"Tuan Ibra?" ucap Zahrana kaget dengan kedatangan majikannya itu.Ucapan Zahrana membuat Ibra kaget juga, dia menoleh ke arah gadis itu dan berdiri menatap Zahrana lama. Degup jantungnya semakin kencang ketika gadis itu berdiri dan menatapnya dengan keterkejutannya dirinya ada di rumahnya.Lama keduanya saling menatap, kemudian Zahrana memutusnya dengan membuang wajahnya ke samping. Ibra menunduk, mengambil robot besar yang dia beli untuk Raka."Raka mana?" tanya Ibra menetralkan kecanggungan keduanya."Masih tidur, dia demam semalam." jawab Zahrana.Gadis itu mendekat, duduk di kursi lusuh depan Ibra. Masih terasa kaku dan heran kenapa bisa Ibra menyusulnya datang ke rumahnya. Tapi wajar saja, sudah hampir satu bulan dia tidak kembali lagi ke rumah laki-laki itu, karena awal rencana hanya dua minggu pulang."Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?" tanya Ibra.Zahrana heran, jadi beberapa kali ada yang menelepon itu adalah Ibra? Majikannya?"Anda meneleponku?" tanya Zahrana.Ibra men
Zahrana dan Ibra menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat dengan tatapan kekesalan pada Zahrana, keduanya mendekat dan berdiri di depan meja makan. Tatapan tajam dan penuh kebencian di tunjukkan oleh Mudah yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah Zahrana.Zahrana berdecak kesal, kenapa bibinya datang di saat yang tidak tepat. Dia takut akan mengungkit kakaknya dan menceritakan hal tidak benar pada Ibra, meski cerita itu tidak benar. Tapi Ibra akan berpikir lain, dan akan bertanya masalahnya dirinya kenapa semua membenci Zahrana."Kamu itu sama saja dengan kakakmu, bahkan kamu lebih berani sampai membawa laki-laki masuk ke dalam rumahmu. Munafik!" ucap Midah."Cukup Bi Midah. Sebaiknya Bibi dan Mila pergi dari rumahku, kalian selalu saja menghinaku dan kakakku!" ucap Zahrana kesal pada istri dari pamannya itu.Ibra semakin bingung, meski dia kesal ke apa dua orang itu menghina Zahrana. Tapi dia belum mau bersuara dengan pemandangan itu.Zahrana bangkit dari duduknya, mendekati Midah dan
Setiap hari Ibra datang ke rumah Zahrana, membuat tetangga dan warga yang mengetahui kalau bos proyek itu mendatangi Zahrana setiap hari. Maka banyak yang menggunjing gadis itu, kalau Zahrana menggunakan pelet untuk memikat bos proyek.Karena selama tiga hari itu Ibra selalu datang berkunjung dan bermain dengan Raka. Banyak yang menduga kalau keponakan Zahrana itu sengaja di jadikan umpan untuk memikat bos proyek itu.Seperti Midah dan putrinya, Mila. Keduanya sangat kesal sekali dengan kedekatan Ibra dan Zahrana. Mereka selalu mencari cara agar Zahrana menjauhi Ibra sang bos proyek itu, atau Ibra menjauhi Zahrana."Bu, bagaimana ini. Bos proyek itu sering datang ke rumah Zahrana, dia ganteng bu. Kenapa ngga sama aku aja sih." kata Mila merajuk pada ibunya."Ck, ibu juga ngga tahu. Bos itu memang ganteng, gagah dan pastinya kaya raya. Mobilnya saja mewah, tidak seperti pak Suta." kata Midah sambil bersungut.Keduanya bingung untuk menjatuhkan Zahrana dengan menghina gadis itu di depan
Midah memerintahkan dua orangnya untuk segera membakar rumah Zahrana setelah beberapa orang mendatangi rumah gadis itu. Dia menyuruh dua orang itu segera menyiramkan bensin di sekitar rumah Zahrana."Tapi nanti ada yang tahu bagaimana?" tanya satu laki-laki suruhan Midah."Tidak ada, kamu tenang saja. Tadi mereka mengancam akan membakar rumah gadis itu, aku jamin mereka pasti senang. Sudah cepat lakukan, biar nanti dari belakang buat bakar-bakaran sampah saja dan arahkan bensinnya ke rumah gadis sialan itu." kata Midah.Dua orang itu saling pandang, lalu mengangguk. Dirigen yang tadi di pegangnya kini di tenteng lagi dan membawanya pergi, keduanya berjalan seperti biasa. Menoleh ke kanan dan ke kiri karena malam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Suasana sangat sepi, hanya beberapa lampu di rumah tetangga menyala.Mereka pun mendekat ke rumah Zahrana, menyebar ke samping setelah memberi kode. Menyiramkan bensin di setiap sudut yang mudah terbakar. Bensin itu di lumuri ke setiap sudut ru
