Zahrana kaget dengan kehadiran Ibra di belakangnya, bi Iyam hanya tersenyum saja. Dia pun segera pergi dari hadapan Ibra dan melanjutkan ke dapur yang sempat di tinggalkan mengobrol dengan Zahrana."Apa kamu tidak mau naik ke kamar?" tanya Ibra.Zahrana menatap saja, dia bingung apakah harus masuk ke dalam kamar suaminya?"Apa aku harus ke kamar atas?" tanya Zahrana."Tentu saja, kamarmu sudah pindah ke atas. Bukan di kamar pembantu lagi, ayo cepat ke atas. Raka sudah menunggu di kamar." kata Ibra menarik tangan Zahrana.Gadis itu kaget, dia ingin melepas pegangan tangan Ibra. Tapi laki-laki itu menariknya paksa dan membawanya pergi dari meja bar, mau tidak mau Zahrana pun mengikuti langkah suaminya. Meski dia masih kaget dengan statusnya, tapi menurut apa yang di katakan suaminya adalah kewajibannya. Bukankah seorang istri harus menurut pada suaminya?Mereka melangkah menaiki anak tangga, hati Zahrana gugup dan entah pikirannya kemana. Ibra menoleh padanya, tersenyum tipis. Dia tahu
Zahrana gugup sekali, dia menunduk saja ketika Ibra menatapnya penuh takjub akan kecantikan yang tersembunyi di balik kerudung instan miliknya. Dia tidak menyangka jika adik dari Rania lebih cantik dari kakaknya itu. Sentuhan tangannya pada pipi Zahrana membuatnya semakin tertegun, kulit polos tanpa make up itu benar-benar bersih dan putih.Di tariknya dagu istrinya untuk menghadap ke arahnya, menatapnya seksama wajah cantik. Ibra menelan salivanya, wajahnya maju beberapa mili. Tapi tiba-tiba Zahrana menoleh cepat karena malu, Ibra tersenyum."Kenapa? Masih malu?" tanya Ibra masih memegang dagu istrinya.Zahrana hanya mengangguk saja, pipinya panas karena rasa malu yang melanda hatinya."Lalu, kita mau apa?" tanya Ibra.Zahrana menggeleng saja, tidak berani menatap suaminya. Ibra pun menarik tangan Zahrana, membawanya menuju balkon. Meski sudah malam, hawa dingin menyelimuti suasana malam. Ibra mengajaknya berdiri di depan batas pagar balkon, Zahrana berdiri di depan dan dia di belaka
Satu bulan sudah Zahrana tinggal di rumah Ibra sebagai istri laki-laki itu. Selama satu bulan itu, Ibra belum meminta haknya pada Zahrana. Dia sengaja melakukan itu agar gadis itu terbiasa dengan sikap dan perlakuannya yang romantis padanya. Dan tentu saja lama kelamaan Zahrana jadi terbiasa dengan perlakuan Ibra padanya.Hingga malam ini, keduanya sedang duduk santai di balkon. Raka sudah menempati kamarnya yang baru, seperti aturan yang di buat Ibra pada anak laki-lakinya itu. Raka harus tidur di kamarnya sendiri di temani Zahrana atau dirinya.Mereka duduk santai di balkon, menikmati malam bulan purnama tepat tanggal lima belas di bulan kedua itu. Zahrana duduk di sebelah Ibra, tangannya sudah biasa merangkul pinggang suaminya. Ibra senang kini Zahrana sudah biasa seperti itu padanya."Bulannya sedang bagus ya." kata Ibra menatap ke atas langit yang bersinar."Iya. Inikan tanggal lima belas, jadi bulan sedang penuh." jawab Zahrana ikut menatap bulan di atas langit."Kalau melakukan
Malam hari, Zahrana menyambut suaminya pulang dari kantor. Ibra senang istrinya berdiri di depan pintu menyambutnya pulang dengan Raka yang berlarian sambil mengacungkan pedang mainannya. Zahrana menyambut tangan suaminya dan menciumnya, Ibra mengecup kening istrinya dan tersenyum senang."Papa, ayo main pedang-pedangan!" teriak Raka pada papanya."Papa masuk dulu sayang, papa ganti baju ya." kata Ibra menggandeng tangan anaknya.Mereka masuk ke dalam rumah, tampak Mischa berdiri dengan bersedekap dengan tatapan mencibir pada keluarga kecil itu. Ibra mengerutkan dahinya, kenapa sepupunya ada di rumahnya."Kamu datang tidak bilang padaku, kenapa kamu di sini?" tanya Ibra pada sepupunya."Aku sudah bilang sama istrimu, apa istrimu tidak memberitahu kalau aku sementara akan tinggal di sini." kata Mischa melirik Zahrana."Ck, kamu akan mengganggu istriku saja. Lebih baik kamu tinggal di hotel saja sana." ucap Ibra tahu akan tujuan Mischa tinggal di rumahnya."Ck, kamu takut istrimu akan a
