, betapa aku merindukan pelukan dan sentuhannya.Namun, ayah dan ibu hanya memandangku dengan tatapan jijik dan menyuruhku pergi.Ibu juga menangis dan mendekat untuk memeluk adikku. Pemandangan mereka yang bahagia sungguh menyakitkan hatiku.Rasa sakit itu membuat air mataku jatuh.Ibuku menepuk pundak adik perlahan, mengeluh dan berkata, “Valarie, kamu ke mana saja selama ini? Ayah dan ibu mencarimu dengan susah payah!”Adik menundukkan kepala dengan rasa malu dalam pelukan mereka. Dengan ragu berkata, “Maafkan aku, ayah ibu!”“Dulu, aku hamil dan takut kalian marah, jadi aku nggak berani pulang. Aku sangat egois, tapi aku benar-benar ketakutan saat itu dan nggak tahu harus berbuat apa.”Ayah dan ibu terdiam sejenak, lalu memandangnya dengan heran.“Lalu … di mana

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 6

    Ayahku tampak tidak tega, berbicara lembut untuk menenangkan ibu dan memintanya menunggu kabar darinya di rumah.Setelah mengakhiri telepon, ayah mengusap air mata, lalu dengan tegas melangkah masuk ke ruang forensik.Kali ini, dia tidak setenang sebelumnya. Tangan yang memegang pisau bedah bergetar tanpa henti.Dia berulang kali mengarahkan pisau ke tubuhku, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.Mungkin karena ini adalah putri kesayangannya.Dengan tangan yang bergetar, dia mengangkat kepalaku yang sudah hancur, menahan air mata dan perlahan-lahan menyusunnya kembali.Aku juga menahan air mata, melihat dia menangis sambil memasukkan semua data ke laptop.Sepanjang malam, dia tidak memejamkan mata bahkan sedetik pun.Entah berapa banyak cangkir kopi yang sudah dia minum, matanya terpaku pada layar komputer. Di luar, langit perlahan mulai terang.Akhirnya, suara notifikasi dari laptop berbunyi.Ayah langsung mendongak, tetapi detik berikutnya, seluruh tubuhnya membeku.Dia bangkit dengan

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 5

    Air mataku langsung mengalir, dia adalah Brian, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintaiku.Aku bertemu dengannya tepat setelah diusir oleh ayah dan ibu untuk bekerja di luar kota.Saat itu, aku tidak punya uang sepeser pun dan asrama pabrik sudah penuh, tak ada tempat untuk tidur. Terpaksa, aku mengais beberapa lembar kardus dari tempat sampah dan berlindung di bawah jembatan.Tengah malam, beberapa gelandangan yang berniat buruk menemukanku dan mulai menggangguku.Dengan kepanikan dan keputusasaan, aku berjuang mati-matian dan berteriak minta tolong.Untungnya, Brian lewat dan menyelamatkanku.Melihatku yang malang, dia membiarkanku tinggal sementara di kamar kosong rumahnya.Dia satu-satunya orang yang menjadi penghiburku di hari-hari kesepian itu.Dia selalu menyediakan bahunya setiap kali aku menangis sampai mataku bengkak saat menerima telepon dari ayah dan ibu.Dia juga memelukku dan bilang bahwa aku adalah orang yang baik saat hatiku hancur akibat perkataan mereka.Dan se

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 4

    Jiwaku pun gemetaran, akhirnya … akhirnya kebenaran akan terungkap?Pisau bedah di tangan ayah jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring.Aku menatapnya, merasa sangat terkejut.Aku sempat membayangkan ekspresinya saat mengetahui kebenarannya.Dingin, acuh tak acuh atau mungkin sedikit berbelas kasih.Namun tak terpikirkan sama sekali bahwa aku akan melihat penderitaan di wajahnya.Seketika, aku merasa terharu.Segala kepahitan yang kurasakan selama bertahun-tahun, semua dendam yang muncul akibat ketidakadilan yang kuterima dari mereka, seolah menguap begitu saja.Dengan tubuh bergetar, aku ingin sekali memeluknya, tetapi jari-jariku malah menembus dadanya.Saat air mataku hendak menetes, aku mendengar ayah bergumam pelan, “Valarie.”Seketika tubuhku membeku, aku langsung mengerti. Ternyata, rasa sakit di tatapannya itu bukan karenaku.Cuaca panas selama beberapa hari, ditambah dengan hujan, membuat tubuhku sekarang membusuk dan berbau tidak sedap.Namun, tanpa ragu ayahku mendekat,