Mobil Ibra sampai di penginapan, agak jauh dari kampung Zahrana. Dia melihat gadis di belakangnya itu hanya diam saja, memeluk Raka sambil menatap ke jendela mobil. Ibra belum keluar, menunggu gadis yang sedang syok hatinya sadar kalau kini mereka sudah sampai di parkiran penginapan."Zahrana." panggil Ibra menatap gadis itu sejak tadi.Zahrana masih diam, belum menyadari keadaan sekitar. Raka menarik wajahnya membuat gadis itu menoleh padanya."Unda, ayah om panggil." kata Raka.Zahrana menoleh ke arah Ibra dan menatapnya, lalu menoleh ke arah jendela mobil."Sudah sampai, apa kamu mau turun?" tanya Ibra."Aku harus tinggal di mana?" tanya Zahrana."Aku akan pesankan kamar untukmu, di sebelahku kamarku." jawab Ibra."Apa akan selamanya tinggal di penginapan ini?" tanya Zahrana lagi."Aku akan membawamu ke kota, kamu tinggal lagi di rumahku." kata Ibra lagi.Zahrana diam, dia bingung harus bagaimana. Butuh biaya banyak pula untuk memberesi rumahnya yang sudah terbakar sebagian."Aku a
Zahrana pasrah dengan keadaan di mana Ibra kini harus mencari tahu apa yang terjadi dengan cerita tentangnya dan keluarganya. Ibra menyewa orang untuk mencari tahu kenapa bisa warga kampung Zahrana sangat membenci Zahrana dan keluarganya.Dia menyewa orang bukan dari warga kampung Zarhana sendiri, tapi menyewa detektif agar semuanya jelas dan tidak di besar-besarkan masalahnya. "Joni, aku di proyek akan lebih lama lagi. Kamu tangani di kantor saja dulu, kerjakan semuanya." kata Ibra menghubungi asistennya."Apa di proyek itu masih belum selesai masalahnya Tuan? Anda hampir sepuluh hari di sana, apakah terlalu rumit?" tanya Joni."Tidak. Aku sedang mencari sesuatu lebih dulu, nanti aku kabari kamu jika semuanya beres.""Ya baiklah, kebetulan semua di kantor tidak ada masalah.""Bagus, kamu kerja dengan baik.""Ya Tuan.""Oh ya, apa kamu sudah menemukan nama gadis yang dulu menikah denganku? Di mana dia tinggal?" tanya Ibra lagi."Belum Tuan, saya belum sempat mencarinya. Apakah itu pe
Dua hari Ibra memikirkan tentang kisah Zahrana. Hubungan dengan kartu nama yang dia temukan di kamar Zahrana."Aku harus mencari tahu lebih jauh, apakah memang kakaknya Zahrana adalah gadis yang aku nikahi dulu." ucap Ibra.Dia keluar dari kamarnya, melihat ke arah pintu kamar Zahrana tepat di depannya. Ingin dia mengajak gadis itu bicara panjang mengenai semuanya, tentang kakaknya, tentang Raka dan laki-laki yang dia duga adalah dirinya. Tapi itu juga belum cukup, dia juga harus memastikan kebenaran Raka itu anak siapa.Tok tok tok.Ibra mengetuk pintu kamar penginapan Zahrana. Belum ada jawaban, tapi langkah cepat berjalan mengarah pintu itu sangat jelas terdengar. Itu pasti langkah anak laki-laki yang sudah tiga hari tidak dia ajak main.Ceklek!"Ayah om!" teriak Raka dengan senang dan langsung menyongsong Ibra.Ibra menunduk dan menggendong anak kecil itu. Tersenyum senang karena dia juga merasa rindu pada anak laki-laki itu meski tinggal berdekatan."Bunda mana?" tanya Ibra masuk
"Siapanya kamu Zahrana?"Ibra terus mendesak Zahrana agar mengatakan gadis yang dia ceritakan itu. Tapi gadis itu masih tetap diam, seakan terjebak dengan ucapannya sendiri. Dia berdiri kemudian berlalu hendak meninggalkan Ibra, namun laki-laki itu menariknya cepat tangan gadis itu."Jangan pergi, Zahrana!" kata Ibra."Itu mungkin orang lain, Tuan." kata Zahrana lagi."Zahrana!""Bukan siapa-siapa!"Ibra geram sekali dengan sikap Zahrana yang masih saja kekeh tidak mau menjawab. Apa yang di pikirkan gadis itu?"Baik, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku. Sebaiknya kamu ikut denganku!" ucap Ibra lagi."Aku tidak mau!" teriak gadis itu menatap tajam pada Ibra karena kesal."Kamu harus ikut, aku akan melakukan tes DNA dengan Raka!" ancam Ibra menatap tajam pada Zahrana.Tubuh Zahrana terdiam kaku, mendekap Raka dengan erat sekali hingga cengkeraman tangannya menyakiti anak kecil di gendongannya."Bunda, sakit." ucap Raka yang di pegang lengan tangannya pada Raka.Ibra langsung meng
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.