Ibra mewanti-wanti Mischa untuk tidak mengganggu istrinya di rumah. Gadis itu hanya mencebik saja ketika sepupunya mengancamnya mengusirnya jika sampai mengganggu Zahrana."Awas kamu ya, aku tidak akan segan mengusirmu dan membencimu Mischa jika sampai mengganggu istriku!" ucap Ibra mengultimatum sepupunya itu."Aku tinggal di rumahmu karena ingin bersantai. Kenapa kamu takut aku akan menggganggu istri kampungmu itu?" tanya Mischa."Aku tahu kamu datang kesini hanya ingin mengganggu istriku." kata Ibra lagi."Ya, baiklah. Aku tidak akan mengganggu istrimu." kata Mischa.'Tapi akan mengusirnya dari rumahmu.' Ucap Mischa dalam hati, dia malas berdebat dengan sepupunya. Dia memang tidak berhak dengan kehadiran Zahrana di rumah Ibra sebagai istri sepupunya, hanya saja dia merasa tidak selevel antara dirinya dan Zahrana."Aku tekankan kamu Mischa sekali lagi, jangan mengganggu istriku." kata Ibra lagi."Sudah sana berangkat ke Singapura, kakek pasti menunggumu." kata Mischa lagi.Ibra pun
"Lisa?!"Sebuah keterkejutan Mischa di saluran telepon membuat terkejut juga Zahrana yang mendekati meja makan dengan Raka. Dia mengerutkan dahinya, siapa yang di telepon Mischa?"Oh My God, Lisa. Kamu mau menemuiku?" tanya Mischa dengan wajah cerianya melirik Zahrana yang duduk di kursi menyuapi Raka."Oh, tentu saja sayang. Aku juga merindukanmu, kenapa kamu baru menghubungiku? Aku ingin mendengar ceritamu, kenapa bisa menikah dengan pria bule itu? Apa kamu memang sudah tidak mencintai abangku?" ucap Mischa masih melirik Zahrana. Zahrana yang di lirik membalas melirik juga, meski dia tidak tahu apa yang di bicarakan Mischa tentang abangnya. Abang? Abang siapa?"Kamu tenang saja sayang, ayo kita ketemu. Membicarakan rencanaku selanjutnya. Kamu pasti suka tentunya." kata Mischa lagi bicara dengan seseorang bernama Lisa.Zahrana masih menyuapi anaknya, Raka sangat senang makan bubur ayam buatan bundanya. Dia melihat Mischa hanya memainkan omlete dengan sendoknya."Bunda, tante itu mak
Bi Iyam sudah membereskan kamar tamu untuk Lisa, perempuan mantan majikannya. Dia tidak habis pikir. Kenapa Mischa membawanya ke rumah itu."Apa yang di inginkan nona Mischa membawa nona Lisa ke rumah ini? Apakah memang sengaja untuk memanasi Zahrana?" gumam bi Iyam.Sedang dalam pergulatan batinnya, bi Iyam di kejutkan dengan sentuhan tangan dari Lisa. Perempuan itu tersenyum manis pada pembantu Ibra itu."Bi Iyam lagi melamun apa?" tanya Lisa tersenyum manis."Eh, tidak nona. Saya hanya berpikir apakah kamarnya sudah beres semua." jawab bi Iyam.Lisa menatap sekeliling kamar, dari ranjang, meja dan juga lemari semuanya sudah beres. Dia melangkah menuju ranjang kemudian duduk di sisinya, koper dia sandarkan di sampingnya."Semuanya sudah beres bi Iyam. Terima kasih ya." kata Lisa."Iya, nona. Kalau begitu, saya permisi." kata bi Iyam lagi.Dia berbalik, pikirannya masih tertuju dengan kedatangan Lisa mantan Ibra di rumah itu. Apa lagi ada Zahrana istri majikannya yang sudah jadi nyon
Lisa dan Mischa kaget dengan Zahrana yang berdiri di depan kamar Lisa, menatap keduanya dengan tenang dan santai."Kupikir jika mas Ibra menelepon, aku akan katakan kalau ada tamu menginap di sini." kata Zahrana."Hei! Jangan bilang kamu akan mengadu pada Ibra?!" tanya Mischa mulai cemas dengan ucapan Zahrana."Mengadu? Apa aku terancam dengan kehadiran mantannya itu?" Zahrana balik bertanya.Mischa semakin kesal dengan ucapan Zahrana itu, sebenarnya tidak ada yang salah. Tapi karena tidak suka pada gadis di depannya justru semuanha jadi salah."Baiklah, katakan saja pada Ibra. Kalau Lisa ada di rumahnya, dia pasti akan senang." kata Mischa mencoba memanasi istri sepupunya."Oke, aku akan mengatakan pada mas Ibra nanti." ucap Zahrana.Dia melangkah pergi meninggalkan dua perempuan yang sedang cemas kalau Ibra tahu kehadiran mereka membuat istrinya tidak nyaman dan mengganggunya. Terlebih Lisa, mantan Ibra itu yang tidak tahu apa pun awalnya kini jadi terlibat."Mischa, sebaiknya janga
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.