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 3

    Sudah enam tahun sejak adikku hilang, tidak pernah ada kabar apakah dia masih hidup atau sudah tiada. Di hati orang tuaku, dia sebenarnya sudah meninggal.Mereka membuatkan makam kosong untuknya dan menetapkan hari hilangnya sebagai hari kematiannya.Hanya pada hari itu aku diizinkan pulang dan itu pun hanya agar aku bisa berlutut di depan makamnya untuk meminta maaf.Tahun lalu, saat aku dalam perjalanan menuju stasiun, tiba-tiba aku pingsan di jalan. Seorang pejalan kaki membawaku ke rumah sakit dan karena itu aku ketinggalan kereta untuk pulang.Setelah perjalanan panjang, akhirnya aku tiba tiga hari kemudian.Ayahku menjambak rambutku dengan marah dan menyeretku ke makam adikku. Dia menekan kepalaku keras-keras hingga membentur nisan.Kepalaku berkunang-kunang karena benturan, tapi itu tidak cukup untuknya. Dia bahkan menampar wajahku dengan kasar.Tamparan itu terus berlanjut, membuat sudut bibirku robek dan satu gigi depanku patah.Namun, sekarang dia tampaknya lupa.Mungkin kare

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 2

    Tubuhku yang hancur dimasukkan ke dalam kantong jenazah dan dibawa ke kantor ayah.Tak lama kemudian, potongan tangan dan kakiku juga ditemukan dan langsung dikirim ke hadapan ayah.Di depan meja autopsi, Kapten Paul berdiri dengan dahi berkerut, sambil menunjuk jariku.“Kak Jack, lihat. Korban mengepalkan tangannya dengan erat, tetapi jari tengah tangan kanannya dipatahkan. Mungkinkah karena sebelumnya ada aksesoris yang bisa mengungkapkan identitasnya di jari itu?”“Mungkin saja.”Jawab ayahku sambil mengangguk.Namun, Kapten Paul ragu-ragu menatapnya.“Kalau nggak salah, dulu Sandra juga memakai cincin di jari tengah kanannya … “Dengan sedikit kesal, ayahku menatapnya.“Banyak orang memakai cincin, bukan hanya dia. Dia itu si pembawa sial, bagaimana mungkin mati dengan begitu muda?”Kapten Paul terlihat agak cemas. Dia bahkan tidak sempat melepas sarung tangannya dan langsung menarik tangan ayah.“Jack, kamu masih ingat dengan pembunuh berantai waktu itu?”Tubuh ayahku gemetaran.K

  • Kematian Palsu Adikku   Bab 1

    Sudah tiga hari hujan deras, membuat seluruh kota terasa seperti terendam, semuanya tampak suram dan kelabu.Saat tubuh yang sudah membengkak karena air mulai mengapung di got berbau busuk, beberapa orang yang menonton terlihat ketakutan.Seorang anak kecil berusia delapan tahun menangis keras ketakutan, berlindung di pelukan ibunya yang menenangkannya dengan lembut.Melihat itu, mataku juga berkaca-kaca.Aku sudah lama tidak merasakan hangatnya pelukan ibu.Sejak enam tahun lalu, setelah adikku menghilang, ayah dan ibu hanya memandangku dengan penuh kebencian.Jangankan pelukan, bahkan senyuman pun tak pernah mereka berikan.Segera, garis polisi dipasang mengelilingi tempat kejadian dan aku berdiri di antara kerumunan, diam-diam menatap tubuhku yang sudah hancur parah.Sebuah mobil polisi berhenti tepat di depanku dan ketika pintunya terbuka, matanya bersinar.“Kak Jack, diperkirakan mayat ini sudah tiga hari terendam air. Ditambah hujan deras beberapa hari ini, kemungkinan besar jeja

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status